*Steven Saunoah
Malam itu kau bersandiwara bersama puisi: memainkan kata-kata piluh,
tak tahu ke mana arahnya dan diam-diam meninggalkan rindu di jendela senja.
"Kau masih saja seperti dulu. Menebarkan jejak pada rintik yang turun kemarin sore," bisik seorang gadis.
Suatu malam, aku mengemas kata sembari bertanya, "haruskah aku menabungnya di dalam celengan mimpimu? Dan adakah kau akan melihat isi saldo kepalaku yang penuh dengan berjuta kenangan?"
Malam itu pun kau hanyutkan suaramu di sela hujan, hujan yang mengguyur basah tubuh sajakku. "Mengapa kau selalu menabung kata pada mulut manismu? Harusnya kau sadar bahwa kau hanyalah sebutir kata dari dua paragraf panjang kisah kita: waktu dan puisi. Sewaktu-waktu kata itu akan membelah diri menjadi gerimis hujan di sore hari," bisiknya.
Kau terlalu pandai mencuri celengan hatiku, nona. Hingga malam ini pun tak lagi serasa senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu dan minggu. Tapi sebuah malam puisi yang indah jika ditulis.
Malam makin suram. Aku bergegas merapikan hujan di kabut mataku.
"Rupanya malam ini tidurku akan nyenyak," aku membatin.
"Sudahi sakitmu, sebab aku ada di dalam sakitmu itu. Biarkan sajak pertama adalah waktu dan sajak kedua adalah Amin, dari sederet puisi yang kuberi judul: KITA," lagi-lagi suaramu hadir.
Ah, sudahlah. Mataku telah sayup, dan kata-katamu seperti pembunuh berdarah dingin, yang senang sekali menorehkan luka.
"Sesederhana itukah rindu kau peluk dan menulisnya dalam sajak sederhana yang sulit mati?".
Penfui, 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H