Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Kepalaku terasa pusing dan berputar. Perlu sepersekian detik untuk menetralisir pandanganku yang juga sempat buram. Hal terakhir yang kuingat adalah aku terserang demam tinggi selama berhari-hari dan sepertinya tubuhku meminta istirahat sebentar
"Cucuku sayang, akhirnya kamu bangun juga" aku mendengar suara yang sangat familiar di telingaku, suara yang lembut dan penuh kasih sayang
"Nenek?" Sahutku dengan linglung
Nenek kemudian memberiku minum dan membantuku untuk duduk di kasur
"Nek, sudah berapa lama aku tertidur?"
"Satu minggu" Kata nenek sambil menatapku erat
"Hah?!" Aku membelalakkan mataku "Tidak mungkin"
"Ketika pingsan memang semuanya terasa lebih cepat, bukan? Lagipula, dokter bilang bahwa Nenek bisa membawamu pulang karena kau akan segera sadar" Nenek menyibakkan rambutku ke belakang
"Mungkin saja, Nek. Entahlah, aku tidak pernah pingsan sebelumnya"
"Kalau begitu jangan pingsan lagi," Nenek menepuk pelan kepalaku "Sekarang, apa kau lapar?"
"Sangat, Nek.." Nada suaraku berubah manja
"Baiklah, Nenek akan siapkan makan malam untukmu. Kau tunggu disini sebentar ya cucuku yang cantik" Nenek kemudian keluar kamarku sambil tersenyum
Aku memang tinggal seorang diri dengan Nenek setelah Ayah dan Ibu meninggal. Sejak kecil, aku memang sangat dekat dengan Nenek dan pada akhirnya aku jugalah yang turut menempati rumah Nenek. Rumah ini kecil dan sederhana, tetapi suasananya sangat hangat.Â
Semenjak aku bangun dari pingsanku tadi, aku merasakan rindu yang membuncah terhadap Nenek. Walau masih pusing, aku ingin mengambil pigura foto dengan Nenek yang kupajang di meja kamarku. Namun, aku sangat terkejut ketika aku menyibakkan selimutku
"AAAAHH! KAKIKUUU!!"
Tak berapa lama, aku dengar Nenek berlari dengan tergopoh-gopoh. Tepat ketika Nenek membuka pintu kamarku, aku sudah menangis kencang
"Cucuku..." Nenek terlihat sangat khawatir dengan keadaanku
"NENEK!" Napasku sudah tersengal "Kakiku.. kaki kananku.. pergelangannya.. hilang.."
Nenek hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku, Nek?!" Suaraku sedikit meninggi, aku benar-benar bingung
"Nenek.." Aku bisa mendengar suara Nenek yang parau "Nenek senang akhirnya kau kembali" Kata-kata itu meluncur bersamaan dengan air mata  yang lolos dari sudut matanya
Tiba-tiba aku memuntahkan kertas yang berisikan bahasa yang tidak aku mengerti dan hal yang mengejutkan adalah kakiku kembali menjadi utuh
"Maaf" Nenek melanjutkan "Kau seharusnya sudah meninggal"
"Meninggal?!" Aku menatap Nenek lekat-lekat seraya mencari pembenaran  "Tapi aku hidup sekarang. Bagaimana mungkin, Nek?"Â
"Ingatan terakhirmu adalah ingatanmu tepat sebelum kau tiada dan yang kau muntahkan adalah mantra untuk menghidupkanmu kembali. Tubuhmu sudah kembali sempurna sekarang" Nenek menundukkan kepalanya
"Tapi.. mengapa?" Tanyaku lirih
"Nenek tidak sanggup harus kehilangan orang yang Nenek sayangi lagi dan kau sekarang satu-satunya!" Nenek mulai meluapkan emosinya "Dulu saat kehilangan Ayah dan ibumu, Nenek masih berpikir positif, tetapi ketika kau menyusul mereka, Nenek tidak bisa lagi"
Aku menghambur ke pelukan Nenek yang paling aku sayangi
"Nek.." aku memanggil Nenek perlahan dan alhasil air mataku lolos lagi
"Ya cucuku sayang?"
"Apabila memang begitu, aku senang karena aku kembali" Aku memeluk Nenek semakin erat
Biarlah. Aku tidak peduli ini benar atau salah. Aku percaya Nenek. Sekarang, aku hanya ingin menikmati waktuku bersama Nenek.
Proses aku hidup kembali bukanlah menjadi urusanku sekarang.Â
Aku hanya sayang Nenek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H