Â
KOI (Komite Olimpiade Indonesia) perlu menelaah lebih dalam tentang suksesnya prestasi kontingen Indonesia pada Olimpiade tahun 1992. Setidaknya, sukses bulutangkis/badminton menjadi skema awal dalam menyusun roadmap dan masterplan prestasi atlet yang dibina.
Setiap kultur cabang olahraga memiliki tradisinya sendiri-sendiri, meski terkadang juga terdapat tradisi di luar kewajiban atlet di lapangan. Kalau berdasarkan markas angker, Istora Senayan pastinya yang paling trending. Sedangkan Gelora Bung Karno (GBK) menjadi tempat singgahnya Macan Asia  Timnas Indonesia era 1958   di cabor Sepakbola.Â
Musuh bebuyutan Timnas Indonesia pun sampai kewalahan, apabila sedang bertandang ke GBK. Euforia penonton yang memekikkan," Indonesia,,,tetet tetet tetet" sambil diiringi suara terompet khas pertandingan sepakbola sangat menderu. Suara penonton GBK yang bergemuruh pasti akan selalu dinanti punggawa Timnas untuk memberikan efek terapi mental kepada tim lawan. Begitu juga, Istora Senayan pada cabor bulutangkis sangat ditakuti sekaligus dinanti oleh tim bulutangkis manapun.
 Atmosfer Istora ternyata mendapatkan tempat tersendiri bagi pemain negara China dan Singapura. Chen Qing Chen ganda putri China, juga punya banyak penggemar di Indonesia. Dia terlihat sangat menikmati setiap bertanding di Istora. Pantas saja dia sering langganan juara ketika ada event Indonesia Open maupun Masters di sana. Loh Kean Yew terus melakukan pemanasan yang disertai dengan suara gemuruh khas dari Indonesia "Ea, Ea, Ea.".Â
Pebulu tangkis berkebangsaan Singapura itu pun kagum dan sangat senang jika bermain di Indonesia, karena suporternya yang sangat seru. Tidak herman  ungkapan sangat "heran"  pemain Singapura itu sering menjadikan penonton Istora sebagai panggung hiburan ketika sebelum dan pas bertanding. Namun, kedua cabor favorit di Indonesia itu tidak sesuai dengan tradisi tempat angker para atlet negara lain. Oleh karenanya, cabor bulutangkis yang menjadi ikon Olimpiade, juga paling lengkap prestasinya layak jadi yang terfavorit di Indonesia.
Begitu juga, tradisi emas Olimpiade didominasi oleh olahraga bulu angsa ini; walaupun kini, bahan shuttlecock terbuat dari bulu hewan alami dan gabus berbahan serat kayu dari pohon ek (oak). Dikutip dari sejarah keikutsertaan Indonesia di Olimpiade, cabor ini tidak pernah absen untuk ikut serta mendulang medali emas mulai tahun 1992 sampai sekarang.Â
Kiprah bulutangkis terus menjadi lumbung emas Indonesia, kecuali tahun 2012 di London. Kala itu, Pasangan ganda campuran Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, gagal meraih medali perunggu sehingga tak satu pun medali disumbangkan cabang bulutangkis di Olimpiade London. Mereka dikalahkan dua set langsung oleh pasangan Denmark, Joachim Fischer/Christinna Pedersen, dengan angka 21-12 dan 21-12 di babak semifinal.Â
Namun, noktah Olimpiade kala itu dapat ditebus "lunas" oleh mereka kala berhasil mendulang emas di tahun 2016, Brazil. Euforia itu sekaligus menjadi satu-satunya emas yang didapat kontingen merah putih. Indonesia menjadi langganan emas Olimpiade lewat cabor bulutangkis; namun hanya 1 emas yang berhasil didapat.Â
Sejarah pun sudah terbuat  yang menjadi starting point langganan emas sekaligus paling banyak, juga terbanyak perwakilan atlet yang mewakili  di tahun 1992.  Begitulah, kala kita melihat program Olimpiade Indonesia paling sukses di Barcelona. Selain suksesnya Indonesia, IBF (International Badminton Federation) selaku induk organisasi badminton dunia, juga ikut sukses mendaftarkan cabor ini masuk kategori Olimpiade.Â
Namun, pada tahun 2006, Kongres Luar Biasa digelar untuk mengganti IBF menjadi BWF (Badminton World Federation) sampai sekarang. Perlu dicatat bahwa Indonesia pernah mendulang emas di tahun 1972. Badminton sempat dipertandingkan sebagai cabang olahraga percobaan di Olimpiade Munich (Jerman) pada 1972.
Indonesia mampu menyumbangkan dua medali emas melalui Rudy Hartono (tunggal putra) serta pasangan Ade Chandra/Christian Hadinata (ganda putra). Ironisnya, emas tak dihitung dalam time table karena masih tergolong pertandingan eksibisi, sebelum akhirnya pada tahun 1992 badminton bisa masuk Olimpiade.
KOI?  sebutan bagi organisasi yang menaungi atlet nasional untuk berprestasi di event Olimpiade dan Non Olimpiade; Sea Games, Asean Games, dan sebagainya  perlu menelaah lebih dalam tentang suksesnya prestasi kontingen Indonesia di tahun 1992. Setidaknya, sukses badminton di tanah air menjadi skema awal dalam menyusun roadmap dan masterplan prestasi atlet yang dibina. Bukan maksud menggurui maupun menjelekkan.Â
Namun, ibarat pepatah, "Gajah di pelupuk mata tak tampak, namun semut di ujung samudera tampak". Bisa jadi, KOI belum bisa mendeteksi atas skema terbaik yang cucok bok (red; sesuai) dengan kapasitas serta kapabilitas pemerintah dengan kinerja atlet sekarang ini. Tak salah ada ungkapan " Belajarlah sampai ke negeri Cina!".Â
Walaupun negeri tirai bambu itu pernah mendapatkan julukan "Sick Man of East Asia" (Pesakitan dari Asia Timur), namun semangat mereka tak bisa disamakan dengan tirai kain di kamar kita. Layaknya sebuah bambu yang kokoh nan kuat untuk menyokong jenis bangunan apapun, sejak kembalinya posisi sah China di Komite Olimpiade Internasional (International Olympic Committee/IOC) pada 1979, atlet-atlet China memiliki lebih banyak kesempatan untuk berkompetisi di tingkat internasional.Â
Ketika atlet tembak Xu Haifeng merebut medali emas Olimpiade pertama bagi China di Olimpiade Los Angeles pada 1984, hanya sedikit yang dapat memperkirakan dampak transformatif yang akan ditimbulkan oleh kemenangan Xu itu bagi dunia olahraga China. Setelah kemenangan bersejarah tersebut, China berinvestasi besar-besaran untuk mengembangkan infrastruktur olahraga, program pengembangan bakat, dan ajang olahraga internasional.
Angin apakah gerangan sehingga ada orang mengingat prestasi Olimpiade dengan KOI?. Indonesia sudah benar dengan ajang internasional, namun pengembangan atlet  baru sadar di tahun 2020   dan infrastruktur masih terbelunggu dengan UU No. 34 ayat 1 tahun 2005 yang menyatakan bahwa " Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan perencanaan, pembinaan, pengembangan, penerapan standardisasi, dan penggalangan sumber daya keolahragaan yang berbasis keunggulan lokal".Â
Namun, kebanyakan olahraga yang dikembangkan lebih pada yang "disenangi" bukan "diunggulkan" . Pantas saja, rata-rata di daerah, kebanyakan memiliki lapangan sepakbola, badminton, dan voli. Panahan, panjat tebing, selancar, dayung, senam, balap sepeda, angkat besi, judo, renang, dan atletik bagaimana?, padahal Indonesia mengirimkan atlet cabor tersebut pada Olimpiade 2024 kali ini. Apakah Indonesia mampu berprestasi layaknya Olimpiade 1992?Layak kita nantikan!.
Ahmad Afif, Pengamat Olahraga Nasional dan Analis Prestasi Olahraga Nasional dari Gerakan Pengasuh Pesantren Indonesia (GAPI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H