Sungguh kejutan besar bagi saya bisa terpilih menjadi salah satu peserta workshop penulisan kreatif kompas. Terlebih lagi serangkai dengan agenda Borobudur Writers and Cultural Festival 2016. Untuk kesempatan yang mengharukan itu, saya amat berterima kasih kepada Harian Kompas. Sesi workshop telah berlangsung Jumat pagi, 7 Oktober di Plataran Borobudur Resort and Spa, Magelang.
Pertama kali datang ke Pelataran Hotel saya menyukai tempat tersebut. Sangat indah dan nyaman, meskipun jalan masuknya lumayan mblusuk. Tidak jauh dari Punthuk Setumbu yang fenomenal itu. Panorama hotel pun samar-samar membuka tabir pesona Candi Borobudur. Gak heran banyak orang bule mengasingkan diri disana.
Suasana sekitar lokasi workshop rasanya bikin betah. Sebuah gedung putih berinterior cantik terletak di depan kolam renang dengan pemandangan terbuka. Ketika masuk ke dalam ruang, nampak beberapa deret meja dan kursinya. Ternyata dari ratusan pengirim karya, hanya terpilih 20 orang peserta saja. Bentuk naskah cerpen, puisi, prosa, feature,atau essay, terpilih melalui proses seleksi.
Karena itulah, tidak sedikit peserta workshop yang jauh-jauh datang ke Magelang. Bahkan beberapa teman datang dari luar wilayah Jawa Tengah. Ya, ini kesempatan sekali dalam setahun dimana kami akan mendapat materi penting tentang penulisan kreatif. Langsung dari mentor berpengalaman, yaitu Joko Pinorbo dan Putu Fajar Arcana. Kedua nama ini bukan lagi sosok asing dalam dunia sastra dan jurnalistik tanah air.
Nah, berikut ini saya paparkan sekilas materi yang kami peroleh dalam workshop penulisan kreatif bersama Kompas.
Dalam sesi pertama, penyair Joko Pinurbo berbagi materi tentang pentingnya tekanan objek ketika kita berkarya. Inspirasi cerpen maupun puisi bisa diperoleh dari objek apapun di sekitar kita.
Salah satu trik kuncinya adalah memanfaatkan kamera. Potret apa saja yang menarik bagi Anda. Jendela, kursi, kolam, apapun itu, mungkin terlihat sepele jika dipandang secara fungsional. Akan tetapi sebenarnya semua objek diam tersebut bisa bernilai fenomenal. Kita hanya perlu mengasah naluri dan kepekaan rasa.
Selain itu cobalah berpikir lebih terbuka untuk melihat realita sosial di lingkungan sekitar. Jadi, tulisan kita bisa berkembang. Tidak hanya mengulang tema-tema cinta. Tetapi tajamkan pada gagasan yang lebih real serta menyentuh rasa.
Jokpin sendiri baru saja menyusun ulang karya-karya terbaiknya dalam buku puisi berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Ia mencontohkan bagaimana sebuah becak bisa menjadi tiga bentuk puisi naratif, dengan perspektif berlainan. Benar, puisi tidak selalu butuh kalimat-kalimat cantik yang terlalu puitik. Jika kita berangkat dari rasa empati yang kuat maka rangkaian kata akan terjalin dengan gradasi maknanya sendiri.
Sekali lagi, konkritkan obyek kemudian galilah makna dari pengalaman hidup kita sendiri, maupun orang lain yang kisahnya spesifik untuk diungkapkan.