***
Menarik bahwa teman kita ini mengakhiri refleksi nya dengan menyitir tentang istilah manusiawi. Saya pertajam isi dan maksud teman ini dengan kalimat tanya imperatif: Manusia bertindak manusiawi dalam arti apa?
Saya jadi ingat analisis dari seorang teolog ahli psikologi, Prof. Hans Kwakman MSC, leboh 1/4 abad lalu tentang "salah kaprah" pemakaian istilah yang sangat mendasar ini. Manusia memaafkan kesalahan diri atau orang lain dengan pernyataan bahwa itu adalah manusiawi. Lebih ironis lagi menjadi kebiasaan bersembunyi di balik istilah itu untuk gampang dan spontan saja membenarkan semua tindakan salah yang sesungguhnya merendahkan martabat dirinya sebagai manusia.
Refleksi teman tentang istilah manusiawi yang sudah turun derajat itu memang dikaitkan kepada makna positif dan fitrah kebaikan manusia itu sendiri dan semua kebaikan yg mestinya menjadi sifatnya yang bahkan melampaui diri manusianya sendiri. Bukan istilah yang dikaitkan otomatis dengan hal-hal kekurangan bahkan kesalahan moral yang minta dimaklumi begitu saja. Bukan juga manusiawi dalam arti tindakan rata-rata orang biasa saja, seperti halnya anak kecil yang kadang bertindak spontan hanya menuntut demi dirinya bahkan lebih. Itu disebut egosentris dan masih wajar saja untuk perkembangan mental dan moral seorang anak yg sedang bertumbuh, akan tetapi mungkin bisa disebut egoistik kalau masih menjadi tabiat manusia berumur dan dewasa secara moral dan spiritual.
Sekolah swasta itu sudah berusaha berbuat konkret, walau mengalami kesulitan dan dilema untuk bisa bersikap bijak dan adil serta penuh kasih sebagaimana sifat manusia.
***
Bagaimana pengalaman sekolah lain atau perusahaan swasta yang lagi kesulitan omset dalam memperlakukan karyawannya? Bagaimana sikap karyawan sendiri? Apa yang sudah direncanakan dan dilaksanakan konkret?
Menarik hal bagaimana menerapkan bantuan atau diskon tepat sasaran dalam refleksi konteks sekolah ini bisa diproyeksikan dalam pelbagai program jaminan sosial bagi mereka yg terdampak covid-19 ini yang digelontorkan pemerintah pusat dan daerah, bahkan oleh banyak perusahaan dan lembaga swasta.
Bagaimana memastikan pemerataan keadilan tetapi juga prioritas kepada yg paling lemah?
Bagaimana memastikan lebih banyak level masyarakat yang terlibat dan dilibatkan menjadi sebuah gerakan tangan di atas (memberi) kepada mereka yang lebih membutuhkan?
Bagaimana memastikan tidak ada orang yang menyelewengkan dana bantuan tersebut? Alangkah ironis pangkat tujuh bila masih ada manusia yang mengambil hak orang yang berkekurangan demi kepuasan sendiri apalagi memperbesar pundi kekayaannya.
Semoga pemerintah dan masyarakat makin bersinergi untuk memanfaatkan segala sumber daya, bukan hanya finansial material tetapi lebih juga rasa prihatin dan solider kepada mereka yg lebih membutuhkan.
***