Mohon tunggu...
Stefi Rengkuan
Stefi Rengkuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Lahir di Tataaran, desa di dekat Danau Tondano, Minahasa. Pernah jadi guru bantu di SD, lalu lanjut studi di STFSP, lalu bekerja di "Belakang Tanah" PP Aru, lalu di Palu, dan terakhir di Jakarta dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berani Berpolemik, Kekirian Kekananan, dari Prof. Magnis-Suseno? !

21 Juli 2020   09:23 Diperbarui: 28 Juli 2020   21:21 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu buku Prof. Magnis-Suseno

Membaca tulisan Coen Huzain Pontoh "Surat Kepada Romo Franz Magnis-Suseno" (IndoProgress, 20/7/2020), saya terkesan dan mengirimkan tulisannya itu ke grup, dengan catatan saya bahwa tulisan bung Coen ini tajam dan berani...Namun demikian ketajaman sebuah tulisan belum tentu sungguh bisa membedah dengan tepat sasaran, apalagi seluruh tubuh dari sosok dan pemikiran serta kiprah sang Profesor. 

Dan setelah saya membaca tulisan "Komunisme Memang Gagal" (Kompas 9/7/2020) yang dikritik itu, saya kemudian jadi membuat tulisan yang berusaha menunjukkan point kritik yang mestinya menjadi fokus Coen, supaya tidak terkesan "kesurupan" atau terjebak pada trauma dan perspektif tertentu.

Ketajamannya mungkin lebih terasa sembilu yang mengganggu telinga daripada ketepatgunaannya menuntaskan analisa dan argumennya. Tapi kalau memang tujuan tanggapan itu sekedar mencari sensasi dan perhatian tertentu, ya boleh juga diandaikaan bahwa bung Coen berhasil membuat mereka yang pernah menjadi mahasiswa sang Profesor itu menjadi berpikir, ada apa dengan Tap MPRS itu?

Saya bisa membayangkan para mahasiswa itu akan lebih dulu mengkritisi kata-kata dan frase bernada seperti sembilu mengiris kebanggaan sebagai murid, bila saja mereka menuruti perasaan apalagi sekedar rasa bangga dan semacam rasa berhutang ilmu dengan si Profesor.

Walau saya bukan mahasiswa yang pernah mengikuti kuliah-kuliah Prof Magnis, namun saya punya beberapa buku beliau. Salah satunya buku tentang Karl Marx, dan bukunya memang pernah dilarang beredar di masa Orba, walau terus beredar secara gelap rupanya dalam bentuk stensilan di kalangan mahasiswa waktu itu. 

Saat zaman Reformasi bergulir, buku itu beredar luas lagi, dan beberapa tahun lalu pernah digrebek oleh sekelompok ormas di beberapa toko buku karena karyanya itu dianggap menyebarkan pemikiran Marxis yang dianggap sama dengan menyebarkan paham komunisme bahkan identik dengan antek partai terlarang zaman Orba itu, PKI.

Dari satu buku terbitan itu saja, jelas satu hal bahwa Prof. Magnis tidak seperti dibayangkan bung Pontoh, bahwa dia mengajar dengan "mubazir" saja karena para mahasiswa hanya dilatih dengan pemikiran yang terseleksi dalam arti yang "cari aman" saja, bahkan yang membuat mereka "penakut dan anti ilmu pengetahuan".

Jadi, kesimpulan yang ditarik bung Pontoh terkait fungsi akademis romo menjadi mubazir sebagai dosen filsafat, ini jelas sangat bertolak belakang dengan Magnis Suseno yang dalam hal penerbitan saja telah menghasilkan publikasi ratusan artikel dan puluhan buku filsafat (kritis).

Namun, kalau mau adil dan jujur, mari kita kembali ke inti yang mestinya menjadi fokus kritik bung Coen, yang menurut saya justru di poin itu bobot rasional dan nilai yang patut didiskusikan dengan lebih tenang, bukan dengan gaya provokatif yang rupanya menjadi ciri kaum kritis yang kekirian, bisa juga yang kekananan, asal bukan menjadi "kekanakan" seperti sindirian Gus Dur kepada lembaga terhormat DPR seolah menjadi sekelas Taman Kanak-Kanak pada saat itu semua gonjang ganjing dan polemik berakhir dengan pemakzulan sang Presiden oleh MPR.

Prof. Magnis sendiri memberi dua analisis mengapa Presiden Abdurahman Wahid waktu itu berencana menghapus Tap MPRS itu, bahwa memang isu PKI sudah tak relevan dan terutama demi menghapus stigma kejam bagi para korban dan keturunannya. 

Dan sambil mengajak untuk kita bangsa menyelesaikan stigma kejam ini, Magnis meneruskan lagi argumen mengapa Tap MPRS itu tak mesti dicabut, karena menurutnya itu mempunyai kekuatan simbolis penting. "Pertama, dengan menetapkan bahwa bagi PKI tidak ada tempat lagi di Indonesia, TAP itu mengakhiri suatu keterpecahan bangsa, yang meledak dalam Gerakan 30 September. Kedua, ideologi PKI adalah Marxisme-Leninisme, dan salah satu unsur Marxisme-Leninisme adalah ateisme".

Dua argumen Magnis ini dihadapkan dengan dua argumen Coen. "TAP MPRS No. XXV/1966 itu tidak hanya menghabisi tubuh rakyat sebangsa, melainkan juga membunuh pemikiran generasi-generasi berikutnya hingga sekarang."

Jelas Bung Coen sendiri tidak menganalisa lebih lanjut dua argumen sang Profesor itu, malah langsung menyodorkan alasan sebaliknya itu. Toh, dua alasan kontra yang diajukan Coen sesungguhnya tidak menjawab dua argumen Magnis, melainkan hanya berupaya menunjukkan akibat lain dari pemberlakuan Tap MPRS itu. Apakah argumen Coen otomatis menelanjangi argumen Magnis, kiranya mesti dijelaskan lebih lanjut daripada sekedar diandaikan. Malah Bung Coen lagi-lagi sudah jatuh pada kesimpulan bahwa argumen Magnis tiada nilai sama sekali. "...Pernyataan Romo tersebut adalah sebuah pernyataan polemis (dengan argumentasi yang nihil)."

Padahal justru pada poin inilah, Bung Pontoh mestinya fokus untuk menyoroti argumen Magnis. Buktikanlah dua argumen itu apa adanya dan bahwa itu keliru. 

Tak usah takut berpolemik untuk menyingkap sebuah kekeliruan dan tunjukkan kebenarannya, dan tak mesti merasa dan menuduh seolah Magnis telah sengaja sedang memasang jebakan bagi para pengkritiknya untuk berhadap-hadapan dengan para pembully dari kaum ideologis dan fanatics tertentu, yang memang anti wacana dan anti kritik dan hanya mengenal dan mengklaim kebenaran sepihak sendiri.

Sayang sekali, terkesan jadinya dua argumen Coen hanya meninggalkan warna hitam kecoklatan dari sebuah kertas tipis dengan luasan yang sangat terbatas saja dari apa yang hendak dikritik, dan sebaliknya malah justru membakar argumen dan konstruksi buatan sendiri, karena memang tidak pas diarahkan kepada argumen artikel, apalagi keseluruhan diri Magnis sebagai profesor filsafat bahkan sebagai rohaniawan. Karena jelas Bung Coen terjebak dengan asumsi bahwa Romo Magnis telah tidak peduli dengan para korban kekerasan, termasuk tak becus membangun wacana teori dan praksis berdemokrasi bahkan di kampus akademis.

Akan tetap elok bila Coen fokus pada aju argumen tentang alasan rasional pencabutan Tap MPRS itu (yang sudah dimulai dengan dua argumen itu) dan mengapa alasan yang dikemukakan oleh Prof. Magnis itu mengandung cacat bahkan kekeliruan yang fatal, tanpa mesti takut berpolemik apalagi mesti menuduh dengan membuat tautologi traumatisasi dan stigmatisasi kejam itu yang sesungguhnya menjadi arah perjuangan dan kritik sang Profesor terhormat dan rohaniwan yang halus budi bahasanya karena mendalami filsafat Jawa klasik.

Di sisi lain, kita berharap Prof. Magnis tetap memberikan penjelasan lanjut mengenai argumen komunisme sudah gagal dan terlebih mengapa TAP itu disebut simbolik yang penting karena itu tak harus dicabut, mengingat konteks sejarah kekejaman yang diangkat dan langsung dituduhkan Coen itu punya dasar yang tak sepele saja, karena menjadi luka dalam kemanusiaan dan sejarah negara bangsa Indonesia, terutama dengan semakin terbukanya pelbagai cerita dan analisa penyingkapan sejarah kebenaran yang tragis dan ironis seputar kejadian Gerakan 30 September yang melatari TAP MPRS itu. 

Tak usah diragukan rasa kemanusiaan Prof. Magnis, tapi benarkah TAP itu telah mengakhiri keterpecahan bangsa atau malah hanya menambah luka menganga yang justru banyak dikritik terlalu dipaksakan? Paling tidak cerita rezim Orba yang menjadi pemenang dan rujukan satu-satunya selama 30 tahun itu memang bukan tanpa kritik khusus terkait kasus-kasus kekerasan dan kekejaman militer maupun sipil terhadap hak asasi manusia, ya manipulasi nilai kemanusiaan itu, yang rupanya menjadi penyebab rapuhnya penerapan sistem demokrasi Pancasila itu dalam kesadaran berbangsa dan bernegara. 

Bila tidak dijawab oleh Prof. Magnis sendiri, maka tuduhan-tuduhan terarah dan bernada emosional bung Coen tersebut malah hanya menciptakan keruncingan baru dari kaum kritis kiri maupun kanan untuk merongrong dan menyerang Pemerintahan Joko Widodo dengan NKRI yang justru hendak dibela oleh tulisan Romo Magnis. 

Ini bukan sekedar menjadi busuk dan berbau, lalu kemudian diharapkan akan berproses menjadi kompos penyubur pohon demokrasi Pancasila, malah berbahaya menjadi racun anorganik yang akan terus mengotori halaman maupun seisi rumah keIndonesiaan dengan ciri keTuhanan dan Kemanusiaan itu yang menjadi dua tiang utama dari idealitas dan wujud persatuan, musyawarah, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia, tanpa terkecuali. #stefir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun