Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masihkah Kita Meremehkan Keseriusan Dosa?

17 Agustus 2018   05:14 Diperbarui: 24 Agustus 2018   00:01 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel sebelumnya adalah penjelasan awal mengenai keseriusan dosa dalam teologi Kristen. Dengan ukuran semacam itu, manusia harus taat secara komprehensif dan secara mutlak terhadap kehendak Allah. Dengan demikian, tidak mungkin ada manusia yang tidak berdosa.

Dalam artikel ini kita akan melihat seberapa parahkah keadaan orang-orang yang berdosa (berada di luar Kristus). Bagi banyak orang, dosa tampaknya tidak terlalu serius. Mereka berpikiran bahwa dosa bisa diatasi dengan penambahan peraturan. Jumlah peraturan yang banyak dan rumit dianggap sebagai solusi untuk mengatasi dosa. Namun kita semua tahu bahwa ketika semakin banyak peraturan, justru akan semakin banyak pelanggaran. Dosa tidak bisa diatasi dengan menambah peraturan.

Sebagian lainnya mungkin menganggap bahwa dosa bisa diatasi dengan memperketat sebuah sistem. Namun kita semua tahu bahwa semakin ketat pengawasan dan sistem yang ada, maka semakin pintar juga seseorang untuk mencari celah melanggar sistem dan pengawasan itu. Kita semua kalau mau jujur dengan diri kita, kalau kita mau jujur menilai dunia ini, maka pasti kita akan sadar bahwa sebenarnya dosa jauh lebih serius daripada itu. Nah, seberapa parahkah keadaan orang-orang yang berada di dalam dosa?

Kita sedang hidup di tengah zaman yang mengagungkan kehebatan manusia. Semua penilaian yang negatif tentang manusia dihindari, terlepas dari kebenaran atau kekeliruan dalam penilaian tersebut. Semangat zaman seperti ini membawa imbas di berbagai bidang. Bidang penginjilan adalah satunya. Sebagian orang mulai mengkompromikan berita Injil. Diskusi tentang dosa dan neraka dihindari. Injil sebagai kabar baik dipahami sebagai kabar yang tidak menyentuh hal-hal buruk. Pemikiran ini tidak tepat dan sangat berbahaya (bandingkan artikel berikut ini). Mengapa Injil disebut kabar baik? Karena Injil menawarkan solusi bagi kabar buruk yang sedang menimpa manusia. Tanpa memahami betapa seriusnya kondisi manusia di luar Kristus, kita tidak mungkin bisa memahami betapa hebatnya kebaikan di dalam Injil. Ada kabar buruk. Lalu ada kabar baik. Dua-duanya tidak terpisahkan dan harus ada dalam setiap upaya pemberitaan Injil (bandingkan artikel berikut ini).

Itulah yang dilakukan oleh Paulus dalam Efesus 2:1-3. Sesudah menjelaskan segala sesuatu yang positif di 1:3-23 (tentang rencana keselamatan kekal dari Allah dan kekuasaan-Nya atas jemaat), Paulus mengingatkan jemaat Efesus tentang keadaan mereka dahulu sebelum mengenal Kristus (2:1-3). Mereka berada dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Tanpa Allah, tanpa harapan (lihat 2:11). Strategi ini perlu dilakukan oleh Paulus. Tanpa mengerti dan mengakui keadaan kita dahulu yang tanpa harapan, kita tidak akan mampu menjadikan Allah sebagai satu-satunya harapan. Sekali lagi, kebaikan dalam Injil sebagai kabar baik baru bisa diapresiasi selayaknya apabila keburukan dalam keterpurukan kita dipahami dengan benar.

Bagaimana keadaan kita dahulu sebelum di bawah kasih karunia Kristus? Ada tiga petunjuk yang menggambarkan betapa parahnya kondisi rohani kita dahulu. Hal ini terdapat dalam Efesus 2:1-3. Teks ini bisa menjelaskan begitu gamblang seberapa parah kuasa dosa dalam hidup kita. Tentu saja ayat ini tidak akan mampu membahas semua aspek dari dosa. Namun apa yang dibahas dalam ayat ini cukup bagi kita untuk memahami kerusakan total dalam diri manusia akibat dosa.

Mati di dalam dosa (ayat 1)

Di sini Paulus menerangkan keadaan manusia yang jatuh ke dalam dosa yang mati di dalam dosa-dosa dan pelanggaran-pelanggaran (ay. 1). Metafora kematian di sini terdengar sangat tegas. Bukan hanya lemah. Bukan sekadar pingsan. Semua orang di luar Kristus adalah orang-orang yang mati di dalam dosa.

Penegasan lain juga terlihat dari penggunaan dua kata benda yang mempunyai arti sangat dekat ini, yaitu pelanggaran (paraptoma) dan dosa (hamartia). Pemunculan kata "paraptoma" di ayat 5 (LAI:TB "kesalahan") yang tidak disertai dengan hamartia menyiratkan bahwa dua kata ini tampaknya dianggap sinonim dalam konteks ini. Jika ini benar, maka penggunaan dua kata ini secara bersamaan di ayat 1 dimaksudkan sebagai sebuah penekanan untuk menunjukkan betapa banyaknya dosa dan pelanggaran kita. Bentuk jamak yang digunakan untuk dosa dan pelanggaran juga menguatkan hal itu.

Mati berarti keadaan yang tanpa daya sama sekali. Kematian adalah ketidakmampuan dalam arti yang paling absolut. Mayat tidak bisa memberikan respons apapun juga. Kata "mati" di sini dipakai untuk mengemukakan satu hal yang penting, yaitu kita tidak berdaya di hadapan dosa. Orang yang mati tidak bisa melakukan apa-apa, apalagi untuk menolong dirinya sendiri. Itulah keadaan manusia yang mati di dalam dosa-dosa dan pelanggaran-pelanggaran. Kita bukan hanya lelah, pingsan, atau capek di dalam dosa. Kita mati di dalam dosa. Jauh lebih serius.

Yang dimaksud dengan "mati dalam dosa" bukan pasif dalam berbuat dosa. Ayat 2a menunjukkan bahwa mereka justru aktif hidup di dalamnya. Mati dalam dosa berarti tidak mampu merespons kebaikan dan panggilan Allah. Orang berdosa tidak mungkin menginginkan Allah. Mereka bahkan seringkali tidak menyadari dan mengakui kebutuhan mereka terhadap keselamatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun