Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Berpikir yang Berpusatkan Injil

18 Agustus 2018   00:18 Diperbarui: 18 Agustus 2018   01:12 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah cerita yang cukup menarik pada waktu Perang Dunia ke-2. Cerita ini melibatkan seorang tentara Jepang yang bernama Hiroo Onoda. Dia menjadi terkenal bukan karena kisah heroiknya yang luar biasa. Dia menjadi terkenal karena bersembunyi di sebuah gua di Filipina selama 29 tahun. Tindakan ini dilakukan akibat ketidaktahuannya bahwa peperangan sudah selesai. Dia berpikir bahwa peperangan masih terus berlangsung. Upaya beberapa orang yang mencoba meyakinkannya bahwa peperangan sudah selesai ternyata hanya berujung pada kegagalan. Dia merasa terancam apabila ada seseorang yang masuk ke dalam gua yang dimaksud.

Sampai suatu ketika, sebuah upaya persuasif dari mantan jenderalnya ternyata membuahkan hasil. Dia datang dan memastikan bahwa peperangan sudah lama usai dan kini waktunya untuk pulang dan kembali hidup normal. Saat itulah Onoda keluar dari dalam gua, dia pulang dan menjalani kehidupan yang normal sampai meninggal pada usia 91 tahun.

Dia menghabiskan 29 tahun hidupnya untuk memercayai sesuatu yang sebetulnya tidak terjadi. Hal itu sangat menentukan apa yang dia lakukan. Dia memilih untuk bersembunyi karena dia merasa sebagai satu-satunya orang Jepang yang masih ada di daerah itu. Dia merasa dikelilingi oleh musuhnya selama 29 tahun.

Dia telah menghabiskan hidupnya dengan percuma. 29 tahun hanya dia habiskan di dalam ketakutan dan perasaan-perasaan negatif lain yang menghantui dirinya. Semua ini terjadi karena apa yang ada di dalam pikirannya. Semuanya terjadi karena ditentukan oleh apa yang dia pikirkan. Sayangnya, apa yang dia pikirkan adalah sesuatu yang tidak benar.

Saya percaya kehidupan kita dan keluarga kita juga sangat ditentukan oleh apa yang kita pikirkan. Apa yang kita pikirkan akan memengaruhi perasaan, keputusan, perkataan, dan tindakan kita. Karena itu sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana prinsip berpikir yang benar dalam kehidupan pribadi maupun keluarga. Apa yang kita pikirkan seharusnya adalah apa yang benar. Teks yang mendasari ulasan selanjutnya dalam artikel ini bersumber dari Filipi 4:8.

Apa yang disampaikan dalam teks ini masih berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hidup dalam kesatuan (4:1-3), sukacita (4:4), kebaikan (4:5), dan kedamaian (4:6-7) sangat dipengaruhi oleh apa yang kita pikirkan (4:8). Pikiran seseorang menentukan perasaan, perkataan, perbuatan, dan pergaulan seseorang. Semua dimulai dari pikiran.

Sayangnya, banyak keluarga kurang mengindahkan prinsip ini. Para orang tua lebih tergoda untuk menerapkan ratusan aturan bagi anak-anak tanpa menjelaskan hubungannya dengan Injil Yesus Kristus. Mereka terjebak pada legalisme tanpa Injil. Anak-anak juga lebih memilih untuk mengungkapkan ketidaksetujuan dan protes mereka terhadap orang tua melalui tindakan-tindakan yang negatif. Tidak ada upaya untuk mengubah cara berpikir pihak lain. Jika ini yang dilakukan, pemulihan dalam keluarga akan sulit dicapai.

Keharmonisan keluarga akan tercipta apabila semua memiliki pemikiran yang sama. Bukan berarti harus setuju dalam setiap hal. Kesatuan pemikiran tidak identik dengan kesamaan ide atau pendapat. Yang dipentingkan lebih ke arah cara berpikir, bukan isi pikiran. Pemikiran yang sama seringkali membawa pada pikiran yang sama. Dalam teks kita hari ini Paulus mengajak jemaat Filipi untuk memikirkan hal-hal yang positif. Bagaimana seharusnya kita berpikir? Apa saja yang perlu kita pikiran?

Bagaimana seharusnya kita berpikir?

Terjemahan LAI:TB "pikirkanlah" di akhir ayat ini perlu dipahami secara lebih saksama. Ada banyak makna yang terkandung pada kata "memikirkan". Sekalipun beberapa versi bahasa Inggris (NIV/ESV/KJV) tampaknya sepakat dengan LAI:TB, arti kata "logizomai" dalam teks Yunani lebih ke arah "mempertimbangkan". Kata ini tidak dipahami hanya sebagai tindakan akhir atau aktivitas intelektual untuk mengingat dan menggumulkan secara kognitif. Dengan kata lain, Paulus mengajak kita benar-benar mempertimbangkan semua itu sebagai nilai-nilai di dalam kehidupan kita. Hal ini akan memengaruhi perasaan, keputusan, perkataan, dan tindakan kita. Pertimbangan menentukan keputusan dan tindakan seseorang.

Sebuah contoh yang jelas disediakan dalam Filipi 3:13. Berbeda dengan para pengajar sesat yang menilai diri mereka sempurna, Paulus mengakui "Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap (logizomai), bahwa aku telah menangkapnya". Pemikiran seperti inilah yang membuat dia mampu berkata: "aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku". Seandainya dia menganggap diri sudah sempurna, dia tidak akan bersusah-payah melakukan semuanya ini. Tindakan Paulus dipengaruhi oleh apa yang dia pertimbangkan. Dengan kata lain, kata "mempertimbangkan" dalam Filipi 4:8 tidak seharusnya dipahami sekadar sebagai pemikiran sepintas yang lantas dilupakan. Hal ini juga tidak boleh dimengerti sebagai persetujuan intelektual yang tidak berdampak apa-apa di dalam hidup kita.

Tentu saja tidak setiap pikiran akan menentukan perbuatan. Yang disorot adalah pemikiran (cara berpikir), bukan sekadar isinya. Ini tentang kebiasaan berpikir. Poin ini terlihat dari kata kerja "logizesthe" (imperatif present) yang menyiratkan sebuah tindakan yang terus-menerus. Paulus tidak hanya menasihati jemaat Filipi untuk mengingat hal-hal positif di ayat 8. Tidak cukup hanya memikirkan semua itu jikalau ada waktu luang di jam-jam atau situasi tertentu. Pikiran kita harus terus-menerus tertuju pada hal-hal itu. Dengan kata lain, kita meletakkan pikiran kita di sana. Sepanjang waktu. Di semua keadaan. Kebiasaan berpikir seperti ini pasti akan menghasilkan perasaan, keputusan, dan tindakan yang benar. Inilah yang menjadi kerangka berpikir kita. Pada waktu kita menilai segala sesuatu, kita akan menilai dengan kerangka tersebut. Bukan sekadar what you think, tetapi how you think. Jadikan semua nilai itu sebagai paradigma kita memandang segala sesuatu.

Apa saja yang perlu kita pikirkan?

Sebelum kita menguraikan setiap poin secara detail, kita sebaiknya meneliti terlebih dahulu jumlah poin yang dimaksud oleh Paulus. Penerjemah LAI:TB menganggap ada delapan poin, sebagaimana yang diterjemahkan oleh KJV/NIV. Para penerjemah versi Inggris yang lain (RSV/NRSV) menyediakan petunjuk bahwa dua poin terakhir mungkin berbeda dari enam poin sebelumnya. Pengamatan yang teliti terhadap sintaks dan tata bahasa Yunani menuntun kita untuk memperlakukan dua poin terakhir secara terpisah. Paulus tampaknya sengaja membedakan dua kategori ini. Kategori ke-1 (enam poin) menggunakan struktur "hosa + kata sifat" ("semua yang ......"). Kategori yang ke-2 (dua poin) memakai "ei tis + kata benda" ("jika ada......").

Tugas selanjutnya adalah menemukan fungsi dua poin terakhir. Untuk apa Paulus memisahkannya dari enam poin sebelumnya? Para penafsir Alkitab pada umumnya menganggap dua poin terakhir sebagai rangkuman dari enam poin sebelumnya. Enam poin diringkas menjadi dua poin: semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji. Fungsi yang lain adalah antisipasi poin-poin lain yang tidak sempat disebutkan oleh Paulus sebelumnya ("if there is any" RSV/NRSV). Paulus hanya menyinggung enam poin, lalu menambahkan dua poin lain sebagai payung bagi semua poin yang belum tercantum.

Sekarang marilah kita menguraikan masing-masing poin ini. Yang pertama adalah "semua yang benar" (hosa estin alethe). Kata "benar" (alethes) lebih mengarah pada sesuatu yang sesuai dengan kenyataan (aktualitas dari sesuatu). Makna seperti ini tersirat dari beberapa kali kata "alethes" dikontraskan dengan "pembohong" atau "penipu". Allah adalah benar (alethes), sedangkan manusia adalah pembohong (Rm. 3:4). Para rasul kadangkala dituduh sebagai penipu, padahal ternyata mereka dapat dipercayai (alethes, 2Kor. 6:8). Tidak seperti orang-orang Kreta yang suka berbohong, kesaksian dari firman Allah adalah benar (alethes, Tit. 1:12-13).

Orang yang alethes tidak suka menggosip, memfitnah, dan memberitakan sesuatu yang belum dapat dipastikan kebenarannya. Orang yang alethes adalah orang yang menyukai kesesuaian dengan realita. Telinga kita ditebus dengan darah Yesus Kristus di atas kayu salib. Telinga kita terlalu mahal untuk memercayai gosip, fitnahan, dan semua yang tidak benar. Pikirkanlah semua yang alethes, yang sesuai dengan kenyataan. Bukan berarti saya tidak pernah berbohong, tetapi saya sangat membenci kebohongan. Orang Kristen harus menjadi orang yang alethes, yang menyukai segala hal yang sesuai dengan realita. Seharusnya inilah yang menjadi kerangka berpikir kita.

Yang kedua adalah "semua yang mulia" (hosa semna). Versi bahasa Inggris tidak ada yang menerjemahkannya sebagai "glorious", karena memang kata "mulia" di sini tidak berkaitan dengan glory. Kata "mulia" (semnos) muncul beberapa kali dalam Alkitab, dan merujuk pada sesuatu yang terhormat. Sesuatu yang membuat seseorang pantas untuk dihormati. Sifat ini harus ada dalam diri para diaken (1Tim. 3:8) maupun isteri-isteri mereka (1Tim. 3:11). Bahkan orang-orang tua pun harus memiliki sifat ini (Tit. 2:2).

Jika konteks masing-masing pemunculan kata "semnos" ini diperhatikan, kita dapat melihat bahwa kehormatan yang dimaksud tidak berhubungan dengan status sosial maupun ekonomi. Kehormatan ini lebih berkaitan dengan sikap hidup yang baik (secara moral atau spiritual): tidak memfitnah maupun mabuk, sebaliknya hidup dalam kesederhanaan, kebijaksaan, dan iman yang sehat. Terhormat bukan karena jabatan kita, terhormat bukan karena posisi kita, tetapi berkaitan dengan kualitas moral.

Orang menghargai kita karena kesalehan kita; bukan karena uang kita, bukan karena jabatan kita, bukan karena kedudukan kita, dan bukan karena popularitas kita. Orang menghargai kita karena kita adalah a man of character. Karakter kita jelas. Kita memiliki integritas. Sehingga orang bisa dengan mudah mengikuti teladan kita. Dan itulah sukacita kita. Apakah orang mengagumi kita hanya sekadar karena jabatan kita, atau karena karakter di dalam hidup kita? Apakah orang menghormati kita karena takut kepada kita, atau orang menghormati kita dengan sukacita karena mereka melihat bagaimana kita hidup?

Mungkin kita tidak bisa mewariskan modal kerja yang besar, tetapi kita dapat memberikan modal yang lebih berharga, yaitu bagaimana anak-anak kita kelak dapat hidup dengan penuh integritas lewat teladan hidup kita. Integritas menjadi sebuah barang langka bagi kehidupan kita di masa kini. Kesaksian yang paling efektif berasal dari mereka yang mewujudnyatakan hal-hal yang mereka katakan. Hidup mereka adalah perwujudan dari pemberitaan kebenaran sendiri. Orang Kristen harus konsisten dengan perkataan mereka sendiri. Apa yang dikomunikasikannya pada dasarnya merupakan keaslian pribadinya.

Saat ini Indonesia masih belum lepas dari masalah korupsi. Masyarakat bergejolak menyaksikan pemimpin bangsa, anggota DPR, mantan menteri, gubernur, bupati, dan pengusaha yang dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi. Bencana alam yang terjadi di mana-mana, banjir dan longsor yang banyak disebabkan oleh pengrusakan lingkungan juga tak lepas dari pengaruh korupsi dan absennya integritas. Bangsa ini terus mendambakan para pemimpin yang integritasnya tidak diragukan untuk mengantar rakyatnya menuju kehidupan yang lebih sejahtera.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah berkembangnya masalah perpecahan dan bentrokan dalam berbagai institusi kekristenan yang disebabkan masalah korupsi dan integritas para pejabatnya. Mungkin kita cenderung melihat integritas hanya dari sudut pandang korupsi dan pencucian uang, tetapi mungkin kita lupa bahwa integritas sangat terkait dengan seluruh aspek kehidupan. Hidup kita penuh tantangan integritas. Mungkin seringkali tidak seorangpun di antara kita yang berani mengaku bahwa dirinya sudah hidup dengan penuh integritas. Memang tanpa disadari, kita berpikir, berkata, dan berperilaku seperti tanpa diketahui Tuhan. Kita tidak menyadari bahwa setiap detik hidup kita diamati oleh Tuhan (Coram Deo). Mungkin di gereja kita terlihat sangat saleh, tetapi di sekolah, di kampus, atau di kantor, hidup keseharian kita tidak ada bedanya dengan orang-orang non Kristen. Bahkan mungkin secara etika, mereka jauh lebih baik daripada kita.

Saya mengetahui integritas seseorang bernama Eric Liddell yang pernah mengikuti olimpiade pada cabang lari. Dia memilih tidak ikut bertanding karena hari perlombaan itu dilaksanakan pada hari Minggu di mana seharusnya dia beribadah. Dia dicap sebagai orang yang berpandangan sempit dan tidak loyal. Dalam memperjuangkan kualitas moral, seringkali ada sesuatu yang harus dikorbankan. Mungkin saja itu adalah sesuatu yang sangat kita sukai. Biarkan orang melihat kita apa adanya. Di dalam segala sesuatu, jagalah integritas kita di manapun berada.

Mungkin kita harus menerima kenyataan bahwa kita terkena macet karena mematuhi peraturan lalu lintas. Namun ketahuilah, integritas lebih berharga daripada waktu yang terbuang di tengah kemacetan. Integritas jauh lebih berharga daripada bensin yang dihabiskan di tengah kemacetan. Jangan pernah mengambil jalan pintas jika itu ternyata melanggar peraturan.

Apakah orang lain di sekitar kita menghargai kita karena kita punya kualitas moral yang baik? Semua yang berkaitan dengan kualitas moral kita, itulah yang harus kita pikirkan. Ketika kita dihargai orang lain karena punya uang yang banyak, penampilan yang mahal, gaya hidup yang mewah, maka sebetulnya kita adalah pribadi yang tidak pernah dihargai. Orang hanya menghargai uang kita dan segala sesuatu yang kita punya. Namun apabila kita menjadi a man of character, a man of integrity, maka di manapun kita, dalam situasi apapun, kita tetap akan menjadi orang yang dihargai oleh orang lain.

Yang ketiga adalah "semua yang adil" (hosa dikaia). Kata "dikaios" bisa berarti "benar" (NASB/NIV) atau "adil" (KJV/RSV/ESV). Arti mana yang sedang dipikirkan oleh Paulus cukup sukar untuk ditentukan. Secara pribadi saya lebih memilih arti yang pertama. "Benar" dalam arti sesuai dengan kepatutan (1:7 "sudahlah sepatutnya"), misalnya seorang anak patut menaati orang tuanya (Ef. 6:1 "haruslah demikian"). "Benar" juga dalam arti sesuai dengan standar ilahi. Dengan kata lain, benar di sini mengarah pada kondisi "benar di hadapan Allah" (Rm. 1:13; 3:10; Gal. 3:11). Pendeknya, "dikaios" di sini mengarah pada kesesuaian dengan standar moralitas manusia maupun standar kekudusan Allah. Ada dua sisi yang seimbang: diperkenan oleh manusia dan diperkenan oleh Allah. Konsep ini perlu didengungkan kembali di dalam kehidupan rohani yang dikotomis. Ada orang yang terlihat sangat berapi-api mencintai Tuhan, tetapi menjadi batu sandungan di hadapan manusia. Ada orang yang terlalu suka kompromi dengan kebenaran sehingga dia tidak bisa benar di hadapan Tuhan. Inikah yang disebut orang yang dikaios?

Yang keempat adalah "semua yang suci" (hosa hagna). NET/KJV/RSV secara tepat menerjemahkan kata sifat "hagnos" di sini dengan "murni" (pure). Kemurnian dalam arti terbebas atau terpisah dari segala yang najis dan jahat, tidak bercampur dengan yang lain dan tidak dinodai oleh yang lain. Jemaat Korintus seharusnya menjadi perawan yang suci (murni) bagi Kristus (2Kor. 11:2). Di tempat lain Paulus menyebut jemaat Korintus "tidak bersalah (murni) dalam segala perkara itu" (2Kor. 7:11). Timotius dinasihatkan untuk tidak terburu-buru menumpang tangan atas seseorang, sehingga turut terlibat dalam kesalahan; dia perlu menjaga kemurnian dirinya (1Tim. 5:22). Jadi, ide pokok yang disiratkan dalam tulisan-tulisan lain menunjukkan bahwa kata ini seringkali merujuk pada penjagaan diri dari semua yang najis atau jahat.

Dengan kata lain, kata "hagnos" dapat berarti kehati-hatian supaya kita tidak dinodai oleh yang lain. Kehati-hatian kita supaya terpisah dari sesuatu yang mencemarkan. Semua yang hagnos ini, harus kita pikirkan terus-menerus. Apakah yang ada dalam pikiran kita setiap hari? Apakah yang kita pikirkan adalah hal-hal yang suci/murni? Apakah yang ada dalam pikiran kita adalah pornografi? Kalau pikiran kita diisi oleh hal-hal yang kotor semacam itu, kalau kita tidak bisa mengontrol pikiran kita, maka hidup kita dengan mudah akan terseret menuju dosa yang lebih parah.

Apabila Iblis mulai meracuni pikiran kita, maka Iblis akan membuat kita tidak puas dengan apa yang kita bayangkan, sehingga kita mulai mengkonsumsi gambar-gambar porno. Lebih jauh, Iblis akan membuat kita muak dengan gambar-gambar itu sehingga kita akan mencari video-video porno. Pada waktu kita sudah terjebak dengan video-video porno, maka Iblis akan membuat kita bosan dengan semua video itu dan kita akan tergoda untuk masturbasi atau langsung melakukannya dengan orang lain.

Istilah "masturbasi" (istilah lain yang berkaitan adalah "onani") merujuk pada aktivitas pemuasan seksual yang dilakukan sendiri dan juga untuk diri sendiri. Melalui aktivitas ini, seseorang bisa menikmati kepuasan seksual tanpa bantuan orang lain. Sebagian orang terjebak pada rutinitas semacam ini, baik yang belum atau sudah menikah. Apakah tindakan ini berdosa?

Walaupun secara psikologis ada beragam jenis masturbasi, saya hanya menyoroti aktivitas yang biasa dilakukan oleh mereka yang belum menikah (para remaja dan pemuda). Jika dibatasi semacam ini, jawaban terhadap pertanyaan di atas menjadi sedikit lebih mudah. Masturbasi atau onani adalah dosa, karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab.

Hal ini tentu saja tidak berarti ada sebuah teks khusus di dalam Alkitab yang melarang masturbasi secara eksplisit dan langsung. Kejadian 38:8-10 yang sering dipakai sebagai dasar larangan ternyata tidak relevan. Dosa Onan yang menyebabkan dia dibunuh adalah ketidakmauannya untuk menaati hukum levirat. Ketidaktaatannya menyiratkan sikap egois terhadap kakaknya. Dia seharusnya memberikan keturunan bagi kakaknya yang sudah meninggal dunia. Di samping itu, kasus Onan tidak tepat disebut "onani" dalam pengertian modern, karena melibatkan orang lain dalam sebuah hubungan seksual biasa.

Terlepas dari ketidaksesuaian Kejadian 38:8-10, masturbasi tetap dilarang oleh Alkitab. Pertama, Allah memaksudkan seks sebagai aktivitas secara biologis sekaligus secara psikologis dan sosial. Tidak ada seks sendiri (solo sex). Seks dan relasi tidak terpisahkan. Seks adalah ungkapan kasih sayang dan simbol keintiman (Kej. 2:23-24). Pemuasan hasrat seksual melalui masturbasi/onani mengabaikan aspek-aspek seksual lain yang diajarkan Alkitab.

Kedua, masturbasi membawa pada perzinahan. Tuhan Yesus menandaskan bahwa perzinahan sebenarnya terjadi dalam hati (Mat. 5:27-28). Tindakan masturbasi sangat sulit dilakukan tanpa dipicu (sebelum melakukan) atau dibarengi (selama melakukan) dengan pikiran maupun fantasi seksual. Pada saat pikiran kita menuju ke arah sana, kita sudah berzinah dalam hati. Jikalau berfantasi seksual saja sudah termasuk perzinahan, apalagi jika fantasi itu dipupuk oleh pemuasan melalui masturbasi/onani.

Ketiga, masturbasi tidak sesuai dengan prinsip pengendalian diri (self-control). Hasrat seksual adalah alamiah, karena menjadi bagian tak terpisahkan dari fase pubertas. Hampir semua orang -- kecuali yang memiliki persoalan tertentu -- memiliki hasrat seksual. Walaupun hasrat ini bersifat alamiah dan pada dirinya sendiri tidak berdosa, kita harus mengontrolnya sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan dosa (Yak. 1:15). Kita perlu menundukkan diri di bawah pimpinan Roh Kudus supaya buah penguasaan diri ditumbuhkan dalam diri kita (Gal. 5:22-23). Masturbasi hanya akan melemahkan kontrol diri kita. Jangan membuat celah sedikitpun kepada Iblis. Karena dia akan memperbesar celah itu dan kita tidak bisa menutupnya kembali. Hanya oleh anugerah Tuhan saja, maka kita bisa dibebaskan.

Mungkin kita adalah orang yang terlihat menjalani hidup yang saleh dan terkenal sangat mencintai Tuhan di komunitas kita. Namun mungkin kita pernah menangis, depresi, bahkan sampai hendak bunuh diri karena merasa tidak layak di hadapan Tuhan. Kita tidak mampu melepaskan diri dari dosa pornografi. Kita sadar bahwa kita telah menjadi orang yang munafik.

Kalau kita sudah mulai kecanduan dan diikat oleh hal-hal yang tidak murni, maka kita baru tahu betapa sulitnya untuk melepaskan diri dari semuanya itu. Bagi kita yang belum terikat, belum ternodai dengan semuanya itu, hati-hati. Bagi kita yang sudah mulai masuk di sana, dan kita merasa tidak bisa melepaskan diri, maka kita harus mencari orang lain supaya kita tertolong dan lepas dari kecanduan itu. Apa yang murni (hagnos), itulah yang kita pikirkan terus-menerus.

Yang kelima adalah "semua yang manis" (hosa prosphile). Kata ini tidak pernah muncul dalam Perjanjian Baru. Berdasarkan pemunculan di Septuaginta dan tulisan-tulisan lain di luar Alkitab (Est. 5:1; Sir. 4:7; 20:13), arti kata ini adalah sifat yang disukai atau diperkenan oleh banyak orang. Kesukaan dan perkenaan ini terkait dengan keramah-tamahan, sesuatu yang bisa disetujui atau yang menyenangkan. Bukan berarti kita kompromi dengan kebenaran. Yang dimaksud "prosphile" di sini adalah kita beramah-tamah dengan orang lain dan tidak meributkan hal-hal yang tidak penting.

Yang terakhir adalah "semua yang sedap didengar" (hosa euphema). Sekilas, terjemahan ini sangat membingungkan kita. Didengar, namun sedap. Sedap, namun didengar. Sedap biasanya identik dengan dimakan atau dirasa. Bagaimanapun, itulah keterbatasan bahasa Indonesia. Makna "euphemos" yang lebih tepat adalah "terpuji" (ESV "commendable"; NIV "admirable"). Secara lebih spesifik, terpuji karena reputasinya (NASB "good repute"; KJV/ASV "good report"). Kata benda "euphemia" muncul satu kali dalam 2 Korintus 6:8, dan dikontraskan dengan "umpatan" (terjemahan yang lebih tepat adalah "cemoohan" atau "laporan yang buruk"; KJV/NET).

Jika ditinjau dari istilah dan akar katanya, pengertian majas eufimisme dapat diartikan sebagai suatu majas atau ungkapan halus yang digunakan sebagai pengganti ungkapan-ungkapan yang terasa kasar. Misalnya, "banyak orang baru tahu jika istrinya kini adalah seorang tunanetra (tunanetra = buta)." Inilah yang dimaksud dengan "yang sedap didengar". Inilah yang harus kita pikirkan terus-menerus. Kiranya kita dikenang dan diingat orang sebagai orang yang terpuji secara moral.

Enam poin di atas tentu saja tidak lengkap. Karena itu Paulus lantas menambahkan "jikalau ada yang disebut kebajikan dan patut dipuji". Intinya, segala sesuatu yang positif, layak dan patut berada di pikiran kita terus-menerus.

Perspektif Injil Yesus Kristus

Sebagaimana sudah disinggung oleh sebagian penafsir, hal-hal positif yang disebutkan di ayat ini juga muncul di tulisan-tulisan lain di luar Alkitab. Para filsuf Yunani dan penulis Romawi kuno juga sering mengupas daftar kebajikan ini. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Paulus meniru atau meminjam dari luar. Istilah-istilah yang digunakan sudah muncul di Septuaginta. Jumlah dan urutan kebajikan di daftar tersebut juga tidak sama dengan daftar di tempat lain. Kemiripan dengan etika umum menyiratkan bahwa Paulus bersikap positif terhadap etika umum. Kebajikan umum merupakan bagian dari wahyu dan anugerah umum dari Allah. Dalam ungkapan Paulus, mereka memiliki "Hukum Taurat dalam hari mereka" (Rm. 2:14-15). Setiap orang Kristen juga harus menghargai dan menerapkan moralitas secara umum.

Walaupun demikian, Paulus pasti memahami semua istilah umum ini dari perspektif kekristenan. Hanya terang salib (Injil) Yesus Kristuslah yang membedakan etika kekristenan dengan etika umum. Untuk bisa menyatakan keunikan dan superioritas kekristenan, kita harus memandang enam poin tadi dalam perspektif Injil Yesus Kristus. Sebagai contoh, "yang benar" (alethos) bukan hanya kesesuaian dengan realita, tetapi dengan realita tertinggi (yaitu Allah) yang dinyatakan oleh Yesus Kristus sebagai Sang Kebenaran (Yoh. 14:6). Begitu juga dengan "yang adil/benar" (dikaios). Kebenaran sejati bukan berasal dari perbuatan kita, melainkan kesempurnaan karya Kristus di atas kayu salib. Kita hanya perlu mengimani kebenaran Kristus tersebut supaya memperoleh kehidupan kekal (Rm. 1:16-17). Dengan kata lain, kita perlu melihat semua kesalehan itu dalam terang salib Kristus, bahwa Kristus sudah melakukan semuanya itu bagi kita. Tugas kita adalah untuk mewujudkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Sebagian orang Kristen cenderung kurang berpikir, sebagian lainnya cenderung keliru dalam berpikir. Kiranya kita menggunakan pikiran kita dengan rajin dan melakukannya dengan kerendahhatian yang didasarkan pada hormat akan Allah, sekaligus antusiasme yang didasarkan pada karya penebusan Kristus di atas kayu salib. Di manapun kita berada, kiranya orang lain akan selalu mengaitkan kita dengan hal-hal yang benar, hal-hal yang terhormat, hal-hal yang murni, hal-hal yang manis, hal-hal yang sedap didengar, dan semua yang berkaitan dengan kebajikan dan yang patut dipuji. Kiranya itu semua menjadi nuansa dalam karakter kita. Tiap kali orang melihat kita, orang melihat semua yang indah itu, sehingga orang diberkati dengan hidup kita. Marilah kita mendisiplinkan diri dalam hal pemikiran. Apa yang kita pikirkan sangat menentukan perasaan, perkataan, dan perbuatan kita. Pada akhirnya semua ini akan memengaruhi kehidupan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun