Mohon tunggu...
Cerpen

Nista

15 September 2017   20:20 Diperbarui: 15 September 2017   20:24 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang 'Demi Tuhan' bukan mantra sakti mandraguna pemanggil hujan batu, tetapi di tengah-tengah benteng amarah membara sosok-sosok berjubah putih itu adalah putra mahkota yang terdakwa berzinah. Nista. Najis. Dan beberapa pekan mendatang raja akan menuding siapa penerus nan layak memegang kendali atas hidupnya ibu kota.

Asoe. Dari namanya kita tahu bahwa sang putra mahkota berasal dari suatu negri nun jauh di sana. Bukan peranakan kandung dalam negri. Mungkin sejak bayi merah dititipkan liong ke nusantara, sebab sebagaimana diceritakan kitab-kitab dari negrinya, bahwa liong mendatangkan kekuatan tak tertandingi bagi mereka yang memilikinya. Ya, tengoklah sekelilingmu, selama masa baktinya dia telah mendatangkan hujan di tengah-tengah kemarau berkepanjangan, mengaliri sungai-sungai hingga musim panen sudi mampir di ibu kota yang mulai berangsur layak menjadi tuan rumah penyambut mancanegara.

Oh, tentu bagaikan langit bumi jika Asoe disandingkan dengan Agung! Dialah putra kandung raja berdarah murni. Tetapi orang yang punya mata, telinga, hati, serta akal sehat tahu Agung okang-okang kaki dan hobi makan koin emas rakyat ; kalau dia sampai peras keringat ya paling-paling buat mengubur tai emasnya itu. Sudah jelas toh rakyat condong ke siapa?  

Tempo hari, terjadilah malam laknat yang menjadi biang kerok segalanya. Ketika Asoe menyusuri jalan seorang diri, dinaungi awan yang sedang kembung kebanyakan minum hingga kencingnya banyak kali mengguyur bumi, dan kentutnya dahsyat yang melayangkan serakan dedaunan di jalan dengan sekali hembus. Orang-orang terbirit-birit cari teduhan sebab tak mau ikut sakit bersama awan. Sungai jadi-jadian meluap di pinggiran kota, sesekali tai sungguhan berlayar di permukaannya.

Pemandangan selokan mampet tentunya cukup untuk bikin panas mata Asoe, terlepas angin malam merembeskan dingin ke kulitnya. "Asem si kepala dinas kebersihan! Mana tim buat bersihkan selokan yang janji situ kirim siang tadi?! Lihat besok, kursinya di kantor saya buat korek selokan. Biar sekalian saya copot dia!" geram Asoe. Ya, dia memang anti sama manusia-manusia OmDo, alias omong doang. Buatnya yang penting aksi bukan janji. Maka tidak jelas copot apa yang dimaksud di sini. Bisa jadi copot jabatan, copot gaji, copot kaki, copot tangan, copot mata... terserah. Tapi ini negri bukan negri biadab, sudah kenal yang namanya Hak Asasi Manusia dan ada UUD menjamin; lagi pula malam sudah terlampau pekat untuk menjalankan praktek mutilasi; genderuwo dan kuntilanak pasti sedang gahar-gaharnya cari lauk buat hidangan kawinan mereka sehingga bisa-bisa potongan-potongan tubuh itu diperebutkan di kuburan se- RT --kalau kuburan memang punya RT. Keenakan nanti setan-setan itu tak kerja dapat jatah!

Jadi Asoe berpikir mending cepat cari hotel terdekat sebelum dirinya sempat makan orang, sebab alam mimpi sudah menagih kunjungan setelah seharian ditinggal kerja, dan rasanya rumah bermil-mil tambah jaraknya bila hujan badai datang. Dia pun mempercepat langkah tanpa peduli celana makin lepek seiring hentakan kaki. Pokoknya lebih cepat sampai kasur lebih baik. Titik.

Tiba-tiba...

Apa gerangan itu?!

Jangan-jangan genderuwo yang sedang mengintai mangsa di balik bayang-bayang pekat gurita? Atau mungkin... penyamun dengan sembilah pedang siap penggal leher? Belum pasti. Apa sajalah yang nampaknya meringkuk dan menggoyang-goyang sesemakan sama sekali tak bikin Asoe gentar, pergerakan dari balik semak yang amat janggal untuk dianggap kucing kawin justru menggelitik penasarannya.  Selangkah mendekati... dua langkah... tiga langkah....  hua!

"Non, ngapain kamu malam-malam begini? Memangnya tidak kedinginan, tidak dicari bapak ibukmu?"

Alih-alih disantap genderuwo atau dimatikan penyamun, Asoe malah mendapati sesosok gadis. Meski gelap amat gurita dan hujan menjalari wajahnya, Asoe tahu paras si gadis elok sebenarnya jika kotor tidak melekat pada dirinya. Belia, barangkali belum genap dua puluh; mata bundar, hidung bangir, bibir penuh, dan basah melengketkan gaun di tubuh si gadis hingga semakin kentara sintalnya. Iba menjalari batin Asoe, melenyapkan berahi bila memang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun