Bulan belum pernah merasakan kehilangan apapun, tetapi yang ia tahu bahwa ketika hari terakhir bumi ini berpijak di alam semesta, maka ia akan turut menyaksikan semuanya musnah, termasuk dirinya. Lagi-lagi, ia tak tahu seberapa mengoyak rasa sakit hati yang dialami manusia.
"Aku lihat kau selalu penasaran dengan emosi manusia? Mengapa?" Langit bertanya padaku, ia sudah menjadi sahabatku yang kupercayai selama aku membantu memberikan cahaya untuk bumi
"Aku terkadang penasaran, manusia memiliki perasaan yang rumit. Terkadang terlihat sedih kemudian terlihat senang, atau sebaliknya."
"Intinya, manusia itu makhluk yang rumit dan Sang Pencipta adalah maha adil."
Tak berapa lama, Bulan melihat lelaki itu berjalan ke arah rumahnya yang tak jauh dari taman tersebut. Ketika dibuka pintu rumahnya, tampak anak remaja menyambut kehadirannya dan memeluknya erat
"Remaja itu adalah anaknya. Lelaki itu masih ada kebahagiaannya. Sudah kubilang, Sang Pencipta itu adil."
Bulan mengangguk. Tak jauh dari rumah lelaki itu, tampak sepasang suami-istri sedang bertengkar hebat. Bulan menerangkan cahayanya untuk melihat dari jendela pasangan itu. Sang suami berteriak kencang tetapi sang istri juga tampaknya tak ingin mengalah
"Sudahlah Bulan. Jangan terlalu membuat dirimu bingung. Manusia adalah makhluk yang diciptakan serupa dengan Sang Pencipta dan merupakan perwujudan dari makhluk paling sempurna di semesta ini. Maka, manusia adalah makhluk yang selalu dapat membuat keputusan dari apapun yang diperbuatnya," Langit memberi penjelasan
"Aku masih kurang mengerti."
"Maksudku, pasangan ini. Seperti kataku, karena manusia adalah perwujudan makhluk sempurna yang diberi akal budi dan hati nurani. Maka dari itu, manusia adalah makhluk yang dapat menentukan keputusannya."
"Ya, aku selalu melihat bahwa manusia adalah makhluk yang dapat melakukan apa saja. Aku sedikit iri."