Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penatalayanan yang Berpusatkan Injil

17 Agustus 2018   23:17 Diperbarui: 26 Agustus 2018   04:53 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada begitu banyak gambaran yang dipakai untuk sebuah gereja. Misalnya, kita digambarkan sebagai umat perjanjian, kawanan domba, dan masih banyak lagi. Beberapa gambaran yang dipakai Alkitab untuk gereja, menekankan bahwa setiap kita bukan hanya memiliki kesatuan di dalam Tuhan, tetapi kita juga harus saling berpartisipasi dan saling memberi kontribusi serta saling melayani satu dengan yang lain. Itu semua hanya bisa terjadi kalau kita sadar bahwa apapun yang kita miliki ternyata bukan milik kita. Apapun yang kita miliki adalah pemberian dari Allah. Bukan supaya kita miliki sendiri, tetapi supaya kita usahakan, dan supaya kita atur untuk melayani orang lain. Itulah yang disebut penatalayanan, bukan kepemilikan (Mat. 25:14-30).

Perumpamaan ini termasuk perumpamaan yang sangat menarik karena dua hal. Pertama, perumpamaan ini adalah yang paling panjang dalam Injil Matius. Hal ini memperlihatkan nilai penting perumpamaan tentang talenta bagi Matius. Kedua, perumpamaan ini juga termasuk salah satu yang paling terkenal. Siapa yang tidak pernah mendengarkan nasihat untuk menggunakan talenta kita bagi kemuliaan Allah?

Analisa konteks

Sama seperti dalam menafsirkan teks-teks lain, salah satu prosedur penting dalam menafsirkan sebuah perumpamaan adalah memperhatikan konteksnya. Pengabaian terhadap analisa konteks dapat menyebabkan kekeliruan penafsiran. Kita perlu mengetahui terlebih dahulu siapa pendengar dari perumpamaan ini, kepada siapa perumpamaan ini ditujukan, dalam situasi seperti apa perumpamaan tersebut disampaikan, dan topik apa yang sedang dibicarakan. Dengan kata lain, upaya kita untuk menceraikan sebuah perumpamaan dari konteksnya hanya akan membuat kita makin sulit untuk memahaminya.

Matius 24:1-3 memberi petunjuk eksplisit bahwa semua pengajaran Tuhan Yesus di pasal 24 dan 25 ditujukan kepada murid-murid Tuhan Yesus. Secara khusus, semua itu diajarkan dalam kaitan dengan akhir zaman. Murid-murid diperintahkan untuk mewaspadai tanda-tanda akhir zaman (24:4-44) dan mempersiapkan diri dalam segala waktu (24:45-25:13). Tuhan Yesus dapat datang setiap saat seperti pencuri. Karena itu, murid-murid harus waspada dan menunggu, supaya tidak tertinggal seperti lima gadis bodoh (25:1-13).

Yang menarik menurut saya di dalam perumpamaan ini adalah karena perumpamaan sebelumnya membahas tentang lima gadis yang bijaksana dan lima gadis yang bodoh. Sebagian orang menafsirkan perumpamaan ini dengan cara menyimpulkan bahwa tugas kita hanya menantikan kedatangan Tuhan Yesus. Menanti dan menanti. Menunggu, menunggu, dan menunggu. Apakah menantikan kedatangan Tuhan Yesus berarti hanya berdiam diri saja? Tentu saja tidak! Ternyata, perumpamaan tentang talenta mengajarkan sesuatu yang berbeda. Kata sambung "sebab" di 25:14 menyiratkan hubungan yang erat antara 25:1-13 dan 25:14-30. Maksudnya, "berjaga-jaga" di ayat 13 menuntut lebih daripada sekadar kewaspadaan dan penantian. Dengan kata lain, menunggu di sini bukan menunggu secara pasif dan hanya berdiam diri. Poin inilah yang ingin ditegaskan dalam perumpamaan tentang talenta. Kita harus bekerja sampai Sang Tuan kita kembali. Menantikan kedatangan Tuhan harus dilakukan secara aktif dengan menggunakan talenta yang sudah Tuhan percayakan kepada kita.

Kita mungkin pernah mendengar beberapa aliran dalam kekristenan yang begitu menekankan tentang kedatangan Tuhan Yesus. Mereka menyuruh semua pengikutnya untuk keluar dari pekerjaannya masing-masing dan menjual semua harta benda mereka. Mereka semua tinggal di dalam satu tempat dan menantikan Tuhan Yesus datang kembali. Konsep semacam ini pasti mengandung banyak kesesatan. Tidak ada orang yang tahu kapan Yesus datang kembali.

Relasi antara tuan dan penatalayan

Istilah "penatalayan" (steward) merujuk pada seseorang yang dipercayai oleh tuannya untuk mengurus sesuatu, entah itu anggota keluarga, segala urusan dalam keluarga tersebut, atau di tempat lain seperti istana. Walaupun tugas spesifik yang diemban seorang penatalayan sangat variatif, tetapi relasi dengan tuannya tetap sama: penatalayan bukanlah pemilik. Dia tidak bebas menggunakan apa yang dipercayakan kepadanya. Seorang penatalayan wajib memberikan pertanggungjawaban kepada tuannya.

Walaupun sebutan "hamba-hamba" (25:14, dari kata dasar "doulos") bisa merujuk pada "budak", perumpamaan tentang talenta di 25:14-30 tampaknya lebih menceritakan tentang relasi seorang penatalayan dan tuannya daripada seorang budak dan tuannya (kontra NRSV/NASB "slaves"). Kata "doulos" artinya tidak terbatas pada "budak". Kata ini memiliki arti yang cukup beragam. Sesuai konteksnya, kata "doulos" di sini tidaklah tepat jika diartiken menjadi seorang budak. Jumlah yang dipercayakan terlalu besar untuk ukuran seorang budak. Satu talenta sama dengan enam ribu dinar. Satu dinar adalah upah kerja orang dalam satu hari. Dengan demikian, satu talenta adalah upah kerja orang dalam enam ribu hari tanpa dihitung hari Sabat. Dalam satu tahun, mereka kurang lebih bekerja sekitar 300 hari. Maka, satu talenta adalah upah orang bekerja selama sekitar 20 tahun.

Saya tidak mau menduga berapa nilai rupiah dari jumlah keseluruhan uang tersebut. Hal ini akan membawa kita pada penafsiran anakronistis. Perbedaan nilai mata uang di zaman kita dengan di zaman kuno seharusnya menjaga kita untuk tidak asal menafsirkan upah satu hari di dalam perumpamaan ini dengan cara membandingkannya dengan upah rata-rata pegawai masa kini. Poin yang hendak disampaikan tetap tidak berubah: enam ribu dinar sudah termasuk ukuran jumlah yang sangat besar dari total upah seseorang. Hal ini sangat tidak mungkin dipercayakan tuannya kepada seorang budak.

Selain itu, kepercayaan untuk berdagang biasanya tidak diberikan pada seorang budak. Budak biasanya bertugas untuk melakukan hal-hal yang kasar, entah di rumah atau di ladang. Kepercayaan untuk mengelola uang sangat jarang diberikan kepada seorang budak. Sebagai tambahan, dalam perumpamaan sebelumnya Tuhan Yesus juga sudah membahas tentang seorang penatalayan (24:45-51). Walaupun kata yang dipakai bukan kata "oikodomos: penatalayan", konsep yang terkandung di dalamnya tetap sama. Sekali lagi, hamba-hamba di dalam perikop ini bukanlah budak, melainkan seorang penatalayan.

Kita akan melihat bagaimana relasi antara tuan dan penatalayan dalam perumpamaan ini. Pertama, tuan berarti pemilik. Tuan memiliki penatalayan. Tambahan kata sifat "tous idious" pada kata benda doulous di ayat 14 memberi penekanan bahwa sang tuan adalah pemilik hamba-hamba itu (KJV/ASV "his own servants" NASB "his own slaves"). Penegasan ini sayangnya tidak muncul dalam terjemahan LAI:TB. Dengan kata lain, mereka ini bukanlah hamba-hambanya saja, tetapi hamba-hambanya sendiri. Penekanan ini berfungsi untuk menunjukkan kepemilikan tuan terhadap hamba-hamba itu. Jadi, yang dimiliki tuan bukan hanya modal kerja, tetapi juga para hamba sekaligus. Walaupun sang tuan berada di tempat yang jauh (25:14) dan dalam waktu yang lama (25:19), dia tetap berperan sebagai pemilik dari hamba-hamba itu. Ini adalah satu fakta yang tidak berubah. Begitu pula dengan kita. Bukan hanya harta kita yang adalah milik Allah. Bukan hanya segala sesuatu yang kita miliki yang adalah milik Allah. Diri kita sendiri adalah milik Allah. We belong to God. Our belongings also belong to God.

Kedua, tuan mengenal hamba-hambanya. Tuan yang tidak mengenal hambanya tidak mungkin berani memercayakan uang yang begitu besar kepada hamba tersebut. Dia mengenal baik siapa hambanya. Mungkin kita akan berpikir, mengapa sang tuan memberikan uang sebesar itu bahkan kepada hamba yang ketiga? Apakah sang tuan tidak mengenal kelakuan hamba ketiga ini?

Pengamatan lanjutan menunjukkan bahwa hamba ketiga sebenarnya tidak seburuk apa yang kita pikirkan selama ini. Kalau kita berada dalam posisi hamba yang ketiga, sebetulnya kita punya banyak pilihan yang tersedia. Dia bisa saja kabur karena tidak suka dengan tuannya. Namun ternyata dia tidak kabur. Dia memilih untuk menyembunyikan uang tuannya di dalam tanah (25:18). Apa tujuan dia menyembunyikan uang itu? Fakta bahwa sering terjadi peperangan pada waktu itu memungkinkan kita untuk menafsirkan tindakan ini berguna untuk mengamankan uangnya. Hamba ketiga ini tidak mau berdagang, tetapi dia juga tidak mau kehilangan uang yang sudah dipercayakan tuannya. Itulah sebabnya mengapa ia menyimpan uang itu di dalam tanah. Orang-orang kuno memang memiliki tradisi semacam ini dalam hal menyimpan benda-benda berharga. Lalu, mereka biasanya juga memberi tanda yang permanen pada posisi barang yang disembunyikan. Fakta bahwa uang itu disembunyikan di dalam tanah untuk tujuan mengamankan adalah sebuah maksud yang baik dari hamba ketiga. Berarti, tuan ini sudah mengenal hamba-hambanya, termasuk hamba yang ketiga. Dia tahu bahwa hamba-hambanya tidak akan menghilangkan uangnya dan tidak akan membawa lari uangnya.

Selain itu, teks juga secara gamblang mencatat bahwa jumlah yang berbeda untuk tiap hamba (lima, dua, dan satu talenta) didasarkan pada kemampuan masing-masing hamba (25:15). Mengapa diberikan jumlah yang berbeda? Karena tuannya mengenal kemampuan masing-masing. Di sinilah keadilan sang tuan terlihat jelas. Adil belum tentu sama rata. Adil berarti memberikan apa yang menjadi hak orang lain atau apa yang seturut dengan kemampuan setiap orang.

Kita tidak boleh iri dengan talenta yang diberikan Tuhan kepada orang lain. Tuhan mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri kita sendiri. Kalau kita mau talenta yang lebih banyak, maka kita harus setia dahulu dalam hal yang kecil dan sedikit. Suatu waktu Tuhan akan percayakan yang lebih besar dan lebih banyak. Kalau kita melihat orang lain diberikan talenta yang banyak, mungkin dia sudah terbukti setia dalam hal yang kecil. Tuhan mengenal kita semua, sehingga Ia memercayakan sesuai kemampuan kita.

Ketiga, tuan meminta pertanggungjawaban dari hamba-hambanya. Bagian awal dari perumpamaan ini tidak menyebutkan instruksi khusus dari tuan kepada hamba-hambanya berkaitan dengan cara penggunaan uang. Setiap hamba bebas memutar uang tersebut untuk kepentingan tuannya. Bahkan kisah selanjutnya tetap tidak memberi petunjuk apapun tentang cara hamba ke-1 dan ke-2 menggunakan talenta mereka. Yang jelas, setiap hamba harus bersiap-siap memberi pertanggungjawaban pada saat tuan itu kembali dari bepergian jauh (25:19b).

Tambahan kata sifat "tous idious" pada kata benda "doulous" di ayat 14 memberi penekanan bahwa sang tuan adalah pemilik hamba-hamba itu (NIV "settled accounts"). Istilah ini adalah istilah yang lazim dipakai dalam dunia perdagangan (bandingkan arti kata "kontrak"). Sebetulnya, ada kontrak yang ditandatangani oleh hamba dan tuan ini. Sang tuan bukan hanya memercayakan dan membiarkan begitu saja. Fakta bahwa sang tuan meminta pertanggungjawaban dari penatalayan membuktikan bahwa memang sudah ada kesepakatan yang disetujui sebelumnya. Dengan cara yang sama kita dapat memahami bahwa Tuhan sudah memeercayakan setiap kita sejumlah talenta. Tuhan akan meminta pertanggungjawaban kepada kita bila tiba harinya. Apa yang sudah kita lakukan terhadap milik Tuhan? Apa yang sudah kita lakukan dengan talenta kita bagi perkembangan Kerajaan Allah di muka bumi?

Yang diharapkan tuan dari para penatalayan

Apa yang diharapkan tuan dari para penatalayan? Pemberian talenta dimulai dengan sebuah kepercayaan. Bagaimanapun, kepercayaan tidak boleh hanya diterima dan dinikmati. Kepercayaan harus direspons dengan etos kerja yang tepat. Apa saja yang diinginkan tuan dari hamba-hambanya?

Pertama, kesegeraan. Kata "poreuomai" (LAI:TB "segera") di ayat 16 secara tata bahasa bisa menerangkan tindakan sang tuan (ay. 15 KJV "and straightway took his journey"). Sehingga bisa diterjemahkan, "Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat dengan segera." Namun saya yakin Yesus tidak sedang memaksudkan seperti itu. Dari sisi pertimbangan konteks, pilihan terakhir terlihat lebih tepat. Tidak ada situasi gawat darurat yang mengharuskan tuan itu untuk pergi secara terburu-buru.

Kata "segera" yang muncul di awal kalimat sebetulnya adalah kata yang menekankan respons dari hamba yang menerima lima talenta. Kata keterangan "demikian juga" (hosautos) di ayat 17 mengindikasikan bahwa hamba kedua juga memiliki kesegeraan. Penempatan kata ini di awal kalimat (ASV/NASB/NRSV) turut mempertegas hal tersebut. Jadi, walaupun jumlah yang dihasilkan berbeda, tetapi etos kerja yang ditunjukkan tetap sama: mereka sama-sama bersegera. Maka dalam hal ini saya setuju dengan LAI:TB yang menerjemahkan bahwa hamba pertama langsung bergegas menunaikan tugasnya dengan segera, walaupun kedatangan tuannya mungkin masih lama sekali.

Kesegeraan ini merupakan sikap yang menarik sekali. Kesegeraan dari hamba pertama dapat memberi kontras yang kuat dengan durasi kepergian tuannya (25:19a "lama sesudah itu"). Kalau kita tahu tuan mau berpergian jauh, kebanyakan dari kita mungkin akan menunda-nunda tugas yang dimandatkan. Kalau bisa menunggu, mengapa dilakukan sekarang? Bukankah kita lebih suka menunda-nunda pekerjaan? Sikap seperti ini bukanlah sikap seorang penatalayan yang baik. Tuhan menginginkan kita menjadi penatalayan yang memiliki kesegeraan. Kesegeraan inilah yang Allah harapkan dari kita. Jadikan ini kebiasaan bagi kita.

Kedua, kebaikan. Hamba ke-1 dan ke-2 mendapatkan pujian dari tuannya. Dalam teks Yunani, kata "baik sekali" adalah kata seruan "eu" yang menekankan sebuah pujian akibat dari kelakuan yang baik. Mereka disebut "hamba yang baik" (doule agathe, 25:21, 23). Sebagai kontras, hamba ke-3 disebut "hamba yang jahat" (ponere doule, 25:26). Dua kata ini memang seringkali digunakan dalam kaitan dengan karakter seseorang. Dua hamba yang pertama bersedia bekerja keras untuk memberikan keuntungan kepada tuannya walaupun sang tuan hanya memberikan modal saja, sedangkan hamba terakhir menolak melakukan itu dan justru mengata-ngatai yang jahat terhadap tuannya (bdk. 25:24).

Sang tuan menganggap bahwa yang jahat adalah hamba ketiga. Berarti, yang baik adalah hamba yang terus bekerja untung kepentingan tuannya walaupun si hamba tidak mendapat manfaat apa-apa dari pekerjaannya. Sikap inilah yang tidak ada pada diri hamba ketiga. Dia terlalu perhitungan sehingga tidak mau bekerja keras jika tidak mendapatkan keuntungan. Saya yakin jika hamba ketiga mendapatkan keuntungan dari mengembangkan satu talentanya itu, tentu saja keuntungannya akan diberikan kepada dia. Dengan kata lain, dia tidak sadar bahwa dirinya juga akan mendapat keuntungan, maka dia tidak mau bekerja untuk tuannya.

Apakah kita tetap akan melakukan hal-hal yang positif bagi orang lain walaupun tidak akan ada keuntungan yang akan kita dapatkan? Bukankah kita seringkali hitung-hitungan dengan Tuhan? Kalau aku sudah melayani begitu rupa, apa yang aku dapat? Kalau aku setia memberi persepuluhan, aku dapat apa? Kalau aku memberikan semua yang aku miliki untuk Tuhan, aku dapat apa? Kalau memang Tuhan saja yang mendapatkan keuntungan, kalau memang segala kemuliaan hanya bagi Tuhan, apa untungnya buatku? Selalu pertanyaannya adalah, "aku dapat apa?"

Banyak memberikan persepuluhan tidak ada hubungannya dengan menjadi makin kaya, makin makmur, makin sukses, maupun makin populer. Mungkin saja kita sudah melayani dengan sungguh-sungguh tetapi kesulitan hidup makin bertambah, masalah makin berkembang, bahkan kesehatan semakin menurun. Ini adalah sebuah fakta yang realistis. Memikirkan keuntungan diri sendiri dari pelayanan yang diberikan oleh Tuhan adalah ciri dari pekerja yang jahat dan malas. Ingat baik-baik, kita ini penatalayan, kita adalah milik Tuhan. Apapun yang kita miliki juga adalah milik Tuhan. Kalau kita bekerja untuk Tuhan, jangan meminta apa-apa. Fakta bahwa kita bisa bekerja untuk Tuhan adalah sebuah anugerah yang tak ternilai harganya. Kalau kita banyak menuntut, maka kita bukanlah seorang penatalayan yang baik. Kita tidak memikirkan kebaikan dari Sang Tuan. Upah kita adalah bahwa kita bisa melayani tanpa upah.

Ketiga, kesetiaan. Selain disebut sebagai "hamba yang baik, hamba ke-1 dan ke-2 juga disebut "hamba yang setia" (doule piste, 25:21, 23). Pujian ini tampaknya mendapat penekanan lebih dibandingkan pujian sebelumnya. Kesetiaan dikaitkan dengan waktu yang lama (25:19). Kesetiaan juga diulang kembali di ayat 21 dan 23 ("engkau telah setia").

Konsep tentang kesetiaan dalam kisah ini bukan hanya tentang waktu. Kesetiaan hamba ke-1 dan ke-2 dikontraskan dengan kemalasan hamba ke-3 (25:26). Hamba yang ketiga tidak ditegur sebagai hamba yang tidak setia. Jika yang ditekankan adalah waktu, maka hamba ke-3 juga tergolong setia. Ia tidak meninggalkan tuannya. Ia tidak menggunakan uangnya untuk hal-hal yang sembrono (bdk. 24:45-51). Dengan menguburkan uangnya di dalam tanah, hamba ke-3 bahkan ingin memastikan bahwa uang tuannya berada pada tempat yang aman. Walaupun demikian, kesetiaan -- sekali lagi -- bukan hanya masalah waktu. Setia di dalam perikop ini harus ditafsirkan dalam perbandingan dengan kemalasan. Kerja keras terus-menerus adalah ukuran kesetiaan yang sejati. Bukankah ada orang-orang tertentu yang tetap melayani di suatu bidang dalam jangka waktu yang lama tetapi mereka tidak pernah memberikan yang terbaik dalam bidang itu?

Jika kita berkomitmen dengan jelas, melakukannya dengan sungguh, bekerja dengan keras, bekerja dengan sungguh-sungguh dari awal sampai akhir, itulah yang disebut kesetiaan. Kesetiaan bukan hanya masalah waktu, tetapi juga tentang kerja keras. Itulah sebabnya setia dikontraskan dengan kemalasan. Berikan yang terbaik dari apa yang Tuhan percayakan untuk kita. Ada pujian dari Tuhan di ujung jalan yang menanti hamba-Nya yang setia.

Keempat, ketundukan. Mengapa hamba yang ketiga takut (25:25)? Sebagian orang berpendapat bahwa hamba ketiga mengalami sakit hati karena iri hati dengan sesama hamba yang lain. Bagaimanapun, tafsiran ini pasti keliru. Sama sekali tidak ada unsur sakit hati dalam perkataan hamba yang ketiga kepada tuannya. Jika perbedaan jumlah talenta membuat hamba yang ketiga tidak mau bekerja, saya yakin yang diberi dua talenta juga tidak mau bekerja; karena dia juga pantas untuk bersikap iri hati. Persoalannya bukan iri hati atau tidak. Persoalannya adalah hamba ketiga merasa tuannya menggunakan otoritasnya secara semena-mena. Dia merasa tidak adil sebab tuannya hanya mau menuai dan memungut tetapi tidak mau menabur dan menanam. Dengan kata lain, sikap hamba ke-3 ternyata didorong oleh kekerasan hatinya yang tidak mau tunduk pada kedaulatan tuannya.

Ia bahkan menuduh tuannya sebagai pribadi yang keras (LAI:TB "kejam") dan seenaknya mengambil untung dari apa yang tidak ia kerjakan (25:24). Dan kita tahu bahwa tuannya bukanlah seorang manusia yang kejam, sebab ketiga hambanya diberi jumlah yang besar. Bukti lain terhadap ketidakkejaman tuannya adalah bahwa pada waktu menghukum hamba yang ketiga, sang tuan tidak mengambil satu talenta itu untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi diberikan kepada hamba yang pertama (25:28). Menariknya, sang tuan tampaknya "mengamini" bagian terakhir dari tuduhan ini (25:26), walaupun bagian yang awal jelas tidak mengenai sasaran (25:21, 23, 28). Maksudnya, sang tuan memang berhak atas keuntungan yang diperoleh oleh hamba-hambanya. Mengapa? Karena semua hambanya adalah miliknya dia. Harta mereka juga adalah miliknya. Sudah sepantasnya kalau tuan menyatakan kedaulatannya di bagian ini. Karena itu, sudah seyogianya apabila hamba-hambanya tunduk kepadanya.

Apa yang dialami hamba yang ketiga ini sebenarnya adalah ketakutan terhadap kerugian, sehingga dia hanya menyimpan baik-baik talenta yang diberikan sang tuan. Jika nanti tuannya datang, apa yang diberikan bisa dikembalikan sesuai keadaan semula. Paling tidak walaupun ia tidak mendapat pujian, ia juga tidak mendapat kecaman. Bukankah kita sering memiliki konsep seperti hamba yang ketiga?

Tuhan Yesus sudah memberikan seluruh hidupnya bagi kita, bahkan sampai mati di kayu salib untuk kita. Maka sudah sepantasnya kita tunduk dan kita melakukan apa yang kita bisa untuk kepentingan-Nya. Mungkin itu mengorbankan perasaan kita, mungkin itu mengorbankan tenaga kita, mungkin itu mengorbankan kesehatan kita, tetapi tetap kita melakukannya untuk Tuhan Yesus. Bukan berarti kita tidak perlu memperhatikan kesehatan dan yang lain-lain, tetapi kadangkala dalam pelayanan memang banyak hal yang harus dikorbankan dan kita harus tunduk melakukannya.

Mungkin kita mempersoalkan bentuk konkret dari hukuman yang diberikan kepada hamba ketiga. Apa hukuman yang diberikan bagi orang yang tidak menggunakan talentanya dengan baik? Setiap jenis sastra (genre) memerlukan prinsip dan pedoman penafsiran tersendiri. Begitu pula dengan perumpamaan. Yang dipentingkan adalah poin analogi utama bahwa setiap orang harus memberi pertanggungjawaban pada Allah atas semua talenta yang dipercayakan. Detail cerita lalu ditafsirkan seturut kultur waktu itu. Maksudnya, hukuman di perumpamaan ini tidak boleh ditafsirkan secara hurufiah.

Hadiah untuk penatalayan yang setia

Setiap pekerja berhak mendapatkan upahnya. Demikian pula dengan hamba-hamba yang setia. Tuhan tidak menutup mata terhadap kesegeraan, kebaikan, kesetiaan, dan ketundukan hamba-hamba-Nya. Persoalannya, hadiah yang Ia siapkan bagi kita seringkali tidak seperti yang kita harapkan (25:21, 23). Namun itu semua adalah hadiah yang terbaik bagi kita.

Pertama, Tuhan akan memberikan pujian (ay. 21). Bagi sebagian orang yang terjebak pada materialisme, hadiah ini terlihat kurang menyenangkan. Banyak hal yang lebih menarik daripada sekadar pujian. Jangan lupa, kita hidup dalam konteks masyarakat yang berbeda. Masyarakat modern sangat materialistis. Semua diukur dengan uang. Tidak demikian halnya dengan masyarakat kuno yang sangat mengagungkan budaya "aib dan kehormatan" (shame and honor). Sebuah pujian lebih bermakna daripada hal-hal lain. Adalah sebuah pencapaian yang luar biasa apabila seseorang mendapatkan pujian dari orang yang lebih tinggi secara status sosial. Saya bisa membayangkan betapa bahagianya kita semua, jika kita mendapatkan pujian dari Tuhan. Pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan kita kelak pada saat dipuji oleh Tuhan?

Kedua, Tuhan akan memercayakan pekerjaan yang lebih besar (ay. 23). Walaupun lima dan dua talenta sudah termasuk dalam jumlah yang sangat besar, tetapi hal itu tetap disebut "perkara kecil". Ada hal-hal lain yang lebih besar yang Tuhan dapat berikan kepada kita (25:28-29). Sekali lagi, kepercayaan ini bukan kepemilikan, tetapi penatalayanan. Dipercayakan tugas yang lebih besar merupakan hadiah yang lebih besar bagi setiap kita. Kita tidak boleh mengeluh pada saat dibebankan pekerjaan yang lebih besar oleh Tuhan. Kenyataannya, tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada kita merupakan hadiah dari Tuhan. Jangan mengeluh ketika kita bersusah payah melayani Tuhan. Setialah dalam perkara yang kecil.

Ketiga, Tuhan akan berbagi kebahagiaan (ay. 23). Mengingat perumpamaan ini adalah tentang kedatangan Kerajaan Allah (25:14), hampir semua penafsir memahami "masuk ke dalam kegembiraan tuanmu" sebagai rujukan pada pesta perjamuan. Hal ini senada dengan pengharapan mesianis-eskatologis orang-orang Yahudi pada waktu itu yang mengharapkan Mesias merestorasi Kerajaan Israel. Sebagai lambang sukacita yang besar, umat Allah akan berjamu dengan dan dijamu oleh Allah dan Mesias-Nya. Ini adalah gambaran kebahagiaan dari restorasi Kerajaan Allah oleh Mesias. Orang-orang yang mengisi keselamatannya dengan pelayanan, kesetiaan, dan kesungguhan, akan menikmati sukacita yang tak terbayangkan sebelumnya. Gambaran pesta adalah gambaran kuno dari sukacita sebuah negara setelah memenangkan peperangan dengan negara lain.

Tiga hadiah ini seharusnya menjadi dorongan yang kuat bagi kita untuk melayani Tuhan dengan lebih sungguh. Uang, tenaga, kepintaran, keterampilan, waktu, dan lain sebagainya harus digunakan untuk kepentingan Kerajaan Allah di muka bumi. Sudahkah kita memanfaatkan itu secara sungguh-sungguh dan setia bagi kemuliaan-Nya? Seandainya Tuhan Yesus datang kembali, sudahkah kita sendiri puas dengan jerih payah kita bagi-Nya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun