Dua argumen Magnis ini dihadapkan dengan dua argumen Coen. "TAP MPRS No. XXV/1966 itu tidak hanya menghabisi tubuh rakyat sebangsa, melainkan juga membunuh pemikiran generasi-generasi berikutnya hingga sekarang."
Jelas Bung Coen sendiri tidak menganalisa lebih lanjut dua argumen sang Profesor itu, malah langsung menyodorkan alasan sebaliknya itu. Toh, dua alasan kontra yang diajukan Coen sesungguhnya tidak menjawab dua argumen Magnis, melainkan hanya berupaya menunjukkan akibat lain dari pemberlakuan Tap MPRS itu. Apakah argumen Coen otomatis menelanjangi argumen Magnis, kiranya mesti dijelaskan lebih lanjut daripada sekedar diandaikan. Malah Bung Coen lagi-lagi sudah jatuh pada kesimpulan bahwa argumen Magnis tiada nilai sama sekali. "...Pernyataan Romo tersebut adalah sebuah pernyataan polemis (dengan argumentasi yang nihil)."
Padahal justru pada poin inilah, Bung Pontoh mestinya fokus untuk menyoroti argumen Magnis. Buktikanlah dua argumen itu apa adanya dan bahwa itu keliru.Â
Tak usah takut berpolemik untuk menyingkap sebuah kekeliruan dan tunjukkan kebenarannya, dan tak mesti merasa dan menuduh seolah Magnis telah sengaja sedang memasang jebakan bagi para pengkritiknya untuk berhadap-hadapan dengan para pembully dari kaum ideologis dan fanatics tertentu, yang memang anti wacana dan anti kritik dan hanya mengenal dan mengklaim kebenaran sepihak sendiri.
Sayang sekali, terkesan jadinya dua argumen Coen hanya meninggalkan warna hitam kecoklatan dari sebuah kertas tipis dengan luasan yang sangat terbatas saja dari apa yang hendak dikritik, dan sebaliknya malah justru membakar argumen dan konstruksi buatan sendiri, karena memang tidak pas diarahkan kepada argumen artikel, apalagi keseluruhan diri Magnis sebagai profesor filsafat bahkan sebagai rohaniawan. Karena jelas Bung Coen terjebak dengan asumsi bahwa Romo Magnis telah tidak peduli dengan para korban kekerasan, termasuk tak becus membangun wacana teori dan praksis berdemokrasi bahkan di kampus akademis.
Akan tetap elok bila Coen fokus pada aju argumen tentang alasan rasional pencabutan Tap MPRS itu (yang sudah dimulai dengan dua argumen itu) dan mengapa alasan yang dikemukakan oleh Prof. Magnis itu mengandung cacat bahkan kekeliruan yang fatal, tanpa mesti takut berpolemik apalagi mesti menuduh dengan membuat tautologi traumatisasi dan stigmatisasi kejam itu yang sesungguhnya menjadi arah perjuangan dan kritik sang Profesor terhormat dan rohaniwan yang halus budi bahasanya karena mendalami filsafat Jawa klasik.
Di sisi lain, kita berharap Prof. Magnis tetap memberikan penjelasan lanjut mengenai argumen komunisme sudah gagal dan terlebih mengapa TAP itu disebut simbolik yang penting karena itu tak harus dicabut, mengingat konteks sejarah kekejaman yang diangkat dan langsung dituduhkan Coen itu punya dasar yang tak sepele saja, karena menjadi luka dalam kemanusiaan dan sejarah negara bangsa Indonesia, terutama dengan semakin terbukanya pelbagai cerita dan analisa penyingkapan sejarah kebenaran yang tragis dan ironis seputar kejadian Gerakan 30 September yang melatari TAP MPRS itu.Â
Tak usah diragukan rasa kemanusiaan Prof. Magnis, tapi benarkah TAP itu telah mengakhiri keterpecahan bangsa atau malah hanya menambah luka menganga yang justru banyak dikritik terlalu dipaksakan? Paling tidak cerita rezim Orba yang menjadi pemenang dan rujukan satu-satunya selama 30 tahun itu memang bukan tanpa kritik khusus terkait kasus-kasus kekerasan dan kekejaman militer maupun sipil terhadap hak asasi manusia, ya manipulasi nilai kemanusiaan itu, yang rupanya menjadi penyebab rapuhnya penerapan sistem demokrasi Pancasila itu dalam kesadaran berbangsa dan bernegara.Â
Bila tidak dijawab oleh Prof. Magnis sendiri, maka tuduhan-tuduhan terarah dan bernada emosional bung Coen tersebut malah hanya menciptakan keruncingan baru dari kaum kritis kiri maupun kanan untuk merongrong dan menyerang Pemerintahan Joko Widodo dengan NKRI yang justru hendak dibela oleh tulisan Romo Magnis.Â
Ini bukan sekedar menjadi busuk dan berbau, lalu kemudian diharapkan akan berproses menjadi kompos penyubur pohon demokrasi Pancasila, malah berbahaya menjadi racun anorganik yang akan terus mengotori halaman maupun seisi rumah keIndonesiaan dengan ciri keTuhanan dan Kemanusiaan itu yang menjadi dua tiang utama dari idealitas dan wujud persatuan, musyawarah, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia, tanpa terkecuali. #stefir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H