SIAPA ITU MANUSIA?:
MEMAHAMI MANUSIA DARI KONTEKS FILSAFAT
*Steven N. Ch Saunoah
Â
      Berbicara tentang manusia sangatlah kompleks dari cara pandang kita. Kompleksitas manusia dapat dipandang dari berbagai arah, tergantung cara kita mengolah, mengakaji dan mendefenisikan siapa itu manusia sendiri. Secara sederhana, manusia adalah ciptaan Allah yang memiliki akal budi (ratio) dan kehendak. Ratio memungkinkan manusia dapat berpikir, sedangkan kehendak memampukan manusia berbuat sesuatu. Ratio dan kehendaklah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Manusia sangatlah proaktif di dunia ini, lalu akan memunculkan suatu pertanyaan filosofis, sebenarnya siapa itu manusia?
Manusia yang Selalu Bertanya
      Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu bertanya. Manusia sendiri selalu mempertanyakan dirinya, keberadaannya di dunia ini dan juga dunianya (dalam hal ini dunia seperti apa yang sedang dijalani oleh manusia itu?). Secara umum, bentuk pertanyaan dapat digolongkan dalam 2 tingkatan, yaitu pertanyaan yang bersifat sederhana dan yang kedua adalah pertanyaan yang bersifat teoritis.
Bentuk pertanyaan pertama terkait dengan masalah-masalah praktis. Pertanyaan ini biasanya berhubungan dengan cara-cara untuk mencapai sesuatu. Salah satu contoh adalah bagaimana cara agar kita memiliki pengetahuan yang banyak? Jawaban atas pertanyaan ini selalu berhubungan denga hal-hal yang bersifat praktis. Agar bisa berbahasa Inggris (cara mendapatkan pengetahuan) adalah dengan mengikuti kursus bahasa Inggris.
Bentuk pertanyaan yang kedua adalah yang bersifat teoritis. Pertanyaan ini berkaitan juga dengan pertanyaan filosofis. Pertanyaan ini bersentuhan dengan makna dan nilai hidup manusia. Yang berkaitan dengan pertanyaan ini adalah "siapakah diri kita? Ke mana tujuan hidup? Apa yang paling berharga dalam hidup ini?" Karena pertanyaan ini menyentuh hal-hal yang hakiki tentang manusia, maka jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah dengan permenungan yang mendalam.
      Pada intinya kedua tingkatan ini telah menunjukan salah satu eksistensi manusia sebagai manusia penanya. Semisal contoh pada tingkatan kedua, manusia yang melalui tahap permenungan yang mendalam akan dengan sendirinya menyadari adanya masalah, meragukan kemudian menguji secara rasional atas pertanyaan-pertanyaan filosofis di atas.
Manusia dan Budaya
      Manusia hidup dalam sejarah. Sejarah membuat manusia berubah dari waktu ke waktu. Dikatakan juga bahwa manusia adalah makhluk multidimensional. Sejarah dan ke-multidimensional-nya memampukan manusia juga hidup dalam budaya. Kebudayaan adalah perwujudan manusia dalam kehidupan bersama,  yang mencerminkan watak serta kepribadian suatu masyarakat. Kebudayaan itu melekat dengan kehidupan mereka.
      Beberapa pandangan filsuf tentang manusia dan budaya. Pertama, Kaiser Aurelius menekankan bahwa kodrat manusia tidak ditentukan oleh atribut dari luar yang dikenakan kepadanya, seperti kepandaian, ketenaran, kepangkatan. Semua atribut ini hanyalah tambahan. Kodrat manusia haruslah berdasarkan pada penilaian diri, nilai yang diberikannya kepada dirinya sendiri.
      Kedua, dalam perseptif  Sokrates,  filsafat Stoa mengajukan  tuntutan untuk mengenali  diri. Dia  yang hidup sesuai dengan dirinya, dengan jiwanya adalah hidup sesui juga dengan alam semesta, karena baik tatanan  alam semesta maupun tatanan manusia adalah  aneka perwujudan dari suatu hukum umum yang misterius. Dalam keterkaitan antara alam dan manusia itu, manusialah dan bukan alam yang menentukan, karena pada manusia ada daya pertimbangan (rasio).
      Ketiga, St. Agustinus (filsuf Abad Pertengahan) mengatakan bahwa ratio baginya justru tidak menghantar kita kepada kejelasan, tidak membawa kita kepada kebenaran, karena arti rasio itu sendiri begitu kabur, asal-usulnya terselubung dalam misteri. Misteri itu tidak bisa dicapai oleh rasio itu sendiri. Rasio asli manusia sudah rusak oleh kejatuhan Adam. Rasio tidak bisa bangun dari dan oleh sendirinya. Ia membutuhkan pertolongan. Bantuan itu hanya mungkin dari daya adikodrati Ilahi.
Filsafat Manusia
      Manusia bersifat dinamis, misteri dan juga paradox. Dinamis: membuat manusia terus mengalami perkembangan. Dalam perkembangan, manusia akan berhadapan dengan bermacam-macam masalah yang sebenarnya tidak pernah berakhir. Yang patut untuk dipertahankan adalah bahwa persoalan manusia harus terus dilakukan supaya hidup semakin bermutu.
      Filsuf kuno, Aristoteles, mengungkapkan manusia adalah binatang berpikir, yang dalam bahasa Latinnya adalah "homo est animal rationale". Ungkapan ini secara jelas memperlihatkan bahwa berpikir adalah salah satu esensi manusia. Dengan terus mempertanyakan dirinya, manusia dapat mengungkapkan jati dirinya.
      Filsafat  manusia menghadirkan pandangan-pandangan mendasar tentang dimensi hakiki manusia, agar manusia semakin mengenal dirinya lebih baik. Sokrates mengatakan "kenalilah dirimu sendiri", mengungkapkan perlunya mengenal manusia secara memadai sebelum bertindak terhadapnya. Hal ini penting agar kita mampu dalam mencintai nilai-nilai kemanusiaan.
Kesimpulan
      "Siapakah manusia?" merupakan pertanyaan fundamental dalam sejarah hidup manusia. Segala pertanyaan yang menyangkut hal-hal lain seperti nafas, matahari, sub-atom, perang, tubuh serta Tuhan hanya relevan jika dikaitkan dengan manusia. Tetapi bagi manusia sendiri, mengenal, dari mana asal-usul, tujuan hidup serta bagaimana menghayati hidup secara konsisten adalah masalah yang berbeda-beda. Namun, bagaimana pun juga segala pertanyaan ini merupakan satu kesatuan yang berkaitan dengan pemaknaan hidup serta nilai-nilai keberadaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H