Mohon tunggu...
Stefani Sijabat
Stefani Sijabat Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tertarik degan isu-isu yang berkembang seputar sosial, hukum dan politik

menggemari topik-topik kontemporer di masyarkat urban. Blog https://dari-catatan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sisa Nafas Lembaga Anti Rasuah

14 September 2019   08:40 Diperbarui: 14 September 2019   08:48 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya berselang 6 hari sejak Rapat Paripurna DPR pada 5 september lalu, presiden menyatakan persetujuanya pada revisi undang-undang KPK di tanggal 11 september dengan beberapa poin yang tidak disetujui. 

Padahal presiden mempunyai waktu selama 60 hari untuk memutuskan hal tersebut berdasarkan undang-undang no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Presiden telah mengirimkan surat presiden (surpres) bernomor R-42/Pres/09/2019 terkait revisi UU KPK pada DPR pada Rabu 11 september. Dengan terbitnya surpres ini maka pemerintah setuju untuk membahas revisi UU KPK.

Setelah polemik calon pimpinan dan panitia seleksi KPK berkembang dalam beberapa bulan belakangan ini. Tidak hanya KPK, masyarakat pun bagai didera serangan jantung dari berita yang beredar.

Ya, tak ada berita apaun yang tersiar, tak ada isu apapun yang terdengar, undang-undang no. 30 tahun 2002 tentang KPK akan segera direvisi. Celakanya lagi undang-undang yang diinisiasi oleh DPR ini rencananya akan diselesaikan pada DPR periode ini. Tak cukup sampai disini, DPR periode ini akan segera berakhir hanya dalam beberapa minggu.

DPR periode ini boleh saja telah menyelesaikan 77 rancangan undang-undang dari 189 rancangan yang masuk di prolegnas, namun rancangan revisi undang-undang KPK tidak masuk di Prolegnas prioritas 2019. 

Boleh saja pula pihak terkait mengajukan undang-undang no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai acuan keadaan mendesak untuk dengan tiba-tiba melakukan revisi suatu undang-undang. Seperti yang tertulis pada pasal 23 ayat 2 :

(2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan 

b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

 Namun paling tidak sampai saat ini, belum ada keadaan mendesak seperti yang dimaksud pada pasal diatas, yang membuat DPR harus dengan tiba-tiba melakukan revisi pada undang-undang KPK.

Rasanya revisi undang-undang KPK ini hanya berputar pada DPR dan pemerintah saja. Pasalnya KPK, seperti yang dinyatakan oleh pimpinan KPK, Agus Raharjo bersama dengan Laode M Syarif dan (mantan pimpinan KPK) Saut Situmorang ditemani oleh juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengaku bahwasanya KPK tidak pernah mengetahui isi draft dari revisi undang-undang tersebut. 

Sebuah fakta yang mengejutkan bagi semua orang yang mendengarnya. Tidak diketahuinya isi draft revisi undang-undang KPK oleh KPK sendiri menjadi fakta menarik yang dalam artinya KPK tidak pernah diundang atau paling tidak dimintai pendapatnya oleh DPR untuk membahas perubahan ini.

Revisi ataupun perubahan dalam undang-undang memang sudah tidak mengejutkan lagi. Wajar adanya bila suatu undang-undang dilakukan perubahan dalam berbagai aspek bila dinilai undang-undang sebelumnya belum dengan penuh mencakup tujuan dari undang-undang yang dimaksud atau undang-undang tersebut dirasa tidak lagi bisa menjembatani kebutuhan masyarakat saat ini.

Dalam pembahasanyan revisi suatu undang-undang tak jauh beda rumitnya dengan membuat undang-undang itu sendiri. Pembuatan undang-undang oleh pembuatnya, yang dalam hal demokrasi ini adalah DPR, tidak saja membutuhkan kajian akademis lengkap untuk menunjang tapi juga keterlibatan pihak-pihak yang bersangkutan. 

Dalam hal ini, revisi undang-undang KPK, tentunya dengan terang KPK juga harus dilibatkan dan didengar pendapatnya. Namun sayang hal ini tidak terjadi pada revisi undang-undang ini.

Dalam hiruk pikuk dari polemik panitia seleksi calon pimpinan KPK yang diduga mempunyai konflik kepentingan dan beberapa calon pimpinan KPK saat itu yang diduga melakukan pelanggaran hukum serta pelanggaran kode etik, berita revisi undang-undang KPK pun tidak pernah terdengar. Ketika masyarakat sedang fokus pada kedua berita tersebut diatas, dalam senyap revisi undang-undang ini dilakukan.

Bukan hal yang baru memang bagi KPK untuk menerima serangan. Semenjak didirikanya lembaga anti rasuah ini 17 tahun lalu, tak pernah sepi kiranya KPK menerima serangan pelemahan lembaga ini. 

Dari wacana-wancana politik tentang kinerja, konflik dengan sesama penegak hukum yang pernah terjadi dalam kasus Cicak vs Buaya, permasalahan internal KPK sampai dengan kritik terhadap KPK yang dianggap terlalu "bebas" memberantas korupsi. Tidak hanya lembaganya saja yang menerima serangan namun juga masuk dalam ranah kehidupan pribadi orang-orang yang bekerja di dalamnya. 

Sebut saja kasus Antasari Azhar beberapa tahun lalu, perlakuan fisik terhadap beberapa penyidik KPK, rumah pribadi pimpinan KPK, Laode M Syarief, juga tak luput dari ancaman. Ancaman lain yang tak pernah diberitakan pada publik pun tidak terlupa.

Masyarakat pernah berharap pada pada panitia seleksi calon pimpinan KPK untuk dengan cermat dan independsi melakukan seleksi tersebut. Masyarakat pernah berharap pada presiden untuk semoga saja tidak menyetujui serangan sifat senyap revisi undang-undang KPK. Namun harapan KPK dan masyarakat pemerhati kasus korupsi mulai dihadapkan pada perasaan harap-harap cemas. 

Presiden memberikan persetujuan terhadap revisi undang-undang tersebut, walaupun dengan beberapa poin yang tidak disetujui namun tetap menimbulkan sakit hati pada para pendukung lembaga anti rasuah ini.

Lalu bagaimana nasib KPK kedepanya?. Setelah malam harinya dihari yang sama pada pagi hari presiden mengeluarkan penyataan tersebut, para pimpinan KPK menyatakan untuk meminta presiden melakukan tindakan penyelamatan. 

Dengan tidak disangka pernyataan juga keluar yang berisi menyerahkan tanggung jawab pengelolaan lembaga kembali ke presiden dan berharap bahwa presiden dapat mendengar suara lembaganya, para pimpinan KPK tersebut seakan hampir menyerah. Serangan bertubi-tubi pada tubuh KPK yang selama ini bisa dihadapi seakan dibuat lumpuh oleh serangan sifat senyap revisi ini.

Apa kemudian yang akan tersisa pada KPK? Bisakah lembaga anti rasuah ini bertahan pada sisa nafasnya?. Pemerintah, DPR dan pihak elit lainya boleh saja ngotot revisi sifat senyap ini diperlukan. Malah desakan tertib hukum di tunjukkan pada para pimpinan KPK yang mengeluarkan pernyataan tersebut diatas. 

Apakah kemudian tertib hukum juga tidak bisa diberikan pada proses revisi undang-undang KPK yang tiba-tiba ini? Bukankah seharusnya para pengambil keputusan mengenai revisi undang-undang ini juga harus melaksanakan tertib hukum dengan mengundang pihak-pihak yang berkaitan dalam pembahasan revisi undang-undang ini?.

Jakarta, 14 September 2019

Aritkel ini juga dipublikasikan di dari-catatan.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun