Alangkah beruntungnya Minke yang mendapatkan perhatian Annelies, yang kecantikannya dipuja semua pria yang pernah melihat parasnya. Minke sendiri pun terang-terangan memuji kecantikan Annelies yang bagaikan seorang dewi. Minke memperlakukannya seolah ia permata yang sangat berharga, dan bahkan untuk menyatakan ketertarikannya Minke dengan berani mencium Annelies pada hari pertama mereka bertemu. Tentu Annelies tidak terbiasa dengan perlakuan yang demikian merasa sangat kaget dan malu. Namun, di sisi lain ia bahagia karena perbuatan Minke yang seperti itu membuat Annelies merasa sangat dicintai. Cinta yang selama ini ia cari dan ia tidak dapatkan kini muncul di hadapannya.
Annelies yang dengan sukarela jatuh ke dalam pesona Minke mulai menggantungkan diri dan hidupnya pada Minke. Kian hari pengaruh Minke dalam kehidupan Annelies semakin besar. Apalagi atas permintaan dari Annelies dan Nyai, Minke akhirnya tinggal di Boerderij Buitenzorg. Intensitas pertemuan Annelies dan Minke pun semakin banyak. Annelies dimabukkan oleh cintanya akan Minke. Bahkan sehari tanpa Minke saja rasanya Annelies tidak kuat. Seminggu tanpa Minke, ia akan jatuh sakit. Dan bayang-bayang tidak dapat bertemu Minke lagi bahkan bisa membuatnya kehilangan semangat hidup.
Syukur, bukan Annelies saja yang ketergantungan Minke. Sebaliknya, Minke juga ketergantungan Annelies. Meski awalnya sempat bimbang karena perkataan orang-orang, Minke akhirnya memutuskan untuk mengakui cintanya pada Annelies. Dengan restu dari Nyai dan dari Bunda Minke, mereka berdua menikah secara resmi berdasarkan agama. Annelies merasa begitu bahagia. Mungkin kalau pernikahan ini bisa bertahan sampai sekiranya mereka berdua menjadi kakek-nenek Annelies dapat bertumbuh menjadi seorang yang berbeda. Menjadi seorang wanita tangguh yang sudah mampu melepaskan kepahitan masa lalu, menjadi seorang ibu yang luar biasa bagi anak-anak yang dimilikinya dari pria yang paling ia cintai.
Namun kenyataan berkata lain. Baru menikah, pengantin baru itu sudah dihadapkan pada persoalan rumit yang lain. Maurits Mellema, saudara tiri Annelies yang berasal dari pernikahan resmi Herman Mellema dengan seorang perempuan Belanda, menuntut harta bagiannya dari Herman Mellema yang baru meninggal. Tak hanya itu, ia pun menuntut hak asuh Annelies. Dengan kekuatan pengadilan Belanda yang memandang rendah pribumi, dikeluarkanlah keputusan bahwa Annelies harus pergi ke negeri Belanda. Pernikahannya dengan Minke tak dianggap sah, Nyai pun tak dianggap sebagai orangtua Annelies.
Annelies jatuh sakit, terpuruk karena kenyataan. Tidak ada lagi Annelies yang rajin bekerja dan selalu memandang Minke dengan seyum penuh cinta. Rapuh benar ia sekarang. Merespon hanya dengan anggukan, tak mau ia berbicara, makan dan minum pun enggan, hanya meratapi kepergiannya yang tinggal menghitung hari. Wajar saja ketika ia bersikap seperti ini, setelah melewati tahun-tahun yang berat, kiranya ia akan dapat hidup bahagia dengan pria yang ia cintai tapi ternyata ia tidak dapat. Sungguh pukulan yang amat menyakitkan buat Annelies, yang selalu merindukan cinta.
Ketika hari kepergiannya tiba, Annelies membuka suara. Ia menerima kenyataan bahwa ia harus pergi, dan membuat pernyataan bahwa ia takkan kembali. Bahkan sampai pada saat terakhirnya, ia hanya mau membawa sebuah koper tua, yang digunakan Nyai ketika dijual kepada Herman Mellema, dan batik yang ia pakai pada hari pernikahannya. Minke dan Nyai adalah orang yang membuat Annelies bisa bertahan untuk tetap memiliki cinta dan pengharapan meski ia telah terluka begitu banyak.
Salah satu hal yang paling saya sukai dari Annelies, ia tidak menyesalkan cintanya pada Minke ketika akhirnya mereka harus berpisah. Meski menderita, sampai akhir hidupnya yang dikenangnya adalah kebahagiaan yang pernah ia miliki bersama Minke meski hanya sebentar. Banyak orang yang dengan sok menutup hatinya, berhenti mencintai, karena takut terluka, menyesalkan pertemuan dengan cinta karena harus berakhir dengan perpisahan. Tapi, Annelies yang rapuh ini, yang dibesarkan oleh keluarga yang penuh masalah ini, yang merupakan manusia biasa seperti kita, menghargai pertemuan dan cinta yang harus diakhiri dengan perpisahan itu, sama sekali tidak menyalahkan cinta. Malah memperlakukannya sebagai sebuah harta yang tiada ternilai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H