Angkara Telah Jatuh Atas Kampungku
*Fr. Egi Narang
Darah amis di kedua telapak tangan, kupandang ke depan dan aroma kematian berhamburan. Seorang pria setengah baya sedang berusaha menghirup oksigen sekuat tenaga, mencari-cari penghalau sesak di dada. Aku tertawa dan tamat. Kampung kami masih sama seperti kiamat.
***
Angkara jatuh atas kampungku. Lihat, ibukota penuh listrik dan sinyal jejaring internet yang melesat begitu cepat. Lihat, jalanan nan mulus milik ibukota hanya hasrat yang mati terkubur mimpi di sini. Kampungku yang asri namun penuh ironi. Oh ya, mungkin kampungku hanyalah kumpulan orang penuh dosa yang harus dirajam para suci.Â
Atau sederet kepala tanpa arti yang enggan dilihat kepala penuh uang dan supremasi. Pada titik ini kudapati sebuah arti dari janji yang terasa manis, waktu kursi di kantor bupati belum punya kekasih. Waktu hujan rintik-rintik tak dipedulikan ribuan mata penuh kilatan turbulensi. Janji itu kunci memenangkan hati. Jalanan yang dilalui penuh cerita tragedi. Sebab aspal adalah ilusi yang tak kunjung lepas dari mimpi. Lubang yang cukup memasukkan sebuah bola kaki dan bebatuan yang tumpang tindih membuat bercak darah di jalanan hampir selalu pasti ditemui.
Orang-orang mengaitkan kisah perang saudara di masa lampau sebagai akibat pergerakan yang konstan, katakanlah begitu. Maka, karma menjadi alasan untuk tetap tenang pada keadaan. Para pemegang kekuasaan senang bukan kepalang, jika paradigma demikian berkembang. Tanggungjawab berkurang, strategi untuk eksis pada posisi bisa terulang. Yang membuat lemah adalah anak-anak pribumi yang gengsi untuk pulang. Aku tertawa sambil menangis. Sungguh tawa yang sedih sedang tumpah ke bumi pertiwi.
***
Sekelompok burung gagak terbang di angkasa yang lebam. Seorang ibu muda baru saja meninggal setelah melahirkan, akibat pendarahan yang tak bisa dihentikan. Mobil ambulans yang ada hanya bisa mengantarnya seperempat perjalanan sebelum maut menjemputnya pulang.Â
Seandainya jalan itu mulus terbentang, seorang bayi tak berdosa masih bisa merasakan hangatnya pelukan ibunda. Rujukan ke Rumah Sakit besar sebagian besarnya sia-sia, sebab belum sampai setengah perjalanan telah berbalik pulang. Bahkan bisa lebih parah lagi, mogok hingga kecelakaan terjadi karena jalanan tak mendukung ban untuk berputar lebih nyaman. Kendaraan bermotor tak pernah tahan lama, bagusnya hanya bisa dinikmati sementara. Saat malam, kampungku begitu redup ditelan gelapnya malam.
Lampu pelita yang dinyalakan harus disesuaikan durasinya dengan banyaknya minyak tanah yang kami miliki. Lampu yang memakai tenaga surya pun tergantung pada kecerahan matahari, ujung-ujungnya suram juga. Generator? Tak semua orang punya, mahal. Bahan bakar solar di kampung kami pun terbatas. Pemerintah berdalih kalau banyak urusan, ada yang harus diprioritaskan. Apakah perut yang hampir pecah tertimbun uang penindasan? Apakah kerlingan mata yang menjenguk aroma parfum kupu-kupu malam?Â
Apakah lulur pelembut kulit yang sukses menjamah badan? Atau telah menjelma tikus-tikus pengerat logam? Aku kesal dengan keadaan kampungku. Namun apa boleh buat, kuasa adalah kekuatan. Â Aku hanyalah bayangan yang hanya bisa menjadi refleksi penyesalan, tanpa bisa menyentuh keinginan terdalam. Aku tertawa seperti orang gila di beranda rumah yang gelap dan sepi di kala malam, untuk sekian banyak waktu yang tak bisa ku hitung jumlahnya.