Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eksposisi 1 Korintus 13:4-7 (Bagian 2)

30 April 2018   23:19 Diperbarui: 21 Juli 2018   15:14 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tindakan jemaat Korintus masuk dalam kategori pelanggaran terhadap karakteristik kasih ini. Ada yang kawin dengan istri ayahnya (5:1). Ada perempuan yang berpenampilan dan berperilaku tidak pantas di depan umum dalam konteks ibadah (11:2-16). Ada yang merendahkan orang-orang miskin (11:20-22). Semua ini bertabrakan dengan kasih. Kasih selalu menginginkan hal-hal yang agung dan indah untuk orang lain, bukan kehinaan dan ketidaksenonohan.

Tidak sulit mengetahui betapa relevan karakteristik ini bagi situasi modern, terutama yang berhubungan dengan kehidupan remaja/pemuda. Sebagian menganggap hubungan seks di luar pernikahan sebagai bukti cinta, padahal Alkitab secara tegas justru mengajarkan sebaliknya: jika kita mencintai seseorang, maka kita tidak akan melakukan hal-hal yang kurang pantas kepadanya. Salah satu ujian cinta sejati justru terletak pada pengendalian diri dalam hal seks!

Kasih itu tidak mencari keuntungan diri sendiri (ou zetei ta heautes)

Secara hurufiah, frasa ini berbunyi: “tidak mencari….sendiri” (KJV/ASV/NASB “seeketh not its/her own”). Para penerjemah berbeda pendapat tentang objek yang harus diasumsikan. Sebagian mengusulkan “jalan/cara” (ESV/NLT), yang lain “kepentingan/keuntungan” (NIV). Alternatif pertama lebih merujuk pada pemaksaan kehendak, sedangkan yang kedua pada sikap egois (tidak mau memedulikan kepentingan orang lain). Secara tata bahasa dan sintaks dua alternatif ini sama-sama bisa dibenarkan. Menentukan pilihan mana yang lebih tepat harus memperhatikan konteks: Apakah jemaat Korintus cenderung memaksakan cara kepada orang lain atau mereka kurang memperhatikan kepentingan orang lain?

Jawaban yang benar adalah yang terakhir. Mereka tidak memedulikan pihak lain yang lemah yang bisa tersandung oleh “pengetahuan” dan sikap mereka dalam hal makanan berhala (8:1-13). Dengan alasan kebebasan di dalam Kristus (“segala sesuatu diperbolehkan”), mereka tidak peduli apakah “kebebasan” itu membawa manfaat bagi orang lain atau tidak (10:23). Pada waktu sakramen perjamuan kudus, orang-orang kaya memakan sendiri roti dan anggur yang mereka bawa dari rumah tanpa menunggu kedatangan jemaat-jemaat yang miskin (11:20-22).

Berbeda dengan sebagian besar jemaat Korintus, Paulus mendemonstrasikan karakteristik kasih ini dalam pelayanannya. Ia tidak mau secara sembarangan menggunakan kebebasannya sehingga orang lain merasa syak atau tersandung (8:13). Walaupun ia berhak mendapatkan tunjangan hidup, ia memilih untuk bekerja dengan tangannya sendiri supaya Injil tidak terhalang (9:1-18). Ia bahkan rela menjadi segala-galanya bagi semua orang demi keselamatan mereka (9:19-23). Di 10:33 ia berkata: “Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan hati semua orang dalam segala hal, bukan untuk kepentingan diriku, tetapi untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat.”

Kasih sejati berfokus pada kepentingan atau kebaikan orang lain. Kasih memampukan kita bahkan untuk mengorbankan hak dan kebebasan kita supaya orang lain bertumbuh. Bukti kasih terbesar adalah karya Kristus di kayu salib. Ia bukan hanya mau meninggalkan kemuliaan sorgawi dan hidup dalam keterbatasan sebagai manusia, Ia bahkan rela mati di kayu salib untuk kepentingan kita (Flp. 2:6-8).

Kasih itu tidak pemarah (ou paroxynetai)

Kata dasar “paroxynomai” sebenarnya tidak selalu berhubungan dengan kemarahan. Kata yang secara hurufiah berarti “mempertajam” ini (bdk. Ul. 32:41 LXX) hanya merujuk pada gejolak perasaan yang kuat dalam hati seseorang. Jenis gejolak yang ada bervariasi, tergantung pada konteksnya. Sebagai contoh, hati Paulus bergejolak (paroxyneto, LAI:TB “sangat sedih hatinya”) pada saat ia menyaksikan begitu maraknya penyembahan berhala di kota Athena (Kis. 17:16).

Walaupun tidak selalu berhubungan dengan kemarahan, beberapa versi mengarah pada kemarahan, entah mereka menerjemahkan “paroxynomai” dengan “terprovokasi” (KJV/ASV/NASB) atau “lekas marah” (NIV/ESV). Pilihan ini jelas bukan tanpa alasan. Dalam deretan karakteristik kasih, Paulus sebelumnya sudah menyinggung tentang “sabar” (13:4a), sehingga gejolak perasaan ini lebih pas apabila dikaitkan dengan kemarahan. Selain itu, dalam kaitan dengan kasih, gejolak perasaan yang paling bertentangan dengan kasih adalah kemarahan atau kebencian.

Apakah hal ini berarti bahwa kasih sama sekali meniadakan kemarahan? Tentu saja tidak! Dalam Septuaginta (LXX), kata “paroxynomai” bahkan dikenakan pada TUHAN yang sedang memurkai umat-Nya (Ul. 9:18 LAI:TB “menimbulkan sakit hati-Nya” = paroxynai auton; Yes. 65:3 LAI:TB “yang menyakitkan hati-Ku” = ho paroxynon). Walaupun TUHAN memurkai dan menghukum umat-Nya, Ia tetap mengasihi mereka. Kemarahan-Nya justru dimaksudkan untuk kebaikan umat-Nya supaya mereka bertobat dan dipulihkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun