JALAN MENUJU PONDOK SUNYI
*Steven Saunoah
Sembari melantukan doa lelaki tua itu memejamkan mata,
"apa kabar malam, barisan lelahku telah usai dimakan siang,
saat itu pula ragaku terbaring lemah dilahap habis sang pemangsa
yang berkeliaran tak menentu mencari jalan pulang".
Jalan itu kecil. Berbatu, berbau dan penuh kerikil,
entah tak disadari, seorang anak ingin menemui Sang Ayah.
Satu saja keyakinannya pada sebaris doa kumal
 "semoga Ayah menerimaku kembali. Sebab, aku telah letih
dan capek menghirup bau busuknya dunia,
serta kenyang menerima makan pemberian pendosa".
Â
"Ayah, aku telah berdosa terhadap Engkau dan juga kepada dunia.
Sakitnya kakiku ditembusi karang, wajahku hancur dicaci maki sahabat,
yang dulunya akrab, kini lari meninggalkanku, sebab tak ada lagi yang melekat
pada diriku yang telah hampa", anak itu membatin dalam doa.
Lelaki tua itu membuka mata.
telah sekian lama, dia menanti anaknya di jendela senja.
Tangis, harap dan rindu ingin bertemu anaknya hampir sirna.
"Mengapa kau lama sekali, nak? Bukankah kita telah berjanji ingin sharing bersama?".
Mereka bertemu. Senyum merekah tak henti-hentinya,
"ayah, biarkan aku mengikutimu menuju Pondok yang sunyi itu,
ijinkanlah aku membasuh hatiku dengan air pertobatan di lereng hulu,
agar sakitku menjadi Amin yang tulus kepada-Nya".
Keduanya memejamkan mata bersama, lelaki tua dan anaknya.
Sang ayah telah usai bergulat dengan siang, sang anak telah jatuh.
Kini keduanya sedang menyiapkan bekal, menuju Pondok di sana,
yang sepi dan sunyi, penuh damai tanpa luka yang lirih.
"Ijinkahlah tobat kami sampai pada-Mu, Ayah.
Sebab, pada-Mu hati kami merasa teduh".
Penfui, 09 Maret 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI