Flat. Datar. Monoton. Hanya itu-itu saja yang terjadi dan dilalui. Tak ada hal baru yang wah. Terkadang hidup memang seperti itu, aku mengakuinya. Kita selalu mengulang-ulang kesaharian yang sama tiap hari, begitu pula dengan aku. Seringkali tiap pulang sekolah aku memandang ke luar jendela mobil sambil memperhatikan kemacetan kota, dengan pengendara yang terus membunyikan klakson mereka. Pemandangan yang biasa saja, orang-orang selalu membenci macet, tak bisakah mereka terbiasa, setiap hari kan juga begini.
"Kencangkan volumenya." Pinta ku pada om supir.
"Eh, tapi kan ini iklan non, ngapain dengarin iklan?" Sama saja. Padahal tiap hari dia memutar siaran radio yang sama tapi belum juga mengerti.
Begitu iklan pertama selesai, dilanjutkan dengan iklan lainnya, lagu dari penyanyi yang kusuka dimainkan. Om supir seketika mengerti alasan mangapa aku meminta volumenya dinaikkan.
"Wah, kok non tau lagu ini bakal diputar?"
"Setiap tiga hari mereka selalu memutarnya. Selalu seperti itu seakan-akan tak ada lagu lain saja."
"Begitu-begitu non suka kan." Balas om sopir ramah.
Terserah. Aku tak peduli. Aku kemudian kembali menatap keluar jalanan macet yang sungguh menyesakkan itu. Seorang pengendara motor terlihat berusaha menerobos di sela-sela dua mobil yang berhimpitan. Salah satu dari mobil itu terlihat ingin menghindari pengendara motor di depannya, sedangkan yang satunya lagi mencoba melambungi mobil di depannya.
Motor itu terjepit di antara dua mobil dan BOOM! Pengendara motor itu terjatuh dan motornya yang sedang dalam kondisi tancap gas meluncur begitu saja. Para pengendara di sekitar syok, beberapa pengendara motor turun dari motornya untuk membantu pengendara yang terjatuh itu. Suasana semakin kacau, pengendara kedua mobil itu juga ikut turun untuk melihat korban. Akibat banyaknya pengendara yang meninggalkan kendaraannya, jalanan menjadi semakin macet akibat kendaraaan-kendaraan yang berhenti di tengah jalan. Aku tidak bisa tidur cepat hari ini.
"Tak usah turun. Sudah banyak orang yang membantu, lagipula jika om ikut turun yang ada malah menambah macet. Tak usah ikut campur dengan urusan orang lain, diam dan tonton saja." Aku mencegah om supir untuk turun, akan lebih merepotkan jika dia turun. "Pasti sudah ada yang menghubungi pihak berwajib, di depan ada tempat untuk mutar. Kita mutar saja, macetnya pasti akan jadi lebih parah dengan adanya kecelakaan ini." Om sopir hanya diam, tapi dia tetap melakukan apa yang aku perintahkan. Urusan orang lain biarlah menjadi urusan orang lain.
Untuk sebagian orang mendapat hidup normal sudah seperti anugerah. Tapi aku tak menyukainya, keadaan ekonomi pada dasarnya pas-pasan, nilai biasa saja, bakat paling bernyanyi, itu pun standar orang-orang pada umumnya. Sebentar lagi aku akan masuk jenjang SMA, sementara aku tak benar-benar tau apa yang ingin kulakukan.
Kembali memandang keluar jendela, aku mulai melamun. Aku tak sepeduli itu untuk membantu, tapi bukan berarti aku tak memiliki rasa kasihan. Kira-kira kalau aku peduli sedikit lagi, aku akan ikut membantunya tidak ya... Mungkin, setidaknya aku tidak akan mencegah om turun. Apa tadi aku terkesan jahat ya?
Kenyataannya, aku hanya bisa terus memikirkan kemungkinan 'jika' aku melakukan sesuatu tadi. Aku menyadari orang itu akan celaka, sadar tidak bisa melakukan sesuatu membuatku marah. Aku hanya bisa melakukan sesuatu di pikiranku. Tak ada satupun yang kulakukan di dunia nyata.
"Kita tidak bisa kembali, tak usah terlalu dipikirkan non. Keputusan yang kita ambil tidak akan bisa ditarik begitu saja. Apalagi ini berhubungan dengan waktu, tidak bisa diputar balik." Nasihat om supir.
Om tau apa. Aku juga mengetahuinya. Otak dan hatiku tidak sinkron, itu yang terjadi. Ya, sangat jelas itu yang terjadi. Dua hal bertolak belakang itu terus menganggu hidupku belakangan ini. Mana yang harus aku ikuti, pikiran atau hati? Tak ada habisnya.
Tapi disini, aku membiarkan sisi pikiran rasional yang menguasai diriku. Sisi lain pemikiran manusia kadang tidak bisa ditebak apalagi jika mereka telah mencampurkan hati perasaan di dalamnya, tampah rumit sudah hasilnya. Pengendara motor tadi juga menggunakan pemikirannya, tapi menggunakan sisi lain itu. Perasaan tak sabar yang bercampur dengan pemikiran bahwa dia dapat lewat menghasilkan kecelakaan tadi. Sore, jalan, suasana serta siaran radio yang sama. Kecelakaan itu membuat sesuatu berbeda, variabel baru yang jarang terjadi. Sebuah pemicu bahwa hidup seseorang tidak selamanya sama dengan yang kemarin.
Bel istirahat kedua telah berbunyi sejak lima menit yang lalu, salah satu gadis populer di kelas menggebrak meja tempat aku duduk, "Yang tadi melapor ke guru jika aku membawa make up kamu kan!"
"Kau... serius mencurigai orang yang benar? Ini aku loh, tidak sangaja lewat di depan guru saja aku malas, apalagi melaporkan hal yang bukan urusanku seperti itu." Dasar orang aneh, sekelas kan sudah tahu seberapa malasnya aku mencampuri urusan orang lain.
"Kalau bukan kau siapa lagi, jelas-jelas hanya ada kau dan aku saat tadi pagi aku touch up di kelas." Balasnya tidak mau kalah.
"Kalau begitu pakai otakmu, bukannya tadi kau sempat video call sebentar dengan seseorang? Ada kemungkinan dia juga melihat make up milikmu bukan?"
Gadis itu terdiam, wajahnya yang merah padam menjadi benar-benar merah kali ini. Sepertinya dia malu dan bertambah marah di saat bersamaan. Segera, dia meninggalkan meja milikku dan menuju meja di pojok kelas. Hal yang sama terjadi dengan gadis yang duduk di kursi itu, pelimpahan kekesalan pada orang lain. Gadis itu terlihat mengelak sambil menunjuk-nunjuk ke arahku, tapi mungkin akibat kemarahan serta kekesalan yang memuncak, sang gadis populer tak peduli, menyeret gadis pojok meja entah ke mana. Bisik-bisik mulai terdengar, jadi siapa pelaku pelaporan yang sebenarnya? Si gadis cuek atau si gadis pojok meja?
Semua mulut mulai membahas betapa bodohnya gadis pojok meja yang setia tiba-tiba menusuk dari belakang. Anjing memang harus diikat dengan benar agar tidak menjadi liar dengan kemungkinan mengigit. Keterlebatan sesaat si gadis cuek seakan-akan tidak pernah ada di pebicaraan mereka. Sesuai perkiraan si gadis cuek, dia tidak mungkin akan dicurigai. Semua sesuai rencananya.
Dengan memanfaatkan gadis pojok meja yang merupakan anjing setia sang gadis populer, dia menciptakan kesenangan dengan pencampuran pikiran rasional dan perasaan jengkel pagi tadi saat gadis populer merusak pagi tenangnya. Guru tidak akan menyebut namanya, bukan karena mereka tidak memiliki mulut yang gatal, tetapi karena dia hanya mengirimkan laporan secara anonim pada mereka. Menyenangkan, begitu puas hatinya melihat segala hal berjalan sesuai rencananya.
Pemandangan luar jendela yang tidak berubah dengan kemacetannya. Tak ada variabel kecelakaan seperti kemarin. Menatap datar keluar jendela, di kepalaku terbayang pengaturan ulang, varibel lain yang dapat terjadi pada kejadian pagi tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H