Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masihkah Kita Meremehkan Keseriusan Dosa?

17 Agustus 2018   05:14 Diperbarui: 24 Agustus 2018   00:01 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konsep ini perlu didengungkan terus-menerus. Ada kesimpangsiuran tentang kondisi manusia berdosa. Bahkan mereka yang aktif dalam pemberitaan Injil pun seringkali tidak menangkap kebenaran ini sepenuhnya. Ada sebuah metode penginjilan yang menggambarkan orang berdosa seperti seorang yang tidak bisa berenang dan tenggelam di tengah lautan. Dia berada dalam keadaan yang sangat lemah dan tinggal menunggu ajal menjemput. Lalu tiba-tiba datanglah sebuah kapal dengan penumpang yang baik hati. Sang penumpang itu melemparkan tali dan pelampung ke arah orang yang tenggelam. Satu-satunya harapan bagi orang itu adalah mengenakan pelampung dan memegang tali tersebut sambil membiarkan dirinya ditarik ke atas oleh si penumpang kapal.

Ilustrasi di atas mengandung kekeliruan yang sangat fatal. Orang berdosa tidak lemas atau pingsan. Mereka mati. Mayat tidak bisa mengenakan pelampung maupun memegang tali. Lagipula, orang berdosa bahkan tidak merasa bahwa mereka membutuhkan pertolongan dari Allah untuk keselamatan jiwa mereka. Beberapa yang terlihat mencari pertolongan pun ternyata tidak mau menerima solusi dari Allah. Jalan keselamatan dari Allah membuat mereka terlihat tidak berdaya dan tidak memiliki andil sedikit pun. Manusia berdosa tidak menginginkan itu.

Ditaklukkan oleh Iblis (ayat 2)

Keadaan manusia yang berada di dalam dosa ternyata berada di bawah kekuasaan roh-roh jahat (ay. 2, bdk. 2Kor. 4:4). Frasa "kamu hidup di dalamnya" (ayat 2a) menyiratkan sebuah aktivitas (peripateo, lit. "berjalan"). Namun, aktivitas ini hanya di dalam dosa-dosa. Walaupun dari sisi metafora bagian ini terlihat sangat kontras (mati versus hidup), tetapi dari sisi makna tetap sejajar. Mati terhadap kebaikan ilahi (ayat 1), tetapi hidup di dalam kejahatan manusiawi (ayat 2).

Apa yang kita lakukan seringkali tidak seburuk apa yang mendorong kita untuk melakukan hal tersebut. Yang lebih serius adalah penyebab di balik tindakan itu. Kita dahulu mengikuti jalan dunia ini (ayat 2b), karena kita menaati "penguasa kerajaan angkasa" (ayat 2c). Penguasa ini adalah roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Jadi, orang-orang berdosa sangat aktif berjalan di dalam dosa-dosa karena ada roh kegelapan yang secara aktif bekerja di dalam mereka. Siapa yang dimaksud dengan penguasa kerajaan angkasa ini? Bentuk tunggal yang digunakan mendorong kita untuk mengidentifikasikannya dengan Iblis. Bukan hanya roh-roh jahat, tetapi pemimpin mereka, yaitu Iblis. Jika mereka berada di dalam kekuatan Iblis, akankah mereka sanggup melepaskan diri dari cengkeraman Si Jahat?

Satu-satunya jalan keluar ada di dalam Kristus. Melalui kebangkitan-Nya dari antara orang-orang mati dan kenaikan-Nya ke surga, segala kuasa dan pemerintah telah ditaklukkan oleh Allah di bawah kaki Kristus (1:20-21). Dia adalah Kepala Gereja (1:22-23). Hanya mereka yang berada di bawah ke-Tuhanan Kristus yang akan mampu mengalahkan Iblis. Kristus memberikan kemenangan bagi kita. Dia juga menyediakan berbagai senjata rohani untuk menaklukkan tipu daya Iblis (6:10-18).

Orang-orang berdosa tidak mungkin datang kepada Allah, karena pikiran mereka telah dibutakan. Roh jahat menguasai manusia begitu rupa. Manusia tidak berdaya di bawah kekuasaan roh-roh jahat. Iblis begitu mencengkeram manusia. Sejak Adam jatuh ke dalam dosa, maka semua manusia jatuh di bawah kuasa Iblis. Siapa yang tidak pernah dijatuhkan oleh Iblis? Hanya Yesus Kristus. Ketika menjadi manusia, Ia adalah satu-satunya manusia yang suci, yang sempurna, yang Iblis selalu cobai, dan tidak pernah berhasil. Di luar Yesus Kristus, semua manusia - tidak peduli seberapa berhikmatnya dia dan seberapa dekat dia dengan Allah - tetap akan kalah. Karena memang Iblis lebih berpengalaman dan lebih berkuasa daripada manusia. Itulah keadaan orang-orang yang berdosa. Mereka bukan hanya mati di dalam dosa, tetapi mereka juga berada di bawah kekuasaan Iblis.

Dikuasai oleh natur yang berdosa (ayat 3)

Kalau memang mereka berada dalam dua kondisi ini, maka pasti kita sudah bisa menangkap betapa parahnya keadaan mereka. Namun berita buruk bagi kita bukan hanya dua hal itu. Tidak mampu menginginkan Allah adalah satu hal (ayat 1). Ditaklukkan oleh Iblis adalah hal lain (ayat 2). Yang tidak kalah parah adalah kondisi internal kita. Kita memiliki natur yang berdosa (ayat 3). Perbuatan kedagingan disebabkan oleh kehendak dan pikiran yang kedagingan pula. Dosa tidak dilakukan dengan terpaksa. Perbuatan dosa merupakan ketundukan sukarela terhadap kehendak dan pikiran manusia yang berdosa. Jika semua yang diinginkan dan dipikiran oleh seseorang sudah berdosa, tidak heran apabila tindakannya juga berdosa.

Persoalan tidak berhenti sampai di sini. Mengapa kehendak dan pikiran selalu berdosa? Jawabannya ada di ayat 3b "pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai". Secara natur/hakikat, kita adalah orang-orang yang harus dimurkai. Berdasarkan teks Yunani, bagian ini seharusnya diterjemahkan: "kami secara natur adalah anak-anak kemurkaan" (ESV/KJV/NASB). Kata "physis" seringkali merujuk pada keadaan asal atau yang asli. Dalam konteks ini, physis merujuk pada natur manusia. Hal ini dipertegas dengan ungkapan "anak-anak kemurkaan". Frasa "anak-anak kemurkaan" (ayat 3) maupun "anak-anak kedurhakaan" (ayat 2, LAI:TB "orang-orang durhaka") menyiratkan keadaan yang "dari sananya memang sudah begitu". Jadi, natur berdosa menyebabkan kehendak dan pikiran yang berdosa. Kehendak dan pikiran yang berdosa menyebabkan tindakan yang berdosa pula.

Penjelasan di atas membawa kita pada apa yang sering disebut oleh para teolog sebagai doktrin kerusakan total. Istilah "kerusakan total" dapat ditafsirkan dalam banyak cara, karena kata "total" memang sangat ambigu. Tidak heran, sebagian teolog Reformed mengusulkan beberapa istilah yang lain untuk doktrin ini, misalnya kerusakan pervasif atau ketidakmampuan total. Mengingat istilah ini sering disalahartikan, penjelasan via negatifa (apa yang bukan dimaksud dengan kerusakan total) sangat dibutuhkan. Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang lazim terjadi berkaitan dengan doktrin kerusakan total: (1) manusia menjadi benar-benar rusak sampai serusak-rusaknya. Ini bukan kerusakan total (total depravity), tetapi kerusakan mutlak (absolute depravity), (2) manusia tidak lagi memiliki hukum moral maupun hati nurani, (3) manusia selalu jatuh ke dalam setiap kemungkinan dosa yang ada, (4) manusia tidak dapat melakukan kebaikan yang berguna bagi orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun