Pada tempat kau terakhir berada
Ternyata memang tak jauh berbeda
Karena jejak masih tertinggal jelas
Walau raga memang telah kandas
Air mataku sudah kering kerontang
Tetapi lukaku masih basah melintang
Rasa sakit kuat menerjang
Mencaciku kuat menghantamku berang
Ketika malaikat maut menangkup
Bolehkah aku menjadi penyusup?
Membunuh segala rantai takdir
Walau aku yang akan jadi akhir
Kau adalah bunga indah yang mekar
Pada awal bulan Desember
Namun tiba-tiba gugur
Tanpa adanya puji dan syukur
Aku memang sudah sedikit gila
Rasaku pahit tanpa gula
Aku tidak perlu dibela
Hanya butuh cinta yang menyala
Apabila aku berteriak membangkang pada semesta
Akankah aku jadi abu yang menyapa?
Bukti bahwa aku masih memperjuangkanmu
Dengan hasil yang akan jadi semu
Aku mencengkram tanah yang melahapmu
Kuat sekali sampai aku memutih
Sampai tubuhku menjadi ringkih
Sampai ragaku hilang menjadi buih
Sadarkah kau?
Sekarang aku kosong melompong
Menggertak gigi ku hingga ompong
Karena aku terbakar hingga menerjang
Aku sudah hilang dari radar
Karena sekarang aku sadar
Malaikat maut tak hanya mengambil nyawamu
Tetapi juga mencuri jantungku
Raunganku tidak meluluhkan siapapun
Roda berputar dan turut menghimpun
Segala sakit yang kurasa tanpa kenal ampun
Aku terjerembab dan tersungkur pelan
Sekarang siapa yang harus bertanggung jawab?
Semesta atau kah kamu?
Aku meminta pertanggung jawaban
Atas pencurian jantungku
Bersama tangis yang akhirnya menjadi perlu
Ruang jantungku telah menjadi kosong
Siapakah yang bisa mengisi?
Karena sekarang aku membuat puisi
Pertanda aku dihujam frustasi
Tolong aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H