Iya, bahkan sekedar mempertimbangkan hak beradanya pusara-pusara tersebut, misalnya dengan alasan bahwa tempat itu telah menjadi situs bersejarah bagi kampung tersebut. Situs semacam itu bahkan terpelihara di pelbagai tempat, misalnya ada banyak dinamai dengan indah penuh kebanggan sebagai 'taman makam pahlawan'. Pun, bila dianggap lebih benar baik berguna situs tersebut direlokasi, tetap mesti melewati kriteria adat yang masih berlaku, yakni membuat ritual adat dengan disaksikan tokoh agama yang turut meminta petunjuk entahkah keputusan pemindahan itu mendapat restu dan tanda dari alam semesta, dan dengan cara bagaimana itu diperlakukan atau dipindahkan.Â
Kira-kira demikian solusi akhir yang bijak dari tokoh adat, Franky Wehantou (liputan TVRI). Nah, kalau tidak diperoleh tanda-tanda dan restu alam rohani dan semesta, seturut ritual adat yang masih diyakini, apa yang mesti dibuat adalah mengembalikan situs seperti semula apa adanya, dan ini sejalan dengan tokoh masyarakat adat, Noldy Kapoh, yang menyayangkan tindakan pemkot tersebut dan meminta pertanggungjawaban atas kerusakan yang sudah ditimbulkan.
Bagaimana bentuk pertanggungjawabannya? Nah, lagi-lagi prinsip demokratis leluhur dengan nilai kemanusiaan dan nilai spiritualitas terkait pengakuan eksistensial atas para pendahulu, dalam makna historis, adalah pahlawan pada zamannya, bahkan bila pusara mereka tidak kentara atau memang tidak beridentitas lagi, sebagaimana ada banyak waruga yang lebih tua tidak bernama dan tanpa tanggal serta keterangan apapun, tak seperti pusara modern yang terawat dan terhormat pada tempatnya itu layak berada dan diperlakukan.
Masih dalam suasana agustusan proklamasi kemerdekaan, kita mengenang para pendahulu dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan sekitar tahun 1945, bisakah situs kuburan tua itu dimaknai sebagai saksi nyata pernah ada orang-orang yang pernah menjadi leluhur pendahulu pendiri kampung tersebut? Memang mereka bukanlah pahlawan nasional tapi pada hakikatnya mereka pernah melakoni kehidupan mereka sebagai pahlawan kampung dan atau pahlawan keluarganya masing-masing, paling tidak jelas dari nama marga yang ada di batu-batu nisan tersebut, sebagai penanda identitas diri yang pernah diakui oleh orangtua atau oma opa sampai kakek buyut mereka yg sekarang umumnya mendiami wilayah tersebit atau bahkan yang sudah berlayar di tempat jauh.
Bila mengambil perbandingan dengan beberapa pekuburan di kampung-kampung tertentu di wilayah Minahasa lainnya,situs kuburan tua Woloan itu justru termasuk bukti bahwa di suatu masa, masyarakat mempunyai adab menghormati leluhur yang telah lebih dulu mendirikan dan membangun kampung halaman. Orang Woloan terbukti pernah mempertahankan kuburan tersebut sesuai apa adanya, lalu karena memang sudah penuh, dan mesti dicari lokasi baru. Sementara di beberapa desa, apalagi di perkotaan, ada banyak kuburan tua yang sudah menerapkan praktik "kanibal", yakni kuburan tua apalagi yang tak pernah dipelihara keluarganya lagi mulai ditimpa dengan nisan baru, bahkan sampai 3 susun karena lahan pekuburan tak pernah diperluas lagi, tak pernah disediakan lahan baru.
Sebenarnya sudah banyak praktik sah membuat kuburan secara bertingkat secara modern, bisa saja menjadi inspirasi untuk mengatasi kekurangan lahan kuburan. Tapi secara tradisi, Minahasa hanya mengenal satu lubang satu jenasah kan ya? Merujuk pada kuburan waruga sebagai kuburan kuno para leluhur Minahasa. Dan kiranya orang Woloan masih mengikuti tradisi para pendahulu yang bernilai luhur tersebut. Urusan orang mati mau tak mau adalah urusan orang yang masih hidup memang, karena mereka memang tak bisa lagi mengurus dirinya sendiri. Fakta ada waruga dengan pelbagai macam bentuknya tersebar di pelbagai wilayah di tanah Minahasa memperlihatkan adanya tradisi penghormatan pada mereka yang sudah meninggal sebagaimana umumnya juga di masyarakat budaya dunia.
Namun sekali lagi, peristiwa penggusuran situs kuburan tua Woloan ini meningatkan kita ada beberapa perlakuan semena-mena atas kuburan kuno. Bahkan ketidakhormatan itu sudah cukup lama terjadi, manakala pernah ditemukan di bawah satu waruga ditemukan tulang belulang dari beberapa orang, yang bagi BEM adalah sebuah fakta pelanggaran nilai budaya yang menjunjung tinggi manusia bahkan sampai ke liang lahat. Di zaman modern, atas nama pembangunan bendungan dan waduk, kompleks waruga di Sawangan direlokasi secara serampangan yang tak profesional sehingga banyak nisan yang rusak. Bahkan sangat mungkin kompleks waruga itu sendiri adalah salah satu bentuk kecerobohan atau ketidakpahaman, manakala semua waruga itu sendiri dikumpulkan dari mana-mana secara massal, dan itu berarti membongkarnya dan memindahkannya dari situs di mana waruga itu berada sejak awal.
Bisa jadi mengumpulkan pusara2 kuno tak bernama tersebut dan menempatkannya dalam satu lokasi pernah dianggap sebuah kebijakan untuk pelestarian, dan mungkin dianggap sebuah prestasi tersendiri pada saat itu, akan tetapi ironis bila justru kehilangan jejak dan konteksnya. Seolah mau diperlihatkan bahwa leluhur kuno Minahasa sudah punya kompleks pekuburan yang jumlahnya banyak, rapih dan teratur, sebagaimana kompleks pekuburan orang modern yang tersusun rapih. Bukankah relokasi ini adalah suatu bentuk manipulasi kalau bukan kreativitas yang kebablasan tidak pada tempatnya? Katakanlah itu benar baik berguna mesti dipindah dalam satu kompleks, apakah ada laporan terinci terkait dari mana setiap waruga itu diperoleh, sebagaimana para arkeolog dan kolektor memperlakukan barang-barang kuno dan mencatatnya masing-masing dengan teliti dan rapih. Entahlah data itu tersimpan dimana kalau ada?
Lagi-lagi apakah atas nama penghematan pemeliharaan dan pelestarian warisan artefak budaya, dan sekaligus demi pertunjukan bagi para wisatawan sehingga mesti ada relokasi massal waruga tersebut? Bandingkan situs-situs kuno megalitik wujud manusia di wilayah pegunungan Napu, kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, yang dibiarkan tetap pada situsnya masing-masing, tersebar banyak di banyak lokasi, kendati masih dengan intervensi pemeliharaan seadanya (waktu itu saya saksikan langsung di tempatnya pada peralihan milenium, tahun 1999), namun rasa-rasanya itu masih lebih benar baik dan indah, dan bisa dipertanggungjawabkan secara akal sehat daripada itu dipindahkan tapi malah kehilangan jejak situsnya dan konteks lingkungan alamnya, selain juga pertimbangan kerusakan pada saat itu dipindahkan dengan tak mengindahkan prinsip kehati-hatian atas keaslian dan keutuhan benda2 yang sangat bernilai tersebut.
Oh weta ndoon kinajadianku,...adalah penggalan awal sebuah lagu Minahasa tutur Tonsea yang banyak dinyanyikan orang Minahasa diaspora. Artinya sendiri adalah ungkapan betapa kasihan atau patut disayangkan, dan nadanya memang melankolis alias sendi pilu, apalagi karena teks selanjutnya berkisah tentang situasi perpisahan yang memang menyedihkan dimana hanya akan ada rindu yang  memisahkan seolah tak pernah bisa kembali lagi. Itulah yang saya pribadi rasakan suatu waktu saat berlabuh di dermaga Bitung pertengahan tahun 1992.Â
Sampai suatu waktu setelah mengenal brur Wely Boseke sejak saya ikut mendorong terbitnya hasil karya temuannya pada tahun 2018. Saya punya pandangan dan perasaan berbeda 180 derajat menyanyikan lagu tersebut, karena arti frase tersebut sesungguhnya dengan monosilabel Han berubah menjadi bernuansa puji dan syukur, yaitu "Ooo betapa agung dan mulia" tanah tempat lahirku, tumpah darahku, tali pusarku ditanam, sebagai simbol bahwa kemanapun aku pergi tali kehidupan itu tersambung terus di rumah dan kampung halaman sendiri, dan sebisanya kembali dan menghembuskan nafas akhir dimana nafas itu pertama dimulai, paling tidak bisa dikubur di tempat kelahiran sendiri.