Disadari atau tidak, kita hidup di dalam sebuah zaman yang sangat individualistis. Egoisme adalah sesuatu yang sangat mudah ditemukan di mana saja. Kita sangat mementingkan diri sendiri. Celakanya, hal ini juga terjadi di dalam gereja. Tak jarang pertanyaan seperti, “Apa yang aku dapat dari gereja?” dimunculkan ke permukaan. Tidak heran beberapa orang mulai meninggalkan gereja karena merasa diri tidak mendapat apa-apa. Melalui lanjutan artikel berseri dari Surat 1 Korintus ini, saya ingin mengubah paradigma kita yang akan didasari pada 1 Korintus 14:26-28. Teks ini mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan orang lain dan memakai apa yang kita miliki demi kepentingan orang lain.
Penerjemah LAI:TB membantu kita untuk memahami bagian ini dengan cara memberi judul perikop yang baru. Hal ini sangat bisa dipahami. Ayat 26 memang merupakan pokok pikiran yang baru. Bagaimanapun, perikop ini tidak boleh dilihat terpisah atau tidak berhubungan dengan perikop di atasnya. Pertanyaan “Jadi, bagaimana sekarang, saudara-saudara?” di ayat 26a (ti oun estin, adelphoi;) menandakan bahwa Paulus mengambil ancang-ancang untuk menutup pembahasan tentang karunia-karunia rohani.
Studi komprehensif terhadap etika perjanjian Baru membuat saya menyetujui bahwa Paulus adalah salah satu tokoh yang paling menekankan kaitan antara doktrin dengan etika (teologi dengan tingkah laku sehari-hari). Perhatian lebih perlu diberikan dalam hal ini. Sebagian orang hanya mengajarkan hal-hal yang sifatnya praktis atau etika-etika biasa. Tidak ada doktrin sama sekali. Tidak ada landasan teologis yang solid. Hal ini berpotensi membuat kesalehan kita menjadi kesalahan. Sebagian lainnya hanya memenuhi pengajarannya dengan doktrin dan semua istilah teologi yang kental dengan nuansa akademis. Di dalam gereja-gereja semacam ini, jarang sekali diajarkan praktik hidup yang benar. Apa yang ada di dalam pikiran tidak dilakukan dalam hidup sehari-hari. Teologi tidak menjadi doksologi. Telah terjadi perceraian antara doktrin dan etika (teologi dan aplikasi).
Karena itu pemahaman teologis kita harus dibarengi dengan pelaksanaan praktik yang benar. Itulah yang dilakukan Paulus. Sesudah memberikan konsep-konsep teologis yang penting tentang berbagai karunia rohani (12:1-14:25) dengan susah payah, terutama karunia berbahasa roh dan bernubuat (14:1-25), Paulus kemudian mengakhiri uraiannya dengan sederetan peraturan praktis (aplikasi) tentang penggunaan karunia-karunia rohani dalam ibadah (14:26-40). Peraturan-peraturan praktis ini tentu saja dilandaskan pada poin-poin teologis yang sudah disampaikan sebelumnya.
Hari ini kita hanya akan menyoroti peraturan tentang penggunaan karunia berbahasa roh. Apakah karunia ini boleh dipergunakan dalam ibadah? Apa saja pedoman dan peraturan khusus dalam pengunaannya? Isu ini akan dikupas dalam dua bagian. Yang pertama mengenai prinsip umum (ayat 26) yang berlaku untuk semua karunia rohani tanpa terkecuali. Yang kedua mengenai pedoman khusus dalam penggunaan bahasa roh (ayat 27-28).
Prinsip umum (ayat 26)
Sebagian orang Kristen menganggap bahwa ibadah pribadi sama saja dengan ibadah bersama. Sama-sama berdoa, sama-sama mempelajari firman Tuhan, sama-sama memuji Tuhan. Anggapan ini tentu saja keliru.
Yang satu bukanlah substitusi bagi yang lain. Ibadah bersama di gereja harus dibarengi dengan ibadah pribadi, begitu pula sebaliknya. Sebagaimana ibadah pribadi memiliki dimensi tertentu yang tidak ada di ibadah bersama (keteduhan, intimasi yang lebih personal, dsb), demikian pula ibadah bersama memiliki keunikan tersendiri.
Dari 1 Korintus 14:26 kita dapat melihat dua prinsip yang menerangkan keunikan ibadah bersama (“Bilamana kamu berkumpul”). Paulus sedang berbicara tentang ibadah bersama, bukan ibadah pribadi. Paulus mengajarkan dua prinsip umum yang penting. Dua prinsip ini saling berhubungan. Dua prinsip ini bukan pilihan. Dua-duanya harus diperhatikan dan ditaati.
Dalam ibadah bersama, masing-masing orang memberi sesuai dengan karunianya (ayat 26a). Pemunculan frasa “tiap-tiap orang” yang diikuti oleh keragaman karunia rohani mengingatkan pada uraian Paulus sebelumnya di 12:7-11. Setiap orang pasti memiliki minimal satu karunia rohani (12:7, 11). Masing-masing orang memiliki sesuatu untuk diberikan. Ada begitu banyak macam karunia rohani. Bahkan apa yang disebutkan di 1 Korintus 12-14 (12:7-11, 28-30; 14:6, 26) tidak mewakili semua karunia rohani yang ada (bdk. Rm. 12:4-8; Ef. 4:11-13). Setiap orang yang sudah bertobat dengan sungguh-sungguh pasti menerima karunia Roh Kudus (Kis. 2:38 “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus”).
Untuk diketahui, orang yang memiliki karunia bermazmur sangat mahir dalam melagukan kitab-kitab mazmur, atau ia pandai menggubah ayat-ayat Alkitab atau ajaran para rasul untuk dilagukan. Di dalam zaman John Calvin, tidak ada alat musik yang digunakan di dalam ibadah bersama. John Calvin bahkan melarang jemaatnya menggunakan lagu gubahan sendiri. Ia memanggil orang yang pandai dalam hal musik dan kemudian diperintahkan untuk membuat melodi-melodi yang didasarkan pada teks Alkitab.