Mohon tunggu...
Steven Saunoah
Steven Saunoah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA-KUPANG
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Terkadang menulis membuat saya mengekspresikan segala jiwa. Tulisan yang saya senangi adalah puisi. Jika jatuh maka bangkit lagi. Never Give Up.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Angkara Telah Jatuh atas Kampungku

13 Maret 2023   15:41 Diperbarui: 13 Maret 2023   15:57 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Setitik Dakwat

***

Aku senang menyeberangi puluhan pematang sawah yang indah membentang dan kompak menumbuhkan barisan padi yang menyegarkan mata. Sewaktu kecil, aku sering berlarian mengusir burung-burung kecil yang memakan padi dengan ketapel kecilku yang lucu. 

Sebab memang ketapel itu dibuat agar tanganku yang mungil dapat memegangnya dengan baik. Yang terpenting dari kegunaan ketapel itu adalah untuk mengusir burung. Meskipun intensiku sebenarnya adalah mengenai salah satu dari puluhan burung yang terbang berkelompok tersebut. Sudahlah, aku memang buruk dalam mengarahkan ketapel.  Jika musim panen tiba, transportasi pun jadi kendala utama. Banyaknya petani membuat komoditi panenan yang siap jual pun terbatas jumlahnya.

Di kampungku orang bepergian ke ibukota menggunakan truk kayu tua yang hanya berjumlah tiga. Sehingga akan ada tabrakan antara barang dan manusia yang hendak dibawa. Hal ini membuat pendapatan para petani menurun, kecuali mereka mau memesan truk angkutan dari ibukota yang sudah tentu mahal tarifnya. Namun inilah satu-satunya jalan agar dapat membawa seluruh hasil panen. Aku pernah sekali ke ibukota. Di sana banyak hal yang beda dan bahkan terkesan aneh bagiku. 

Orang-orangnya pun memiliki busana yang berbeda, bahkan aku pernah ditertawakan dan diejek lewat bisikan-bisikan pelan. "Kampungan sekali!" Peradaban di ibukota kontras dengan keadaan kampungku. Kalau ditanya apa yang tidak disukai dari ibukota, saya hanya akan menjawab "udara yang panas." Aku merenung.

Nampaknya peradaban yang telah maju ini menjadi alasan para manusia pribumi di kampungku memilih tak pulang. Aku tersenyum kecut dan lanjut tertawa heran, "Pantas saja tertawa kan terus nyaring menggetarkan jatuhnya dedaunan di sela-sela bebatuan jalan." Anak-anak akan terus tumbuh besar menjadi berbagai ikon kebanggaan, namun sinyal, jalanan, dan listrik selalu membuat orang enggan berpulang.

***

Ayahku pernah berpesan tentang pentingnya menjaga kesesuaian antara kata dan tindakan. Sebab ada konsekuensi yang ditanggung untuk setiap kepercayaan yang dilukai. Ayahku berujar, "Tampang rupawan bukan ukuran kemuliaan. Ingat Narsius mati karena cinta akan tampang. Caesar dan Antonio jatuh karena Cleopatra memabukkan dalam sekali pandang. Kualitas seseorang harus nampak dalam tindakan bukan hanya sebatas pikiran dan kata-kata penghiburan. Jangan cepat percaya dengan yang terlihat menyenangkan!" Sejak waktu itu, aku selalu berada dalam kewaspadaan setiap kali mendengar bualan tentang janji oleh para pesaing takhta di daerah kami.

Namun kewaspadaan itu tak bertahan lama. Setelah ayah meninggal dan aku sudah cukup bekal untuk bersuara di kampung, malah jadi salah langkah. Seorang pria berwajah rupawan dan berkepribadian tenang seperti ayah datang dan berhasil membuat saya percaya padanya. 

Entah karena dia mirip ayah atau karena dia sangat pandai bercengkrama tapi ada karisma dalam dirinya, yang sangat meyakinkan.  Aku pun mulai menyebarkan warta tentang penyelamat yang sangat nyata. Semua orang terlihat bergembira. Akan tetapi, belum sampai waktu pemilihan tiba, ia meninggal di rumahnya. Penyakit lama ku kambuh, aku tertawa dengan keras, bahkan hampir semua penduduk desa mendengarnya. Kampung ini sungguh telah dijatuhi angkara.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun