Hari ini jalanan kompleks di depan rumah sudah mulai ramai lalu lalang karyawan dari perkantoran jalan utama, terutama jelang sembahyang Jumat berjamaah saudara beragama Islam. Kemarin saya pas buka WhatsApp, sudah dikirim Senin tapi baru sempat buka Kamis malam, dari seorang pastor di Paroki pedalaman Keuskupan Ruteng NTT, isinya beberapa foto peristiwa ibadah misa umat pertama kali di gereja Paroki itu dengan protokol ala Normal Baru atau di Jakarta sudah menjadi istilah PSBB Transisi yang diperpanjang sampai akhir Juni.Karena si covid-19 masih mengancam tapi ritual normal mesti tetap jalan, maka perlu beradaptasi dengan kebiasaan baru: cuci tangan di kran-kran yang baru dibuat di halaman gereja, pengecekan suhu badan oleh petugas yg memakai face shield dengan alat tes yang diarahkan ke dahi masing-masing warga yang menutup pipi mulut hidungnya dengan masker kain atau berbahan scuba. Lalu ada foto di dalam gedung gereja, umat duduk dengan jarak yg longgar di bangku panjang polos menampakkan hanya maksimal seperdua daya tampung bangku terisi, yang mungkin mesti mengubah jadwal misa mingguan rutin dari satu menjadi dua, dua menjadi empat, dst... Â
Apa yang sedang terjadi di masa normal ala new normal atau transisi menuju normal ini?
Sudah banyak deskripsi dan analisa dari pelbagai ilmu dan perspektif pengalaman indrawi maupun batiniah spiritual.
Dari dua fenomena aktual di atas, menjadi jelas bahwa kehadiran fisik secara sosial ternyata tetap menjadi hal yang penting walau ada pembatasan kontak fisik dalam kegiatan bersama atau yang melibatkan banyak orang itu. Ibadah di rumah sendiri dan bersama keluarga dirasa tak cukup, juga ibadah dari dan melalui virtual yang diedarkan lewat jaringan tv maupun online medsos tetap bukan pilihan tetap.
Yang saya amati dengan diriku sendiri adalah kesadaran bahwa tiba-tiba saja hidup sekitarku terasa menjadi ramai kembali. Sekitar 3 bulan dengan program kerja, ibadah, berolahraga dan berkontak di dan dari rumah memang membuatku merasa ada hal yang samasekali lain, kendati saya termasuk tipe yang lebih suka tinggal di rumah dan malas berkegiatan di luar.
 Bagaimana tipe dan pengalamanmu sendiri? Dalam peristiwa ramai baru mulai ini, saya langsung terbayang dan membayangkan ramai sudah segera dan sedang diawali dan terus berlanjut, kembali seperti hari-hari biasanya sebelum virus ini mewabah.
Covid-19 ini telah meninggalkan pesan dalam kesadaran maupun alam bawah sadar umat manusia untuk waspada dan menghipnosis dengan perintah tinggallah di rumah, jangan banyak berbuat kegiatan-kegiatan yang bisa membahayakanmu langsung maupun tak langsung, sekarang dan akan datang, bagimu sendiri dan keluargamu di rumah, maupun seluruh desa dan kotamu, seluruh bangsa manusia di mana saja, di alam terbuka dan tersambung satu sama lain dalam bumi semesta ini. Makin disadari makin manusia siap dan proses adaptasi fisik sosial dimulai dari batiniah bila ada kemauan dan usaha untuk mencangkul lebih dalam dan mengolah dunia batiniah ini.
Entahkah ungkapan yang saya tuangkan secara tertulis di atas dengan daya nalar dan reflektif ini adalah bayangan atau kenyataan adalah juga mewakili apa yang dipikirkan dan dialami dan diolah oleh orang lain? Sudah pasti, atas cara dan momen tertentu, masing-masing setiap makhluk berpikir dan berindera itu punya kisahnya sendiri. Semua tidak lepas dari keterhubungannya dengan diri dan dunia di sekitarnya dan bagaimana dia berkontak, bereaksi dan beraksi, atau berelasi dengannya dalam segala bidang dan level, macro sampai micro bahkan ukuran paling kecil termasuk ukuran virus corona yang tak kasat mata ini pun masih bisa dibelah sampai ukuran inti.
Selasa 16 Juni pekan ini Dojo (tempat berlatih dan beritual karate) kami di DLight Mandala sudah mulai latihan perdana sejak berhenti 3 bulan lalu. Pimpinan Pusat WKO (World Karate Organization) Shinkyokushinkai Indonesia  sendiri sudah mengeluarkan protokol khusus latihan dalam Dojo mengikuti aturan umum protokol Normal Baru dari pemerintah. Salah satu protokol dari pusat perguruan menegaskan bahwa "kiay" (teriakan yg berpusat di kekuatan chi di bagian perut) boleh dilakukan sekali saja setelah sepuluh hitungan melakukan gerakan dasar (kihon), dan dengan volume lebih kecil dengan mulut cenderung ditutup. Kumite (duel) yang mesti full body contact ditiadakan dan hanya dibuat kumite bayangan saja, dan masih banyak lagi rincian detail yg mesti diperhatikan.
 Tapi latihan bersama untuk memanfaatkan kebijakan new normal di Dojo ini mulai dipertimbangkan lagi untuk dihentikan karena adanya larangan atau berupa anjuran dari instansi lembaga kementerian olahraga bahwa jenis kegiatan olahraga bersama tertentu dipending dahulu, antara lain olah raga Karate. Walau larangan ini diterbitkan di Singapura, tapi bisa menjadi referensi penting bagi organisasi kami yang bersifat internasional dan berpusat di Jepang. Dalam dunia Karate sendiri khusus dalam pertandingan dikenal sistem non cantact (kumpul point) dan sistem contact bahkan full body contact (point mutlak diperoleh dengan efek paling menyakiti pihak lawan seperti KO) yang dianut oleh Karate aliran Kyokushin yg didirikan oleh Sosai Masutatsu Oyama. Tetapi kedua sistem ini tetap umumnya secara mendasar bersifat melibatkan kontak fisik karena kebersamaannya dalam latihan di dojo.
Ada banyak pandangan hidup berubah termasuk pandangan beragama dan berolahraga dalam hal ritual rutin saja sudah berubah walau dikatakan sementara saja atau mendapat dispensasi karena keadaan darurat demi nilai yang lebih besar adalah hidup itu sendiri yang normalnya mesti (selalu siap) sehat segar dan bersemangat, ya ungkapan laboratorium medis: terkontrol dalam keseimbangan tertentu!
Apakah perubahan itu sendiri menunjuk pada hal-hal substansial dari sebuah kegiatan, misalnya dalam kegiatan ritual keagamaan apakah doa bersama hadir secara fisik itu wajib hukumnya? Ritual itu sendiri pastilah atau bukanlah hal yang esensial dalam hidup beragama? Bahkan apakah agama itu sendiri bagian utama dari jati diri masyarakat manusia yang tanpa itu manusia tak bisa bertahan dan selamat di dunia ini? Apa yang membedakan orang yang selalu murni dan setia menyebut nama Tuhan Tuhan...serta bergantung total padaNya, menjadi lebih benar dan baik di hadapan Tuhan daripada yang samasekali tidak percaya pd Tuhan tetapi hidup murni, setia, dan mencukupi dirinya sendiri dalam ketergantungan satu sama lain dengan lingkungan sosial dan lingkungan alamnya? Â
Dalam dunia Karate aliran "Kyokushin" (kebenaran atau melampaui batas tertinggi) yang saya ikuti 5 tahun terakhir ini cukup jelas dibedakan latihan atau ritual fisik sebagai bagian dari ungkapan dan pembentukan nilai terdalam dari fisik Karate itu. Inti terdalam dari Karate terletak pada semangat Budo yakni mental Karate itu sendiri. Fisik dan mental Karate ini baru mulai (awal) terbentuk setelah seorang anggota berlatih 1.000 kali yang setara dengan 3 tahun latihan terus menerus disertai dengan pembacaan dan pemahaman ajaran teknik dan filosofi serta kisah sang Pendiri dengan meditasi dalam kesepian dan ketenangan, yang ditandai dengan ujian dan penganugerahan sabuk hitam strep satu, dan seterusnya makin tinggi tingkat makin lama dan tinggi tuntutannya, walau fisik mulai menurun tapi justru Budo Karate yang makin mantap itulah harapan ideal seorang Karate penganut aliran Kyokushin sejati.
Tentu ada banyak unsur dan aspek yg mesti diurai supaya jelas urat kecil dan urat besarnya yang semuanya dalam satu kesatuan organik tak terpisahkan untuk sehat segar kuatnya, baik benar dan berfungsinya sebuah ritual bahkan tubuh keagamaan atau praktik aliran karate dalam kehidupan individu dan komunitas masyarakat itu sendiri.
Dalam dunia ideologi dan filsafat dengan mashab tertentu apakah ada yang mesti berubah? Misalnya dalam dunia ekonomi dunia dengan proses ketersediaan dan permintaan barang jasa yang sedang terganggu bahkan tak kurang yang sakit dan keok mendadak karena less contact bahkan non contact, apakah pasar bebas sebagai kunci emas ajaib memasuki kebebasan dan kemakmuran ala mashab Kapitalisme mesti ditempa ulang lebih murni supaya lebih berkilau mulia atau mesti dicampur supaya lebih kuat sekaligus masih ada unsur kemuliaannya? Apakah sosialisme kesejahteraan umum yang digerakkan oleh negara dan masyarakat akan menciptakan solidaritas sosial ekonomi yang berbasis pada prinsip keadilan akan makin menguat atau sekedar kedaruratan sementara saja yang nanti akan diambilalih segera sesudah normal ala normal baru dan normal sejati.
Ada banyak perspektif dan peristiwa dalam bingkai pribadi, mezzo, dan publik yang bisa direfleksikan sebagai bagian dari cara manusia hidup waras dan bermartabat yang ditandai dengan kesediaan untuk mengambil tanggungjawab terhadap apa yang sedang terjadi yg menuntut partisipasi sesuai kapasitas dan sikon manusia itu sendiri.
Kata kunci akhirnya adalah bukan semata ada pada si manusia sebagai pusat segala sesuatu karena dia hanyalah penghuni, tetapi si bumi alam semesta itu sendiri punya kuasa tersendiri atas penghuninya termasuk dan terutama si manusia. Rumah besar bumi ini sedang mengalami demam karena terluka dan meradang. Dia sedang mengalami apa yang dinamakan "pemanasan global" sebagai efek dari terganggunya keseimbangan dan kemampuan alam disebabkan oleh intervensi berlebihan sebagai konsekuensi dari perkembangan ilmu teknologi demi menuruti tuntutan kebutuhan dan keinginan tak terbatas manusia yang sesungguhnya (bila disederhanakan) sekarang  digerakkan oleh sebuah mashab yang bernama ekonomi kapitalistik itu, walau mashab lain sama saja dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk memuaskan massa yang tak puas dan serakah. Ada cukup banyak gugatan dari para pemikir penggerak zaman tentang penyimpangan dan efek tak tak terkontrol sistem tersebut. Dalam sejarah filsafat kuno sampai pencerahan dan modern/postmodern, seolah semua yang terjadi di dunia bisa dijelaskan secara rasional maupun rasional baru untuk melengkapi cara berpikir rasional yg teknis instrumentalis atau anti kemanusiaan dan ketuhanan, walaupun dengan segala kerumitannya.
Tentang perubahan iklim dan ancaman pemanasan global dan hancurnya planet bumi ini, apapun ideologi dan mashab berpikir yang dianut, apakah sungguh itu akan terus terjadi dalam arti akan tiba saatnya alam menyerah kalah dari intervensi kegilaan dan kerakusan masyarakat penghuninya sendiri? Atau sebaliknya, alam itu punya daya tahan sekaligus cara sendiri untuk memulihkan dirinya, misalnya dengan cara memusnahkan penghuni yang dianggap tidak cocok lagi tinggal di rumahnya, dengan bencana alam? Atau dengan bencana non alam seperti bakteri dan virus patologis, dan covid-19 ini adalah suatu langkah cerdas alam untuk mensiasati dan menghentikan pergerakan dan invasi manusia selama ini?
Dosen matakuliah Logika kami di tingkat Propadeuse dan Sejarah Gereja di tingkat Minor, Piet Tinangon, pernah mengangkat masalah pemanasan global, apakah tanda bumi sedang menuju kehancuran? Dia sendiri tidak percaya dan tak setuju dengan pendapat bahwa bumi bisa kolaps karena manusia atau penghuninya sendiri. Dia yakin bumi punya cara tersendiri untuk memulihkan dirinya.
Mungkin saja Ibu bumi dalam peristiwa pandemi ini dimaknai sebagai yang melahirkan trilyunan pasukan tak kelihatan untuk memaksa manusia berdamai dengan dirinya sendiri, untuk diam di rumah saja, untuk mengambil waktu bermenung secara berjamaah dan massal dari kelompok dan tempatnya masing-masing, untuk membuat janji dan sumpah suci dalam kontrak dan kontak relasional yang wajar dan proporsional demi harmoni manusia antar sesamanya dan masyarakat manusia dengan alam semesta.
Kesucian dan kemuliaan sang Pencipta bumi dan manusia serta segala isinya, dalam perspektif religius, memang terjamin bila orang mampu mengontrol jarak dan relasi antara yang suci dan sekuler, ada tramendum et fascinosum, rasa gentar dan takjub sekaligus yang membuat orang lebih patuh dan disiplin menghindari larangan untuk berbuat buruk dan menjalankan perintah bertindak baik, benar dan berguna dalam arti yang hakiki dan selaras dalam keutuhan yang paripurna.
/stefir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H