Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eksposisi 1 Korintus 11:27-34

22 Februari 2018   14:16 Diperbarui: 17 Agustus 2018   23:36 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian penafsir yang lain menafsirkan tiga hal ini secara jasmani, dengan menafsirkannya bukan sebagai hukuman, tetapi akibat. Apa yang dilakukan jemaat yang kaya menyebabkan jemaat yang kurang mampu lapar, mengalami kelemahan tubuh, sakit, dan bahkan ada yang meninggal. Walaupun penafsiran ini menarik dan kreatif, namun tidak sesuai dengan nuansa penghukuman di ayat 27-34. Lagipula, ucapan Paulus tentang tujuan dari hukuman Allah di ayat 32 tampaknya merujuk balik pada hukuman serius di ayat 30.

Kita sebaiknya memahami ayat 30 sebagai hukuman dalam arti yang jasmani. Kata “tidak sedikit” (hikanoi) lebih tepat diterjemahkan “cukup” (2Kor. 2:6). Jika angka kematian saja sudah cukup (besar), apalagi jumlah yang lemah dan sakit. Dari cara Paulus melihat hal ini sebagai hukuman atas dosa pelaksanaan perjamuan kudus yang salah, kita menduga bahwa jumlah yang terhukum memang cukup signifikan dan hanya terjadi pada orang-orang kaya.

Walaupun sekilas hukuman di atas terkesan sangat serius, hal itu bukan hal yang asing. Sebelumnya Paulus sudah mengingatkan mereka bagaimana Allah telah membinasakan orang-orang Israel di padang gurun sekalipun mereka sudah diberi makanan dan minuman rohani yang sama dengan mereka yang tidak dihukum (10:4-5). Jika kesalahan dalam perjamuan kudus mendatangkan hukuman, ketaatan dalam melakukannya juga pasti mendatangkan berkat.

Nasihat praktis (ayat 31-34)

Bagaimana mempraktikkan ujian kelayakan di ayat 28-29 dan menghindari hukuman di ayat 30? Paulus memberikan tiga nasihat praktis. Pertama, kita harus menguji diri sendiri (ayat 31). Walaupun LAI:TB memakai terjemahan yang sama di ayat 27 dan 31 (“menguji”), namun dalam teks Yunani kata kerja yang digunakan berlainan. Kalau di ayat 27 arti yang disiratkan lebih mengarah pada “membuktikan” (dokimazo), di ayat 31 lebih pada “menilai” atau “menghakimi” (diakrinomai). Penggunaan keterangan waktu imperfek menunjukkan sebuah konsistensi. Terus-menerus menghakimi diri kita akan menyelamatkan kita dari hukuman Allah.

Sebelum melanjutkan ke nasihat praktis yang kedua di ayat 33, Paulus menyisipkan pendapatnya tentang hukuman Allah (ayat 32). Hal ini mungkin dilakukan karena dia tidak ingin ucapannya di ayat 30 disalahmengerti seolah-olah Allah adalah kejam. Hukuman Allah tidak seburuk yang terlihat, bahkan hal itu justru mengungkapkan kasih-Nya pada kita. Pada waktu Allah menghukum kita sekarang, maka itu merupakan sebuah disiplin rohani yang bermanfaat untuk mendewasakan kita. Hukuman pada masa kini juga dimaksudkan supaya kita tidak menerima hukuman yang lebih serius di akhir zaman (kita tidak dihakimi bersama dunia). Pendeknya, sekalipun kita mengalami ketidaknyamanan secara jasmani, itu untuk kebaikan rohani kita. Sama seperti ungkapan Paulus di bagian sebelumnya: “orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis, sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan” (5:5).

Nasihat praktis yang kedua adalah menantikan orang lain (ayat 33). Para penafsir berdebat tentang arti kata ekdechomai di ayat ini. Dari sisi arti kata, ekdechomai bisa merujuk pada tindakan menanti (Kis. 17:16; 1Kor. 16:11) atau menyambut (sumber-sumber kuno di luar Alkitab). Jika dikaitkan dengan konteks 11:17-34 secara sekilas, kata ini juga bisa ditafsirkan untuk keduanya. Bagaimanapun, pilihan yang lebih tepat tampaknya adalah “menyambut”. Pemunculan kata ekdechomai secara spesifik pada konteks jamuan makan merujuk pada tindakan menyambut tamu. Selain itu, persoalan di jemaat Korintus bukanlah tentang ketidakmauan sebagian jemaat untuk menunggu orang lain yang belum datang. Isu utama bukan keterlambatan, tetapi ketidakmauan untuk berbagi. Jika ini yang terjadi, “menanti” belaka tidak akan menjadi solusi. Mereka harus belajar menyambut dan memperlakukan orang lain dengan baik dan terhormat.

Nasihat yang terakhir adalah makan di rumah (ayat 34a). Terjemahan LAI:TB “makan dahulu di rumah” menimbulkan kesan yang keliru bahwa inti persoalan terletak pada ketidaksabaran dalam menahan lapar dan menantikan orang lain. Dalam teks Yunani tidak ada kata “dahulu”. Paulus bukan sedang membicarakan tentang waktu makan, tetapi jenis acara/situasi makan. Kita tidak boleh manafsirkan ayat ini seolah-olah Paulus memperbolehkan sebuah dosa kerakusan asalkan hal itu dilakukan di rumah sendiri, bukan di gereja. Inti pembahasan terletak pada perjamuan Tuhan di gereja. Makna di dalam acara makan semacam ini adalah kebersamaan dan kesatuan. Jika ada jemaat yang hanya ingin memuaskan diri sendiri, orang itu tidak perlu datang ke gereja untuk menikmati perjamuan Tuhan. Ia hanya perlu tinggal di rumahnya dan mengenyangkan diri sendiri di sana. Kita juga dilarang memahami ayat ini seolah-olah kita dapat melakukan perjamuan Tuhan sendiri di rumah. Sebagai sudah ditekankan berkali-kali, tanpa unsur kebersamaan dan kesatuan dengan orang percaya yang lain, sakramen perjamuan kudus tidak akan ada artinya. Itu akan menjadi acara makan-makan yang biasa.

Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa maksud Paulus di ayat 34a adalah memerintahkan jemaat untuk memiliki motivasi berbagi sejak awal kedatangan mereka ke tempat pertemuan. Jika motivasi semacam ini tidak ada, mereka lebih baik makan sendiri di rumah: tidak perlu repot-repot datang, tidak menghina jemaat lain yang tidak memiliki makanan, dan tidak menerima hukuman serius dari Allah.

Aplikasi

Apa yang disampaikan Paulus di bagian ini sangat mendesak untuk diperhatikan dan ditaati. Sebagian gereja memiliki konsep dan praktek perjamuan kudus yang tidak Alkitabiah. Roti dan anggur dianggap sebagai jimat yang bisa disimpan dan digunakan kapan saja mereka mau untuk mendapatkan kesembuhan. Lebih parah lagi, pada beberapa kesempatan ketika roti dan anggur itu dibagikan, beberapa orang dengan justru saling berebut dan tidak memperhatikan orang-orang lain. Ini adalah dosa yang serius dan menuntut pertobatan segera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun