Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Injil dan Tujuan Hidup

19 Maret 2018   16:34 Diperbarui: 17 Agustus 2018   04:31 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, nilai hidup. Jika mengenal Kristus secara personal dan relasional adalah tujuan, maka segala sesuatu yang menghambat pencapaian tujuan ini merupakan hal-hal yang tidak berharga. Itulah yang diajarkan oleh Paulus di sini. Apa yang dahulu dipandang keuntungan, sekarang dianggap kerugian (ayat 7). Kerugian di sini bukan hanya merujuk pada semua kelebihan yang dia sebutkan di ayat 4-6, tetapi “segala sesuatu” (ayat 8a) yang bisa menghalangi pengenalan kepada Kristus. Dia bahkan menggunakan sebuah kata yang sangat vulgar, yaitu “sampah” (skybala). Kata ini biasa digunakan untuk makanan sisa yang sudah basi, sampah, atau, bahkan, kotoran manusia.

Kita menggarisbawahi satu poin di sini. Apa yang dianggap kerugian atau sampah bukanlah hal-hal yang pada dirinya sendiri memang hina, misalnya dosa atau kelemahan tubuh. Hal itu biasa dinilai secara negatif. Di sini Paulus sedang memikirkan segala kebanggaan jasmaniah: apa yang selama ini dicari dan dimegahkan oleh banyak orang. Dari perspektif pengenalan tentang Kristus, semua itu tidak memiliki arti apa-apa.

Ketiga, makna hidup. Pemahaman tentang tujuan dan nilai hidup akan menentukan bagaimana seseorang memaknai hidupnya. Bagi Paulus yang dahulu, yang terpenting adalah dibenarkan di hadapan Allah melalui ketaatan pada Hukum Taurat. Itulah sebabnya dia begitu bersemangat menaati aturan Taurat secara detil dan ketat. Tatkala dia berhasil melakukannya, dia merasa hidupnya berarti. Dia merasa diri lebih sukses daripada orang lain (bdk. Luk. 18:10-12). Bagi Paulus yang sekarang, kebenaran di hadapan Allah tetap penting, namun hal itu bukan lagi dicapai melalui usaha diri sendiri. Keingi nannya untuk memperoleh Kristus (ayat 8b) hanya dimungkinkan karena dia sudah berada di dalam Dia (ayat 9a, lit. “ditemukan di dalam Dia”; lihat versi Inggris). Kebenaran itu diperoleh sebagai pemberian (anugerah) dari Allah, yang dia terima melalui iman (ayat 9b).

Jadi, kesuksesan hidup diukur dari perspektif Kristus. Apakah kita sudah semakin dekat dengan pengenalan yang personal dan relasional di dalam Kristus? Sudahkah kita membuang segala sesuatu yang menghambat pengenalan itu dan menganggapnya sampah? Apakah kita sudah memandang apa yang terpenting dalam hidup dan bahkan seluruh aspek kehidupan kita sebagai anugerah Allah dan bukan hasil usaha sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun