Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Injil dan Tujuan Hidup

19 Maret 2018   16:34 Diperbarui: 17 Agustus 2018   04:31 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan perilaku merupakan buah pertobatan, namun tidak semua perubahan perilaku merupakan buah pertobatan. Kekristenan bukan tentang deretan peraturan atau sekadar gaya hidup yang baru. Pertobatan sejati mencakup perubahan tujuan dan nilai hidup yang berpusat pada Yesus Kristus. Dengan kata lain, orientasi hidup seyogianya mendahului gaya hidup. Jika ini dilalaikan, kekristenan akan terjebak pada moralitas humanistik. Hanya mementingkan perubahan gaya hidup tetapi tanpa kuasa Yesus Kristus yang menghidupkan.

Tidak demikian dengan perubahan hidup Paulus. Teks kita hari ini bukan hanya memaparkan perubahan gaya hidupnya, tetapi – yang lebih penting – perubahan nilai hidupnya yang muncul dari tujuan hidup yang Kristosentris. Hanya jika hidup kita diarahkan pada Kristus, semua kebaikan yang kita lakukan hanyalah kesalehan yang menipu, tidak peduli seberapa sungguh-sungguh kita menjalaninya. Kesalehan tanpa kebenaran adalah sebuah kesalahan. Tidak adanya kebenaran Kristus dalam tiap kesalehan kita adalah tanda bahwa kesalehan kita hanyalah kumpulan kesalahan yang terakumulasi.

Dalih yang mungkin berdatangan adalah mengenai kesungguhan. Kesalehan yang salah dipandang bisa ditolerir dengan sikap yang sungguh-sungguh. Salah tidak apa-apa, yang penting sungguh-sungguh. Banyak hal yang bodoh dan salah dibenarkan karena dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pandangan semacam ini hanya berujung pada kekeliruan yang lain. Orang yang sungguh-sungguh dalam kesalahannya adalah orang yang sungguh-sungguh salah. Pengujian yang sesungguhnya bukan hanya terletak pada kesungguhan dan ketulusan, tetapi juga pada kebenaran. Kesalehan yang sejati adalah perpaduan antara kebenaran, kesungguhan, dan ketulusan.

Tekanan untuk bermegah (ayat 4-6)

Pasal 3 dari Surat Filipi ditulis sebagai respons Paulus terhadap ajaran sebuah ajaran sesat. Kemungkinan besar mereka adalah orang-orang Kristen Yahudi yang mencoba membanggakan ke-Yahudian mereka (3:2). Mereka memaksakan elemen-elemen Yudaisme (agama Yahudi) kepada jemaat di Filipi, misalnya sunat dan ketaatan pada Taurat.

Dari perspektif kultural-sosial pada waktu itu, terutama di kalangan masyarakat Yahudi, upaya ini mempunyai bobot tersendiri. Secara umum bangsa Yahudi dikenal sebagai orang-orang yang bermoral. Superioritas etnis sebagai orang Yahudi sangat dibanggakan. Bangsa-bangsa lain bahkan dijuluki “anjing- anjing” (bukan kata-kata kotor, tetapi ungkapan figuratif untuk sesuatu yang najis). Itulah sebabnya Paulus membalik konsep ini, dan menyebut para pengajar sesat sebagai “anjing- anjing” dan “penyunat-penyunat palsu” (3:2).

Tekanan kultural-sosial ini tidak mudah. Siapa saja yang mengikuti gaya hidup Yahudi akan dipandang sebagai orang yang taat dan terhormat. Di tengah kultur yang sangat religius, disebut “saleh” adalah segala-galanya. Ada godaan untuk memenuhi tekanan kultural-sosial yang ada demi mendapatkan penerimaan dari banyak orang.

Dengan cara yang sangat taktis dan persuasif Paulus mengondisikan jemaat Filipi untuk tidak mengikuti tuntutan tersebut. Jika semua elemen ke-Yahudian merupakan dasar untuk bermegah, Paulus pasti memiliki sejuta alasan untuk membanggakan diri. Dia akan berada jauh di atas semua pengajar sesat tersebut (4:4).

Para penafsir Alkitab biasanya membagi kebanggaan Paulus di ayat 4-6 ke dalam dua kategori: yang diwariskan kepadanya (pasif) dan yang dia capai (aktif). Yang termasuk kategori pertama adalah disunat pada hari ke-8, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, dan orang Ibrani asli. Sisanya di ayat 5b-6 termasuk kategori kedua. Dalam teks Yunani, kategori ke-2 didahului dengan kata depan “menurut” (kata).

Disunat pada hari ke-8 merupakan kebanggaan. Sunat merupakan tanda perjanjian. Namun, maksud Paulus lebih daripada itu. Disunat pada hari ke-8 berkaitan dengan penyunatan Ishak (Kej. 17:12; Im. 12:3). Dia tidak seperti Ishak yang disunat pada usia 17 tahun (Kej. 17:25) atau golongan proselit yang disunat pada saat mereka bertobat dan mulai memeluk Yudaisme.

Kebanggaan lain adalah dari bangsa Israel. Terjemahan “bangsa” sebenarnya kurang tepat. Kata yang digunakan adalah genos (etnis), bukan laos (bangsa). Istilah laos lebih luas, dan bisa mencakup golongan proselit juga. Istilah genos dikhususkan untuk mereka yang benar-benar memiliki garis keturunan Israel.

Jika berasal dari keturunan Israel saja sudah membanggakan, apalagi dari suku Benyamin (lihat juga Rm. 11:1). Bangsa Yahudi pada waktu itu memahami betapa berharganya garis keturunan ini. Benyamin adalah salah satu anak dari Rahel, istri yang dicintai oleh Yakub. Dia satu-satunya anak Yakub yang lahir di tanah perjanjian (Kej. 35:16-18). Raja pertama Israel, Saul, berasal dari suku ini (1Sam. 9:1-12). Bukan kebetulan juga jika Paulus memiliki nama Ibrani yang sama dengan raja tersebut. Selama zaman kerajaan sampai kelepasan dari Babel, suku Benyamin tetap setia pada Kerajaan Israel (1Raj. 12:21; Neh. 11:7-9, 31-36).

Ungkapan “orang Ibrani asli” (Hebraios ex Hebraiōn) secara hurufiah dapat diterjemahkan “seorang anak laki-laki Ibrani dari orang tua Ibrani”. Paulus tidak hanya menegaskan bahwa Israel secara biologis, tetapi juga secara kultural. Dia berbahasa Aramaik dan Ibrani. Dia menganut adat-istiadat Yahudi dengan ketat. Walaupun Paulus lahir di perantauan (Tarsus, Kis. 22:3), tetapi dia dibesarkan di Yerusalem (Kis. 26:4).

Menjadi orang Farisi bukanlah hal yang sembarangan. Ada banyak kelompok religius pada waktu itu, tetapi kelompok Farisi memiliki pengaruh terbesar di masyarakat. Mereka terkenal sebagai golongan yang paling setia dan ketat dalam memelihara Hukum Taurat (Kis. 26:5). Perjuangan dan pengorbanan mereka selama masa pemberontakan terhadap bangsa Siria sudah teruji dan terkenal. Ternyata, bukan hanya Paulus yang berasal dari kelompok Farisi, tetapi orang tuanya juga (Kis. 23:6). Dia bahkan belajar langsung dari Gamaliel, seorang guru ternama di kalangan Farisi (Kis. 5:34; 22:3).

Sebagai bagian dari hasratnya yang kuat terhadap Taurat, Paulus pernah menjadi penganiaya orang-orang Kristen. Kata “kegiatan” (zēlos) lebih tepat diartikan “semangat yang menyala- nyala” (bdk. 1Kor. 15:9; 1Tim. 1:13). Artinya, penganiayaan yang dia lakukan merupakan salah satu bukti bagaimana dia sangat bersemangat dalam membela Taurat. Apa yang diajarkan oleh Yesus Kristus dipandang bertabrakan dengan ajaran Taurat versi Farisi, sehingga kekristenan perlu dimusnahkan (baca Kis. 8:1-3; 9:1-2).

Puncak dari kebanggaan Paulus adalah kualitas ketaatannya terhadap Hukum Taurat. Ketaatannya tidak bercela. Pernyataan ini bukan sekadar sarkasme. Bukan pula kesalahpahaman dari pihak Paulus dalam menilai dirinya. Pada saat yang bersamaan, hal ini juga tidak berarti bahwa dia tanpa dosa. Pernyataan ini perlu dipahami sesuai konteksnya, yaitu perbandingan dengan para pengajar sesat di Filipi. Maksudnya, jika kebenaran di hadapan Allah dapat diperoleh melalui ketaatan kepada aturan-aturan Taurat, Paulus pasti berada di barisan terdepan (bdk. orang muda yang saleh di Luk. 18:21).

Transformasi hidup yang berpusat pada Injil (ayat 7-11)

Nuansa berbeda kita rasakan pada saat berpindah dari ayat 4-6 ke ayat 7-11. Semua daftar kelebihan di bagian sebelumnya bukanlah dasar untuk bermegah. Bukan hanya tidak boleh dijadikan kebanggaan, semua itu justru berdampak negatif bagi Paulus. Ada perubahan 180 derajat di sini. Bukan sekadar pergeseran, tetapi pembalikan.

Pembalikan ini melibatkan transformasi akal budi. Kata “menganggap” (hēgeomai) muncul berkali-kali di ayat 7-8. Makna kata ini lebih ke arah “mempertimbangkan”. Aspek kognitif ini juga diperkuat dengan pemunculan kata “pengenalan” (gnōsis) dan “mengenal” (ginōskō) di ayat 8 dan 10. Walaupun dua kata ini tidak hanya mengandung elemen intelektual (lihat pembahasan selanjutnya), tetapi elemen ini tetap sangat kental di dalamnya. Jadi, perubahan gaya hidup harus melibatkan transformasi akal budi. Iman tidak meniadakan pikiran. Iman bukanlah pelarian dari pergumulan intelektual. Sebaliknya, iman merupakan landasan bagi transformasi dan optimalisasi pikiran.

Transformasi akal budi yang berpusat pada Injil Yesus Kristus memberikan orientasi hidup yang baru. Orientasi ini mencakup tujuan, nilai, dan makna hidup. Mengenali tiga hal ini merupakan hal yang sangat penting, karena yang membedakan antara “sekadar ada” (existing) dan “hidup” (living) adalah pemahaman seseorang tentang tujuan, nilai, dan makna hidupnya. Di antara tiga hal ini, tujuan hidup menempati posisi terpenting. Semua dinilai berdasarkan tujuan.

Pertama, tujuan hidup. Kontras antara ayat 4-6 dan 7-11 terletak pada pemahaman Paulus tentang tujuan hidupnya yang sudah berubah. Sekarang dia hidup untuk “memperoleh Kristus” (ayat 8). Apa yang dimaksud di sini diterangkan di ayat 10: memperoleh Kristus berarti mengenal Dia secara personal. Bukan sekadar pengenalan secara kognitif (walaupun hal itu sudah termasuk di dalamnya). Pengenalan ini berkaitan erat dengan kuasa (dynamis) dan persekutuan (koinōnia). Dengan kata lain, pengenalan yang personal adalah pengenalan yang relasional.

Jika kita mau jujur dengan kenyataan, kita akan mengakui bahwa yang paling berharga dalam kehidupan adalah relasi yang penuh kasih. Banyak orang bahkan rela melakukan hal-hal yang paling bodoh sekalipun hanya untuk memperolehnya. Di dalam Kristus semua ini sudah disediakan, tanpa kita mengupayakan. Relasi ini juga tidak akan pernah padam. Bahkan kematian pun tidak akan mampu memutuskannya. Siapa yang mengalami persekutuan dengan kematian-Nya juga akan merasakan kuasa kebangkitan-Nya (ayat 10-11).

Kedua, nilai hidup. Jika mengenal Kristus secara personal dan relasional adalah tujuan, maka segala sesuatu yang menghambat pencapaian tujuan ini merupakan hal-hal yang tidak berharga. Itulah yang diajarkan oleh Paulus di sini. Apa yang dahulu dipandang keuntungan, sekarang dianggap kerugian (ayat 7). Kerugian di sini bukan hanya merujuk pada semua kelebihan yang dia sebutkan di ayat 4-6, tetapi “segala sesuatu” (ayat 8a) yang bisa menghalangi pengenalan kepada Kristus. Dia bahkan menggunakan sebuah kata yang sangat vulgar, yaitu “sampah” (skybala). Kata ini biasa digunakan untuk makanan sisa yang sudah basi, sampah, atau, bahkan, kotoran manusia.

Kita menggarisbawahi satu poin di sini. Apa yang dianggap kerugian atau sampah bukanlah hal-hal yang pada dirinya sendiri memang hina, misalnya dosa atau kelemahan tubuh. Hal itu biasa dinilai secara negatif. Di sini Paulus sedang memikirkan segala kebanggaan jasmaniah: apa yang selama ini dicari dan dimegahkan oleh banyak orang. Dari perspektif pengenalan tentang Kristus, semua itu tidak memiliki arti apa-apa.

Ketiga, makna hidup. Pemahaman tentang tujuan dan nilai hidup akan menentukan bagaimana seseorang memaknai hidupnya. Bagi Paulus yang dahulu, yang terpenting adalah dibenarkan di hadapan Allah melalui ketaatan pada Hukum Taurat. Itulah sebabnya dia begitu bersemangat menaati aturan Taurat secara detil dan ketat. Tatkala dia berhasil melakukannya, dia merasa hidupnya berarti. Dia merasa diri lebih sukses daripada orang lain (bdk. Luk. 18:10-12). Bagi Paulus yang sekarang, kebenaran di hadapan Allah tetap penting, namun hal itu bukan lagi dicapai melalui usaha diri sendiri. Keingi nannya untuk memperoleh Kristus (ayat 8b) hanya dimungkinkan karena dia sudah berada di dalam Dia (ayat 9a, lit. “ditemukan di dalam Dia”; lihat versi Inggris). Kebenaran itu diperoleh sebagai pemberian (anugerah) dari Allah, yang dia terima melalui iman (ayat 9b).

Jadi, kesuksesan hidup diukur dari perspektif Kristus. Apakah kita sudah semakin dekat dengan pengenalan yang personal dan relasional di dalam Kristus? Sudahkah kita membuang segala sesuatu yang menghambat pengenalan itu dan menganggapnya sampah? Apakah kita sudah memandang apa yang terpenting dalam hidup dan bahkan seluruh aspek kehidupan kita sebagai anugerah Allah dan bukan hasil usaha sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun