Banyak penganut Zaman Baru percaya bahwa orang menciptakan semua realita yang ada padanya—baik jahat maupun baik—dengan kekuatan pikiran mereka. Penulis populer Zaman Baru David Gershon dan Gail Straub mencatat bahwa “kita tidak dapat menghindari menciptakan realita kita; setiap kali kita memikirkan sebuah pikiran maka kita sedang menciptakannya. Setiap kepercayaan yang kita pegang membentuk apa yang kita alami di dalam hidup kita.” Dalam hal ini, “Jika kita menerima premis dasar bahwa pikiran kita menciptakan realita kita, ini berarti kita bertanggung jawab untuk menciptakan semua realita kita—bagian-bagian yang kita sukai maupun bagian-bagian yang tidak kita sukai.”
Masalah yang kritis mengenai pandangan ini adalah bahwa jika manusia (sebagai allah) menciptakan realita mereka sendiri, seperti yang dikatakan para penganut Zaman Baru, maka seseorang tidak dapat mengutuk pribadi-pribadi yang melakukan kejahatan. Misalkan, seseorang harus menyimpulkan bahwa berjuta-juta orang Yahudi yang dieksekusi di bawah rezim Hitler membuat realita mereka sendiri. Maka, tindakan-tindakan Hitler tidak dapat dikutuk sebagai hal yang salah secara etis, karena Hitler hanya bagian dari sebuah realita yang dibuat oleh oleh orang-orang Yahudi sendiri. Begitu juga, seseorang tidak dapat mengutuk teroris yang meledakkan pesawat karena orang-orang di dalam pesawat terbang tersebut menciptakan realitanya sendiri.
Ketika putri dari Shirley MacLaine yang adalah guru seni peran terbakar habis dalam sebuah tabrakan, MacLaine bertanya, “Mengapa ia memilih untuk mati dengan cara demikian?” Apologet Kristen Douglas Groothuis, setelah membaca buku MacLaine it’s All in the Playing, merespons hal ini dengan mengatakan, “Kami menemukan Shirley menangis di depan televisinya ketika ia melihat dampak dari gunung berapi Chilean yang membunuh 25.000 orang. Mengapa menangis? Mereka memilih untuk mati demikian bukan?” Dengan kata lain, semakin seseorang bertanya-tanya terhadap penjelasan Zaman Baru mengenai kejahatan, maka hal ini semakin menjadi absurd.
Apakah reinkarnasi menjelaskan keberadaan kejahatan?
Banyak penganut Zaman Baru mendasarkan etikanya kepada reinkarnasi dan karma. Proses reinkarnasi (kelahiran kembali yang berkesinambungan) dikatakan terus berlanjut sampai jiwa mencapai tahap kesempurnaan dan bersatu kembali dengan sumbernya (Allah atau Sang Jiwa Universal). Karma mengacu kepada “hutang” yang diakumulasi oleh jiwa karena tindakan baik atau buruk yang dilakukan selama kehidupan seseorang (atau kehidupan di masa lalu). Jika seseorang mengakumulasi karma yang baik, ia akan tereinkarnasi dalam keadaan yang diinginkan. Jika seseorang mengakumulasi karma buruk, ia akan tereinkarnasi dalam keadaan yang lebih tidak diinginkan.
Banyak penganut Zaman Baru menjelaskan keberadaan kejahatan di dalam dunia kita dalam konsep pemikiran karma. Penulis Zaman Baru yang terkenal Gary Zukav, misalnya, mengatakan kita tidak seharusnya berprasangka ketika orang-orang menderita dengan sangat buruk, karena “kita tidak tahu apa yang sedang disembuhkan [melalui karma] dalam penderitaan ini.” Apa yang Zukav sebut sebagai “keadilan yang tidak berprasangka” membebaskan kita menjadi hakim dan juri terhadap kejahatan yang muncul; hukum karma akan membawa keadilan pada akhirnya.
Akankah Zukav membuat kita percaya bahwa ketika para tentara di Ceylon menembak seorang ibu yang merawat anaknya dan kemudian menembak ibu jari kaki bayinya untuk sasaran latihan tembak, ini akan membawa “kesembuhan” kepada jiwa sang ibu dan anaknya? Ketika kaum Shiites di Uni Soviet merobek kandungan seorang wanita Armenia yang mengandung dan merobek perut dari janin yang ada (kejadian nyata yang dilaporkan surat kabar), apakah Zukav benar-benar mengharapkan kita untuk menempatkan iman kita pada “keadilan yang tidak berprasangka” alih-alih menjadi marah secara moral? Di mana keilahian dan kesakralan dalam semua ini?
Banyak sekali masalah dalam doktrin reinkarnasi. Secara praktis, seseorang harus bertanya, mengapa seorang dihukum untuk sesuatu yang ia tidak ingat dia lakukan di dalam kehidupan sebelumnya? Lebih jauh lagi, jika (seperti dikatakan kepada kita) tujuan dari karma adalah untuk menghilangkan keinginan-keinginan egois dari kemanusiaan dari berbagai masa kehidupan, maka mengapa di sana tidak terlihat kemajuan dalam natur manusia setelah reinkarnasi yang berabad-abad? Mengapa kejahatan terus bertumbuh? Lebih jauh lagi, jika reinkarnasi dan hukum karma begitu bersumbangsih sampai kepada level praktisnya, seperti yang diklaim oleh para penganut Zaman Baru, maka bagaimana mereka menjelaskan masalah-masalah sosial ekonomi yang terus berlanjut—termasuk penyebaran kemiskinan, kelaparan, penyakit, dan penderitaan yang menyedihkan—di India, di mana reinkarnasi telah secara sistematik diajarkan sepanjang sejarah?
Sudah pasti reinkarnasi tidaklah Alkitabiah, melawan apa yang Alkitab ajarkan mengenai kematian dan kehidupan sesudahnya. Ibrani 9:27 secara gamblang menyatakan bahwa “manusia ditentukan untuk mati suatu saat, dan kemudian harus menghadapi penghakiman” (NKJV). Setiap manusia hidup sekali sebagai manusia fana di bumi, mati satu kali, dan kemudian menghadapi penghakiman. Ia tidak memiliki kesempatan kedua dengan reinkarnasi ke dalam tubuh yang lain (lihat Lukas 16:19-31; 2 Korintus 5:8).
Memercayai Allah dalam dunia yang penuh penderitaan
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, keberadaan kejahatan pada kenyataannya sinkron dengan keberadaan Allah yang mahabaik dan mahakuasa, sangat dekat dengan menekankan bahwa Allah Bapa yang penuh kasih memanggil kita untuk memercayai-Nya dengan iman yang seperti anak kecil selama kita hidup dalam dunia yang penuh penderitaan ini. Kadang-kadang, orang tua harus membuat keputusan bagi putra atau putrinya di mana keputusan tersebut mungkin melibatkan rasa sakit (seperti pergi ke dokter gigi). Dari perspektif sang anak, mereka mungkin tidak mengerti sepenuhnya mengapa orang tua memaksa untuk pergi ke dokter gigi. Terlepas dari ketidaknyamanan yang ada (dan bahkan rasa sakit), hal ini merupakan kebutuhan mereka yang sangat tepat untuk pergi ke dokter gigi.