Seminggu terakhir ini beredar viral di medsos tentang penggusuran kuburan tua di Woloan, termasuk stasiun TVRI turut menyiarkan berita tersebut. Singkat cerita, masyarakat adat mengecam pembongkaran kuburan tua, sementara pihak pemerintah kota malah terkesan kasak-kusuk berkilah bahwa sudah ada rencana untuk memindahkan kuburan tua tersebut, dan akan disosialisakan kepada masyarakat. Rupanya sosialisasi itu belum dilaksanakan atau sudah dilaksanakan tapi terbatas yang mengetahui atau apa yang sesungguhnya terjadi?
Sebatas info yang didapat, nampaknya antar orang Woloan sendiri, baik yang masih tinggal di wilayah itu maupun mereka yg sudah merantau di tanah seberang, berbeda info yang diperoleh dan apalagi tentu saja punya tanggapan yang beragam.
Bagi mereka yang bisa menerima alasan pembongkaran itu tentu punya alasan tertentu dan bisa jadi sejalan dengan yang ada di dalam kepala mereka yang direpresetasikan oleh para aktor di balik aksi tersebut, dalam hal ini pihak pemerintah kota Tomohon.
Bagi yang menolak bahkan mengecam rencana aksi tersebut tentu juga punya alasan, dan kiranya bukan sekedar karena belum mendapat sosialisasi dari pihak otoritas dan terkait. Tapi memang ada yang menolak semata karena belum mendapat sosialisasi, yang mana diandaikan sudah tercapai kesepakatan untuk membongkar kuburan tua itu setelah proses pertimbangan oleh pemerintah tersebut, dan diandaikan sudah melibatkan paling kurang dan sepenuhnya beberapa representasi stake holder setempat, para tetua dan tokoh masyarakat termasuk adat, dengan alasan ekonomi atau pembangunan infrastruktur atau fasilitas umum lainnya, dst. yang dianggap perlu, penting, dan bahkan mendesak.
Nah, jika demikian, bahwa penolakan ini terjadi karena sekedar tak ada sosialisasi yang cukup bagi seluruh pemangku kepentingan belaka, maka pertanyaannya di sisi lainnya, bagaimana dengan mereka yang samasekali tetap menolak alasan apapun pembongkaran kuburan tua tersebut, misalnya mereka lebih mementingkan sejarah dan nilai hormat pada leluhur di atas segala penilaian di atas.Pada titik dimana ada dua pihak dengan segala varian dan gradasi alasannya tersebut, kita bertanya tentang nilai budaya orang Minahasa dalam hal membuat analisa, penilaian, dan keputusan atau strategi menyikapi dan membuat solusi bahkan terobosan atas persoalan atau apa yang dihadapi tersebut.
Misalnya dari sisi aktor dan sistem, apa artinya seorang pimpinan dan di tengah masyarakat Minahasa? Riset doktoral mengenai individu dan komunitas budaya Minahasa di Tombulu yang telah lulus uji di Universitas Leiden, Belanda, membuktikan bahwa seorang pemimpin (tona'as) terlahir atau muncul dari kelompok komunalnya (matuari), dan keunggulan pribadi pemimpin diimbangi oleh pemimpin lainnya bahkan dalam dan bersama komunalitasnya. (Lihat PR Renwarin, Mahkaria, 2018). Ada dinamika timbal balik yang tak terpisahkan dan saling mempengaruhi. Seperti juga terdapat dalam semboyan Si Tou Timou Tumou Tou, yang secara etik filosofis bahwa agar menjadi manusia, seseorang harus memanusiakan orang lain. (Ibid.) Dan lebih lengkap lagi dinyatakan bahwa manusia individu terlahir untuk berproses menjadi manusia utuh sepenuhnya untuk mampu menghidupkan tunas manusia lainnya (Lihat Boseke, PDHLM, 2018, 2024). Hakikat perintah memanusiakan orang lain itu harus dan hanya mungkin bila dimulai dari proses internal individu menjadi atau mencapai keutuhan diri sepenuhnya, dan itu berlangsung dalam keluarga dan komunitasnya, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Proses menjadi manusia utuh dan perintah etik untuk menghidupkan atau memanusiakan sesama ini menjadi salah satu dasar dan arah nilai aktivitas sosial manusia Minahasa, termasuk dalam hal mengatur interaksi sosialnya antara yang memimpin dan yang dipimpin, dari oleh untuk rakyat itu yang kita kenal dengan nama demokrasi atau pemerintahan berdasarkan kekuasaan rakyat yang memberi legitimasi.
Dan menarik juga seorang peneliti bernama M. Brouwer memberikan tesisnya bahwa demokrasi sudah dikenal lama di tanah Minahasa, melalui pemerintahan walak. (Lihat Benni E. Matindas dalam Kata Pengantar buku Weliam H. Boseke, Pahlawan-Pahlawan Dinasti Han Leluhur Minahasa, Yogya, 2024). Dimanakah sikap demokratis orang Minahasa kalau yang terjadi adalah pemerintah boleh mengambil keputusan sendiri, apalagi terkait situs budaya leluhur dan hal-hal yang layak dihormati dan bahkan dilestarikan? Â
Sejak Prof. Brouwer mengkonstanta demokrasi masyarakat Minahasa sudah ada jauh sebelum negara-negara demokratis modern berdiri, dan jauh para intelektual Minahasa membicarakannya, BEM sudah sering menulis dan membicarakan fakta fenomenal pemerintahan walak ini di hadapan publik. Bahkan pernah diungkapkannya dengan nada ironis bercampur sinis di hadapan kaum intelektual dan pegiat budaya: apakah benar orang Minahasa paham demokrasi dalam arti pemerintahan rakyat demi untuk nilai dan tujuan asasinya? Coba anda-anda buktikan saja! Ini terpaksa diungkapkannya ketika dalam suatu kajian tentang seorang filsuf, malah peserta seminar berlomba berbicara licin dan banyak busanya tentang warisan demokrasi Minahasa, yang menjadi sekedar kebanggaan menggelikan sampai memuakan, karena di saat yang sama mereka bungkam atas segala macam prilaku elit politik dan pemerintah yang abai akan hak dan tuntutan masyarakat, termasuk dukungan atau pembiaran mereka terhadap merajalelanya praktik politik dinasti dan politik identitas semu, termasuk terjebak dalam lingkaran transaksi suara elektoral dan segala macam bentuk pragmatisme politik di tanah Minahasa dan Sulawesi Utara pada umumnya.
Nada ironis dan sindiran BEM di atas atas salah satu cara bisa kita pakai untuk mengkritisi pemkot Tomohon dan para pemangku kepentingan di tanah adat leluhur Minahasa khususnya dalam kasus penggusuran situs kuburan tua Woloan tersebut. Tiadanya sosialisasi, bahkan kemungkinan tidak adanya partisipasi yang cukup masyarakat dan para tokoh adat dan intelektual terkait keputusan penggusuran kuburan tua tersebut, menunjukkan sekali lagi sebuah kemerosotan nilai demokratis yang sudah pernah menjadi praksis hidup leluhur Minahasa di zaman lampau sebelum kolonial datang lalu disambung dengan sistem pemerintahan negara republik Indonesia sejak awal dengan sentralisme yang makin menguat hingga sekarang kendati pernah ada praktik negara federal dan perjuangan otonomi yang lebih luas seperti cita-cita Permesta.Â
Pusat dan daerah masih tetap menganga jarak akses dan pembangunannya. Menjadi ironis pangkat tujuh karena demokrasi ala leluhur yang telah menghasilkan sebuah masyarakat yang dinamis dengan begitu banyak tokoh yang menasional bahkan mendunia, nilai dan praktik tinggi itu tiada lagi berdaya bahkan masih antar warga dan di wilayah adat sendiri.
Iya, bahkan sekedar mempertimbangkan hak beradanya pusara-pusara tersebut, misalnya dengan alasan bahwa tempat itu telah menjadi situs bersejarah bagi kampung tersebut. Situs semacam itu bahkan terpelihara di pelbagai tempat, misalnya ada banyak dinamai dengan indah penuh kebanggan sebagai 'taman makam pahlawan'. Pun, bila dianggap lebih benar baik berguna situs tersebut direlokasi, tetap mesti melewati kriteria adat yang masih berlaku, yakni membuat ritual adat dengan disaksikan tokoh agama yang turut meminta petunjuk entahkah keputusan pemindahan itu mendapat restu dan tanda dari alam semesta, dan dengan cara bagaimana itu diperlakukan atau dipindahkan.Â
Kira-kira demikian solusi akhir yang bijak dari tokoh adat, Franky Wehantou (liputan TVRI). Nah, kalau tidak diperoleh tanda-tanda dan restu alam rohani dan semesta, seturut ritual adat yang masih diyakini, apa yang mesti dibuat adalah mengembalikan situs seperti semula apa adanya, dan ini sejalan dengan tokoh masyarakat adat, Noldy Kapoh, yang menyayangkan tindakan pemkot tersebut dan meminta pertanggungjawaban atas kerusakan yang sudah ditimbulkan.
Bagaimana bentuk pertanggungjawabannya? Nah, lagi-lagi prinsip demokratis leluhur dengan nilai kemanusiaan dan nilai spiritualitas terkait pengakuan eksistensial atas para pendahulu, dalam makna historis, adalah pahlawan pada zamannya, bahkan bila pusara mereka tidak kentara atau memang tidak beridentitas lagi, sebagaimana ada banyak waruga yang lebih tua tidak bernama dan tanpa tanggal serta keterangan apapun, tak seperti pusara modern yang terawat dan terhormat pada tempatnya itu layak berada dan diperlakukan.
Masih dalam suasana agustusan proklamasi kemerdekaan, kita mengenang para pendahulu dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan sekitar tahun 1945, bisakah situs kuburan tua itu dimaknai sebagai saksi nyata pernah ada orang-orang yang pernah menjadi leluhur pendahulu pendiri kampung tersebut? Memang mereka bukanlah pahlawan nasional tapi pada hakikatnya mereka pernah melakoni kehidupan mereka sebagai pahlawan kampung dan atau pahlawan keluarganya masing-masing, paling tidak jelas dari nama marga yang ada di batu-batu nisan tersebut, sebagai penanda identitas diri yang pernah diakui oleh orangtua atau oma opa sampai kakek buyut mereka yg sekarang umumnya mendiami wilayah tersebit atau bahkan yang sudah berlayar di tempat jauh.
Bila mengambil perbandingan dengan beberapa pekuburan di kampung-kampung tertentu di wilayah Minahasa lainnya,situs kuburan tua Woloan itu justru termasuk bukti bahwa di suatu masa, masyarakat mempunyai adab menghormati leluhur yang telah lebih dulu mendirikan dan membangun kampung halaman. Orang Woloan terbukti pernah mempertahankan kuburan tersebut sesuai apa adanya, lalu karena memang sudah penuh, dan mesti dicari lokasi baru. Sementara di beberapa desa, apalagi di perkotaan, ada banyak kuburan tua yang sudah menerapkan praktik "kanibal", yakni kuburan tua apalagi yang tak pernah dipelihara keluarganya lagi mulai ditimpa dengan nisan baru, bahkan sampai 3 susun karena lahan pekuburan tak pernah diperluas lagi, tak pernah disediakan lahan baru.
Sebenarnya sudah banyak praktik sah membuat kuburan secara bertingkat secara modern, bisa saja menjadi inspirasi untuk mengatasi kekurangan lahan kuburan. Tapi secara tradisi, Minahasa hanya mengenal satu lubang satu jenasah kan ya? Merujuk pada kuburan waruga sebagai kuburan kuno para leluhur Minahasa. Dan kiranya orang Woloan masih mengikuti tradisi para pendahulu yang bernilai luhur tersebut. Urusan orang mati mau tak mau adalah urusan orang yang masih hidup memang, karena mereka memang tak bisa lagi mengurus dirinya sendiri. Fakta ada waruga dengan pelbagai macam bentuknya tersebar di pelbagai wilayah di tanah Minahasa memperlihatkan adanya tradisi penghormatan pada mereka yang sudah meninggal sebagaimana umumnya juga di masyarakat budaya dunia.
Namun sekali lagi, peristiwa penggusuran situs kuburan tua Woloan ini meningatkan kita ada beberapa perlakuan semena-mena atas kuburan kuno. Bahkan ketidakhormatan itu sudah cukup lama terjadi, manakala pernah ditemukan di bawah satu waruga ditemukan tulang belulang dari beberapa orang, yang bagi BEM adalah sebuah fakta pelanggaran nilai budaya yang menjunjung tinggi manusia bahkan sampai ke liang lahat. Di zaman modern, atas nama pembangunan bendungan dan waduk, kompleks waruga di Sawangan direlokasi secara serampangan yang tak profesional sehingga banyak nisan yang rusak. Bahkan sangat mungkin kompleks waruga itu sendiri adalah salah satu bentuk kecerobohan atau ketidakpahaman, manakala semua waruga itu sendiri dikumpulkan dari mana-mana secara massal, dan itu berarti membongkarnya dan memindahkannya dari situs di mana waruga itu berada sejak awal.
Bisa jadi mengumpulkan pusara2 kuno tak bernama tersebut dan menempatkannya dalam satu lokasi pernah dianggap sebuah kebijakan untuk pelestarian, dan mungkin dianggap sebuah prestasi tersendiri pada saat itu, akan tetapi ironis bila justru kehilangan jejak dan konteksnya. Seolah mau diperlihatkan bahwa leluhur kuno Minahasa sudah punya kompleks pekuburan yang jumlahnya banyak, rapih dan teratur, sebagaimana kompleks pekuburan orang modern yang tersusun rapih. Bukankah relokasi ini adalah suatu bentuk manipulasi kalau bukan kreativitas yang kebablasan tidak pada tempatnya? Katakanlah itu benar baik berguna mesti dipindah dalam satu kompleks, apakah ada laporan terinci terkait dari mana setiap waruga itu diperoleh, sebagaimana para arkeolog dan kolektor memperlakukan barang-barang kuno dan mencatatnya masing-masing dengan teliti dan rapih. Entahlah data itu tersimpan dimana kalau ada?
Lagi-lagi apakah atas nama penghematan pemeliharaan dan pelestarian warisan artefak budaya, dan sekaligus demi pertunjukan bagi para wisatawan sehingga mesti ada relokasi massal waruga tersebut? Bandingkan situs-situs kuno megalitik wujud manusia di wilayah pegunungan Napu, kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, yang dibiarkan tetap pada situsnya masing-masing, tersebar banyak di banyak lokasi, kendati masih dengan intervensi pemeliharaan seadanya (waktu itu saya saksikan langsung di tempatnya pada peralihan milenium, tahun 1999), namun rasa-rasanya itu masih lebih benar baik dan indah, dan bisa dipertanggungjawabkan secara akal sehat daripada itu dipindahkan tapi malah kehilangan jejak situsnya dan konteks lingkungan alamnya, selain juga pertimbangan kerusakan pada saat itu dipindahkan dengan tak mengindahkan prinsip kehati-hatian atas keaslian dan keutuhan benda2 yang sangat bernilai tersebut.
Oh weta ndoon kinajadianku,...adalah penggalan awal sebuah lagu Minahasa tutur Tonsea yang banyak dinyanyikan orang Minahasa diaspora. Artinya sendiri adalah ungkapan betapa kasihan atau patut disayangkan, dan nadanya memang melankolis alias sendi pilu, apalagi karena teks selanjutnya berkisah tentang situasi perpisahan yang memang menyedihkan dimana hanya akan ada rindu yang  memisahkan seolah tak pernah bisa kembali lagi. Itulah yang saya pribadi rasakan suatu waktu saat berlabuh di dermaga Bitung pertengahan tahun 1992.Â
Sampai suatu waktu setelah mengenal brur Wely Boseke sejak saya ikut mendorong terbitnya hasil karya temuannya pada tahun 2018. Saya punya pandangan dan perasaan berbeda 180 derajat menyanyikan lagu tersebut, karena arti frase tersebut sesungguhnya dengan monosilabel Han berubah menjadi bernuansa puji dan syukur, yaitu "Ooo betapa agung dan mulia" tanah tempat lahirku, tumpah darahku, tali pusarku ditanam, sebagai simbol bahwa kemanapun aku pergi tali kehidupan itu tersambung terus di rumah dan kampung halaman sendiri, dan sebisanya kembali dan menghembuskan nafas akhir dimana nafas itu pertama dimulai, paling tidak bisa dikubur di tempat kelahiran sendiri.
Teintu tentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H