Ini menarik karena pastor Tiro lahir dan besar di luar tanah budaya Minahasa. Dia lahir di Jakarta, bersekolah di sana, lalu lanjut di Kanada saat SMA, kemudian kuliah di Amerika Serikat dalam ilmu antropologi, akhirnya kemudian setelah bekerja dan memiliki uang dan kemapanan hidup lalu memutuskan masuk ke dalam keheningan dan batas tembok kebiaraan bahkan sebagai calon imam Yesuit, dan pada tanggal 31 Juli 2024 ditahbiskan bersama 3 yesuit temannya oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubyatmoko.
Serikat Yesuit sendiri adalah tarekat dunia yang besar dan mempunyai sejarah panjang dalam katolisisme yang turut membaharui dan memurnikan gereja dari dalam, ia menjadi salah satu pilar yang mempersiapkan calon-calon misionaris yang lebih terdidik secara militan, dan termasuk yang dikenal paling terkemuka dalam hal pendirian lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang berpengaruh bagi masyarakat umum. Nampaknya Tarekat SJ inilah yang terutama meletakkan fondasi bagi pribumi Katolik di beberapa daerah pelayanan di Nusantara. Lalu fokus mereka pada dunia pelayanan kategorial selain pastoral parokial di tanah Jawa, kiranya yang menjadi salah satu alasan strategis untuk menyerahkan pelayanan teritorial pastoral kepada tarekat MSC pada tahun 1920 untuk wilayah Sulawesi misalnya, dan kepada tarekat lainnya di pelbagai pelosok nusantara pada tahun-tahun lainnya.
Ungkapan kesadaran diri seorang Yesuit ini sebagai tou atau manusia Minahasa tentu punya banyak dimensinya, dan bisa dalam tafsir atau analisis tertentu dalam kadar emosi dan kognisinya.Â
Apakah benar pastor Tiro sebagai Yesuit pertama asal Minahasa, seperti disinyalir dengan nada tanya oleh pater rektor seminarinya dalam sambutan singkatnya. Terjawab sudah, karena ternyata ada pastor Yesuit lebih senior, yakni Pater Tandean SJ, yang ditahbiskan tahun 1967 dan meninggal tahun 2019 sebelum pandemi Covid. (https://manado.tribunnews.com/2019/09/21/in-memoriam-pater-fransiskus-xaverius-tandean-sj-jesuit-kelahiran-manado) Pastor yesuit kedua adalah Pater Nico Dumais SJ yang ditahbiskan tahun 1969 dan meninggal tahun 2019 juga sebelum pandemi covid melanda dunia.
Bahkan menjadi Minahasa tidak cukup hanya berdasar darah keturunan, bisa juga hanya karena lahir dan besar di tanah Minahasa, ada anak asuh keluarga Minahasa, bahkan hanya karena bersekolah dan berkuliah di lingkungan yang dipengaruhi kebiasaan dan budaya Minahasa, misalnya ada cukup banyak calon imam asal Kei dan Tanimbar menyebut Minahasa sebagai "tanah leluhur kedua", sebagai kampung halaman yang penuh kenangan karena menjadi tempat mengalami kelahiran secara mental fisik intelektual spritual selama paling kurang sekitar ca. 7 tahun di tempat pembinaan Seminari Pineleng.
Bagaimanapun juga pernyataan Pastor Tiro di atas makin menarik karena sebagai seorang sarjana Antropologi sebelum dia masuk seminari sebagai calon imam, tentu ungkapan identitas tersebut punya makna dan bobot tertentu, setidaknya secara psiko-antropologis.
Dua hal saya angkat di sini. Pertama, pengakuan itu diungkapkannya terkait fakta bahwa dialah sebagai Pastor Yesuit berdarah Minahasa di tengah mayoritas orang Jawa yang menjadi anggotanya, dan karena terhubung dengan tarekat Yesuit (Belanda) yang pertama kembali datang menghidupkan kembali iman Katolik di tanah Minahasa, setelah lama hilang sejak jejak akhir imam-imam Spanyol dan Portugis sebelum VOC.
Kedua, bisa juga terkait dengan kisah-kisah romantik ibunya sendiri yang nampak sangat punya kesan mendalam tentang sosial budaya Minahasa khususnya selama masa kecil yang indah penuh kenangan, termasuk pengalaman masa kecil sang ibu saat berjumpa dengan umat paroki di gereja Tataaran yang menjadi pusat paroki sampai Tondano dan sekitar. Dikisahkan bahwa setelah misa umat keluar gereja dengan wajah yang penuh ketenangan saleh sedemikian, yang bahkan ternyata menjadi dasar yang kuat sang ibu untuk menjadi warga Katolik semasa bersekolah di Jakarta, tentu dengan ijin dari orangtua sendiri. Sementara kakak-kakak tetap sebagai beragama seperti orangtua, sebagai orang Protestan yang setia dan saleh, bahkan dari keluarganya ada yang menjadi Muslim yang taat. Kekerabatan dan persahabatan keluarga mereka nampak rukun damai saja, antara lain dibuktikan dengan sokongan dan hormat satu sama lain, bahkan sampai banyak yang hadir dalam acara-acara misa perdana dan ramah tama di Tataaran dan Langowan.
Demikian, sedikit uraian siapakah leluhur Minahasa secara khusus terkait ungkapan Pastor Yesuit berdarah Minahasa dan dalam rangka menyambut buku kedua Weliam H. Boseke tentang asal usul leluhur Minahasa dengan dua tanggapan dari dua akademisi dan intelektual yang terkemuka sesuai bidangnya yang kebetulan juga berdarah Minahasa.
Apa artinya nasab atau silsilah darah keturunan dan atau asal usul tempat kelahiran, kalau tidak mencerminkan nilai-nilai dari sebuah idealitas dan tujuan etik spiritual perkauman tersebut. Bagaimanapun juga, lepas dari penilaian etis moral spiritual dan eksistensialnya, genealogi seorang manusia itu netral dan terberi secara alamiah, apapun agama dan keyakinannya, profesi dan pekerjaan, dan status sosial lainnya yang bisa dipilih dan diciptakan sendiri. Dan selanjutnya, apapun kekurangan moral dan keterbatasan eksistensialnya, namun secara kodrati manusia adalah makhkuk ciptaan yang mulia dan fitriah bahkan secitra dengan sang Pencipta sendiri. (Lih. Paus Fransiskus, Dignitas Infinita)
Taintu teintu.