Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jika Allah Ada, Mengapa Kejahatan Terjadi?

18 Agustus 2018   19:39 Diperbarui: 25 Agustus 2018   18:42 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kadang kita sebagai manusia bertanya-tanya mengapa Allah mengizinkan kita untuk melalui situasi tertentu yang begitu menyakitkan. Namun hanya karena kita menemukan kesulitan untuk membayangkan apa alasan Allah melakukan itu tidak berarti bahwa tidak ada alasan apa pun di balik ini semua. Dari perspektif kita sebagai manusia yang terbatas, kita seringkali hanya dapat melihat sedikit sekali benang dalam rajutan hidup yang luar biasa dan juga kehendak Allah. Kita tidak memiliki gambaran yang utuh. Ini sebabnya mengapa Allah memanggil kita untuk memercayai-Nya (lihat Ibrani 11). Allah melihat gambaran utuh dan tidak membuat kesalahan-ke-salahan. Ia mempunyai alasan untuk mengizinkan situasi-situasi yang menyakitkan menimpa kita—bahkan sekalipun kita tidak dapat memahaminya.

Geisler memberikan kita sesuatu yang penting untuk kita pikirkan dalam hal tersebut: Bahkan di dalam keterbatasan kita, merupakan hal yang mungkin bagi manusia untuk menemukan maksud-maksud yang baik bagi rasa sakit—hal-hal semacam ini mengingatkan kita untuk kejahatan yang lebih besar (seorang anak kecil hanya perlu menyentuh kompor panas sekali saja untuk belajar tidak melakukannya kembali), dan untuk menghindarkan kita dari penghancuran diri sendiri (saraf-saraf yang ada dalam diri kita mendeteksi rasa sakit sehingga kita tidak akan, misalnya, terus memegang wajan panas di tangan kita). Jika manusia terbatas dapat menemukan maksud-maksud baik bagi kejahatan, maka pastilah Allah yang bijaksana dan tak terbatas memiliki maksud-maksud baik untuk semua penderitaan. Kita mungkin tidak mengerti maksud itu di dalam hal-hal temporal “saat ini,” tetapi bagaimanapun hal ini ada. Ketidakmampuan kita untuk membedakan mengapa hal-hal buruk kadang terjadi kepada kita tidak menampik bukti kebaikan Allah; hal tersebut hanya mengekspos ketidaktahuan kita.

Baik bagi kita untuk terus mengingat adanya dimensi waktu. Seperti yang telah kita lakukan dalam mengevaluasi kunjungan ke dokter gigi itu dalam konteks dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan di masa mendatang, Alkitab mengingatkan orang-orang Kristen untuk mengevaluasi penderitaan sekarang ini dalam terang kekekalan. Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan  zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Roma 8:18; lihat juga 2 Korintus 4:17; Ibrani 12:2; 1 Petrus 1:6-7).

Dan jangan lupa bahwa meskipun kita menghadapi penderitaan, Allah memiliki kemampuan sebagai Penguasa alam semesta yang berdaulat untuk membawa kebaikan darinya (lihat Roma 8:28). Sebuah contoh akan hal ini adalah kehidupan Yusuf. Saudara-saudaranya iri hati terhadapnya (lihat Kejadian 37:11), membencinya (37:4, 5, 8), ingin membunuhnya (37:20), menjebloskannya ke dalam sumur (37:24), dan menjualnya ke pasar budak (37:28). Kemudian Yusuf dapat mengatakan kepada saudara-saudaranya, “sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu.” (45:5), dan “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (50:20). Walaupun hal-hal jahat terjadi pada Yusuf, Allah memiliki maksud pemeliharaan dalam mengizinkan semua ini terjadi.

Rasul Paulus tentu tidak suka dipenjara, namun Allah mempunyai maksud pemeliharaan dalam mengizinkan ini terjadi. Bagaimanapun, selama di dalam penjara Paulus menulis kitab Efesus, Filipi, Kolose, dan Filemon (lihat Efesus 3:1; Filipi 1:7; Kolose 4:10; dan Filemon 9). Allah dengan jelas membawa kebaikan dari penderitaan Paulus.

Kadang, “kebaikan” yang Allah datangkan dari penderitaan melibatkan hal-hal yang membawa kita lebih dekat kepadaNya. Joni Eareckson Tada, yang patah leher dalam sebuah kecelakaan renang dan menjadi quadriplegic, mengatakan tragedi dirinya membawanya jauh lebih dekat kepada Allah. Ia bahkan dikutip mengatakan bahwa ia lebih suka berada di kursi roda bersama dengan Allah daripada dapat berjalan tanpa Allah.

Kadang, “kebaikan” yang Allah datangkan dari penderitaan menghasilkan perubahan positif dalam karakter kita. Petrus mengacu kepada hal ini ketika ia mengatakan, “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kris-tus menyatakan diri-Nya” (1 Petrus 1:6-7; parafrasa modern adalah: “No pain, no gain”-“Tidak akan ada keberhasilan tanpa perjuangan yang berat”).

Semuanya ini dikatakan dengan sebuah pandangan untuk menekankan perlunya iman di tengah-tengah dunia yang penuh penderitaan ini. Allah pasti sedang mengerjakan maksud-Nya di tengah-tengah kita, dan kita harus memercayainya! Saya suka dengan cara Gary Habermas dan J.P. Moreland menuturkannya. Mereka mendorong kita untuk memelihara pandangan “atas ke bawah”: Allah alam semesta mengundang kita untuk memandang hidup dan kematian dari sudut pandang kekekalan-Nya. Dan jika kita melakukannya, kita akan melihat bagaimana hal ini merevolusi kehidupan kita: keresahan-keresahan sehari-hari, luka-luka emosional, tragedi, respons-respons kita dan tanggung jawab kepada orang lain, kepemilikan kita , kekayaan, dan bahkan rasa sakit fisik serta kematian. Semuanya ini dan banyak lagi dapat dipengaruhi oleh kebenaran surga. Kesaksian berulang kali dari Perjanjian Baru adalah bahwa orang-orang percaya harus melihat segala masalah, seluruh keberadaan mereka dari apa yang kita sebut pandangan “atas ke bawah”: Allah dan Kerajaan-Nya terlebih dahulu, yang diikuti dengan berbagai aspek dari keberadaan duniawi kita.

Di masa depan—ketika kita akhirnya mencapai “hal terbaik dari semua kemungkinan dunia yang dapat diciptakan” bahwa Allah sedang menghadirkan, negara surgawi itu “di mana arsitek dan pembangunnya adalah Allah” (Ibrani 11:10 NKJV)— kita akan mengalami reuni besar yang tidak akan pernah berakhir! Kematian, kejahatan, penderitaan, dan air mata akan menjadi masa lalu.

Bacaan penting :

  • Ken Boa & Larry Moody, I’m Glad You Asked (Colorado Springs: Victor, 1994).
  • Norman L. Geisler, Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand Rapids: Baker, 1999).
  • Millard J. Erickson, Introducing Christian Doctrine (Grand Rapids: Baker, 1996).
  • Norman L. Geisler & Ronald M. Brooks, When Sceptics Ask (Wheaton, III.: Victor, 1990).
  • Robert Morey, The New Atheism and the Erosion of Freedom (Minneapolis: Bethany House, 1986).
  • Paul E. Little, Know Why You Believe (Downers Grove, III.: InterVarsity Press, 1975).
  • Norman L. Geisler & Jeff Amanu, “Evil,” dalam New Dictionary of Theology, ed. Sinclair B. Ferguson & David F. Wright (Downers Grove, III.: InterVarsity Press, 1988).
  • Rick Road, “The Problem of Evil: How Can a Good God Allow Evil?” (1996).
  • Dan Story, Defending Your Faith (Nashville: Nelson, 1992).
  • Harold Kushner, When Bad Things Happen to Good People (New York: Schocken, 1981).
  • Mary Baker Eddy, Miscellaneous Writings (Boston: Christian Science Publishing Society, 1896).
  • Emily Cady, Lessons in Truth (Kansas City, Mo.: Unity School of Christianity, 1941).
  • Ernest Holmes, What Religious Science Teaches (Los Angeles: Science of Mind Publications, 1974).
  • Walter Martin, The Kingdom of the Cults (Minneapolis: Bethany House, 1997).
  • David Spangler, Revelation: The Birth of a New Age (Middleton, Wis.: Lorian, 1976).
  • Rabi Maharaj, “Death of a Guru: The Personal Testimony of Rabi Maharaj,” Christian Research Newsletter 3, no. 3 (1990).
  • David Gershon & Gail Straub, Empowerment: The Art of Creating Your Life as You Want It (New York: Delta, 1989).
  • Shirley MacLaine, dikutip dalam Douglas Groothuis, “A Summary Critique,” review dari It’s All in the Playing, dalam Christian Research Journal (Fall 1987).
  • Lee Strobel, “Why Does God Allow Suffering?” (pesan yang disampaikan di Saddleback Valley Community Church, El Toro, California, 26 Februari 2000).
  • Gary Zukav, The Seat of the Soul (New York: Simon & Schuster, 1989).
  • Norman L. Geisler, The Root of Evil (Dallas: Probse, 1989).
  • C.S. Lewis, The Great Divorce (New York: Macmillan, 1946).
  • C.S. Lewis, The Problem of Pain (New York: HarperCollins, 2001, cetak ulang; dipublikasikan pertama kali, 1940).
  • Gary R. Habermas & J.P. Moreland, Immortality: The Other Side of Death (Nashville: Nelson, 1992).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun