Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Berpikir yang Berpusatkan Injil

18 Agustus 2018   00:18 Diperbarui: 18 Agustus 2018   01:12 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu saja tidak setiap pikiran akan menentukan perbuatan. Yang disorot adalah pemikiran (cara berpikir), bukan sekadar isinya. Ini tentang kebiasaan berpikir. Poin ini terlihat dari kata kerja "logizesthe" (imperatif present) yang menyiratkan sebuah tindakan yang terus-menerus. Paulus tidak hanya menasihati jemaat Filipi untuk mengingat hal-hal positif di ayat 8. Tidak cukup hanya memikirkan semua itu jikalau ada waktu luang di jam-jam atau situasi tertentu. Pikiran kita harus terus-menerus tertuju pada hal-hal itu. Dengan kata lain, kita meletakkan pikiran kita di sana. Sepanjang waktu. Di semua keadaan. Kebiasaan berpikir seperti ini pasti akan menghasilkan perasaan, keputusan, dan tindakan yang benar. Inilah yang menjadi kerangka berpikir kita. Pada waktu kita menilai segala sesuatu, kita akan menilai dengan kerangka tersebut. Bukan sekadar what you think, tetapi how you think. Jadikan semua nilai itu sebagai paradigma kita memandang segala sesuatu.

Apa saja yang perlu kita pikirkan?

Sebelum kita menguraikan setiap poin secara detail, kita sebaiknya meneliti terlebih dahulu jumlah poin yang dimaksud oleh Paulus. Penerjemah LAI:TB menganggap ada delapan poin, sebagaimana yang diterjemahkan oleh KJV/NIV. Para penerjemah versi Inggris yang lain (RSV/NRSV) menyediakan petunjuk bahwa dua poin terakhir mungkin berbeda dari enam poin sebelumnya. Pengamatan yang teliti terhadap sintaks dan tata bahasa Yunani menuntun kita untuk memperlakukan dua poin terakhir secara terpisah. Paulus tampaknya sengaja membedakan dua kategori ini. Kategori ke-1 (enam poin) menggunakan struktur "hosa + kata sifat" ("semua yang ......"). Kategori yang ke-2 (dua poin) memakai "ei tis + kata benda" ("jika ada......").

Tugas selanjutnya adalah menemukan fungsi dua poin terakhir. Untuk apa Paulus memisahkannya dari enam poin sebelumnya? Para penafsir Alkitab pada umumnya menganggap dua poin terakhir sebagai rangkuman dari enam poin sebelumnya. Enam poin diringkas menjadi dua poin: semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji. Fungsi yang lain adalah antisipasi poin-poin lain yang tidak sempat disebutkan oleh Paulus sebelumnya ("if there is any" RSV/NRSV). Paulus hanya menyinggung enam poin, lalu menambahkan dua poin lain sebagai payung bagi semua poin yang belum tercantum.

Sekarang marilah kita menguraikan masing-masing poin ini. Yang pertama adalah "semua yang benar" (hosa estin alethe). Kata "benar" (alethes) lebih mengarah pada sesuatu yang sesuai dengan kenyataan (aktualitas dari sesuatu). Makna seperti ini tersirat dari beberapa kali kata "alethes" dikontraskan dengan "pembohong" atau "penipu". Allah adalah benar (alethes), sedangkan manusia adalah pembohong (Rm. 3:4). Para rasul kadangkala dituduh sebagai penipu, padahal ternyata mereka dapat dipercayai (alethes, 2Kor. 6:8). Tidak seperti orang-orang Kreta yang suka berbohong, kesaksian dari firman Allah adalah benar (alethes, Tit. 1:12-13).

Orang yang alethes tidak suka menggosip, memfitnah, dan memberitakan sesuatu yang belum dapat dipastikan kebenarannya. Orang yang alethes adalah orang yang menyukai kesesuaian dengan realita. Telinga kita ditebus dengan darah Yesus Kristus di atas kayu salib. Telinga kita terlalu mahal untuk memercayai gosip, fitnahan, dan semua yang tidak benar. Pikirkanlah semua yang alethes, yang sesuai dengan kenyataan. Bukan berarti saya tidak pernah berbohong, tetapi saya sangat membenci kebohongan. Orang Kristen harus menjadi orang yang alethes, yang menyukai segala hal yang sesuai dengan realita. Seharusnya inilah yang menjadi kerangka berpikir kita.

Yang kedua adalah "semua yang mulia" (hosa semna). Versi bahasa Inggris tidak ada yang menerjemahkannya sebagai "glorious", karena memang kata "mulia" di sini tidak berkaitan dengan glory. Kata "mulia" (semnos) muncul beberapa kali dalam Alkitab, dan merujuk pada sesuatu yang terhormat. Sesuatu yang membuat seseorang pantas untuk dihormati. Sifat ini harus ada dalam diri para diaken (1Tim. 3:8) maupun isteri-isteri mereka (1Tim. 3:11). Bahkan orang-orang tua pun harus memiliki sifat ini (Tit. 2:2).

Jika konteks masing-masing pemunculan kata "semnos" ini diperhatikan, kita dapat melihat bahwa kehormatan yang dimaksud tidak berhubungan dengan status sosial maupun ekonomi. Kehormatan ini lebih berkaitan dengan sikap hidup yang baik (secara moral atau spiritual): tidak memfitnah maupun mabuk, sebaliknya hidup dalam kesederhanaan, kebijaksaan, dan iman yang sehat. Terhormat bukan karena jabatan kita, terhormat bukan karena posisi kita, tetapi berkaitan dengan kualitas moral.

Orang menghargai kita karena kesalehan kita; bukan karena uang kita, bukan karena jabatan kita, bukan karena kedudukan kita, dan bukan karena popularitas kita. Orang menghargai kita karena kita adalah a man of character. Karakter kita jelas. Kita memiliki integritas. Sehingga orang bisa dengan mudah mengikuti teladan kita. Dan itulah sukacita kita. Apakah orang mengagumi kita hanya sekadar karena jabatan kita, atau karena karakter di dalam hidup kita? Apakah orang menghormati kita karena takut kepada kita, atau orang menghormati kita dengan sukacita karena mereka melihat bagaimana kita hidup?

Mungkin kita tidak bisa mewariskan modal kerja yang besar, tetapi kita dapat memberikan modal yang lebih berharga, yaitu bagaimana anak-anak kita kelak dapat hidup dengan penuh integritas lewat teladan hidup kita. Integritas menjadi sebuah barang langka bagi kehidupan kita di masa kini. Kesaksian yang paling efektif berasal dari mereka yang mewujudnyatakan hal-hal yang mereka katakan. Hidup mereka adalah perwujudan dari pemberitaan kebenaran sendiri. Orang Kristen harus konsisten dengan perkataan mereka sendiri. Apa yang dikomunikasikannya pada dasarnya merupakan keaslian pribadinya.

Saat ini Indonesia masih belum lepas dari masalah korupsi. Masyarakat bergejolak menyaksikan pemimpin bangsa, anggota DPR, mantan menteri, gubernur, bupati, dan pengusaha yang dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi. Bencana alam yang terjadi di mana-mana, banjir dan longsor yang banyak disebabkan oleh pengrusakan lingkungan juga tak lepas dari pengaruh korupsi dan absennya integritas. Bangsa ini terus mendambakan para pemimpin yang integritasnya tidak diragukan untuk mengantar rakyatnya menuju kehidupan yang lebih sejahtera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun