Selamat Jalan Tonaas Benny Tengker, engkau telah mengakhiri pertandingan di dunia fana ini. Sore ini pas hari Minggu engkau telah dimakamkan secara mulia dengan harapan akan janji Tuhan sendiri akan kehidupan mulia kekal. Jumat, 28 Agustus 2020 engkau menghadap sang Pencipta maharahim, kasih setiaNya abadi.Â
Siapa tou kawanua tak kenal Benny Tengker? Masing-masing tou Minahasa di tanah perantauan (pasengkotan) khususnya Jabodetabek pernah bertemu atau sekedar mendengar nama dan kiprahnya bagi orang Kawanua entah dalam kekawanuaan maupun kemasyarakatan pada umumnya, dalam bidang pendidikan dan olahraga khususnya.Â
BenTeng, singkatan nama yang suka dipakai orang, tentu ada kisah dan alasan. Masyarakat adat Minahasa menggelari almarhum Tonaas Tua Wangko Papendangan terutama karena jasanya dalam bidang pendidikan.Â
Masing-masing orang yang mengenal langsung tak langsung tokoh yang lugas dan egaliter ini punya pengalaman khas sendiri. Ada yang bisa mengungkapkan secara tertulis dalam akun medsos, dan lebih banyak yang kiranya hanya dalam monolog batiniah dan kenangan dengan kesannya sendiri.
Saya sendiri belum banyak mengenal langsung beliau secara dekat, namun cukup tahu  bahwa betapa banyak orang yang menokohkan dan mengungkapkan berhutang budi padanya. Ya memang dari penampilan fisik lahiriah, Benteng sudah gagah secara alamiah, lebih lagi cara sikap dan tindaknya sebagaimana nyata dalam relasi dan karya nyata beliau yang monumental dalam bidang pendidikan dan olahraga khususnya. Mungkin pohon flamboyan, bunga yang bisa mewakili sosok ketokohannya sebagai Tonaas Wangko Papendangan.
Layaknya seorang bintang film kesohor bagi para pengagumnya, Benny mungkin lebih banyak dikenal sebagai barol atau pembawa peran protagonist, walau yang tidak selalu menang dan dimenangkan tapi sudah pasti selalu di jalan kebenaran dan kebaikan, jalan hidup yang menjadi naluri manusiawi terdalam dan paling menentukan. Oleh para peneliti dan pemikir, itulah yang membedakan tindakan manusia dan manusiawi bahkan ilahiah yang tidak ada atau tak sama dengan binatang dan makhluk vegetatif sebesar dan sebagus apapun. Â
Ada cukup banyak kesempatan saya menyaksikan kehadiran sosok yang sudah banyak berjasa ini, sebagaimana diuraikan dalam curriculum vitae almarhum. Namun hanya beberapa kali bisa kenal dekat dan intens dengannya, dan yang paling membuatku terkesan adalah cara bicaranya yang khas, tanpa banyak basa basi atau kesungkanan yang mentah dan basi.
"Kita so senang skrang, kal perlu kita so boleh mati. Makase Wely. Kase pende jo toh. Torang pe nenek moyang nyanda... (seperti yang dikisahkan dalam mitos manusia pertama Minahasa), pokoknya nyanda beking malo pa torang keturunan. Bukang mama deng anak. Titik!" Kira-kira demikian komentarnya dalam bedah buku tentang Leluhur Minahasa dan Penguasa Dinasti Han, karya Weliam Boseke (Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2018) yang diadakan di ruang Rie-rie Kampus IBM ASMI Jakarta.
Ungkapan dan penegasan itu membuat saya tertegun memandang sejenak gentar sekaligus takjub pada sosok ini. Juga saat dicerna sekilas betapa berbobot dan menariknya isi pernyataan dalam kemasan yang dibawakannya dalam bahasa Melayu-Manado yang kental dengan nada yang khas dialek Tondano, penuh percaya diri dan blak-blakan, yang bagi orang yang tak paham mungkin bisa merasa direndahkan atau ditantang untuk berkelahi oleh si pembicara.
Namun Benteng membawakannya secara elegan dengan tone yang berwibawa yang tak bisa tidak mesti menerima dan setuju apa yang hendak dikomunikasikan, seolah Benny mengatakan "Sei reen..." siapa dan model manusia apakah tou Minahasa itu, tak lain adalah manusia yang sangat sadar diri dan menjunjung etik moral pribadi dan dalam komunalitasnya, bahkan sebelum agama-agama dan kebijakan etik pendidikan kolonial Barat itu datang di tanah Shemalesung, negeri elok dan indah tempat pengungsian secara tak sengaja dan sekaligus membangun impian leluhur Minahasa, sebagaimana dikisahkan dalam syair kuno Zazanian Ni Karema.
Maka kalau orang Minahasa di perantauan dalam perkaumannya yang (pernah) masyur dan solid, Mahesaesaan itu, bertanya siapakah Benny Tengker?
Jawaban singkat padat yang pas, mungkin salah satunya: sungguh Tonaas, the Real Tonaas (lihat Benni E. Matindas dalam Cakrawala Sulut, Benny Tengker Sang Tonaas Sejati, 1997), sebagaimana dipahami, dirayakan, dan dihidupi oleh se Matuari sebagai komunitas kultural Minahasa sejak eksis di bumi Tu Uxin Dao Na (tanah tempat tiba dengan tak sengaja) bahkan masih dalam pra bayangan mereka di negeri jauh pada zaman perang tiga kerajaan, San Guo/Sam Kok pads abad ketiga Masehi.
Sejauh mana kebenaran faktual identitas Leluhur Minahasa khususnya dalam nilai dan semangat ketonaasan (keunggulan individual) dan kematuarian (komunalitas persaudaraan), tak berlebihan untuk mencari tahu dalam dan melalui sosok Benny Tengker dan kiprahnya bersama tou Kawanua yang hari ini melepaskannya menuju tanah damai dan sejahtera selamanya.
Requiescat In Pace, Tonaas BenTeng, menuju kehidupan kekal.#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H