Mohon tunggu...
Stefani PutriMarshanda
Stefani PutriMarshanda Mohon Tunggu... Administrasi - mahasiswa

Hidup kadang kidding

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontra Program Rehabilitasi Hutan dan Reklamasi Lahan Bekas Tambang dalam Pemindahan IKN

20 Agustus 2023   20:05 Diperbarui: 20 Agustus 2023   21:45 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

KLHK menegaskan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur juga berjalan simultan dengan upaya pemulihan dan perlindungan lingkungan di sana dalam upaya pemulihan lingkungan, akan dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), serta reklamasi dan revegetasi lahan pasca tambang.

Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan guna meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan sedangkan Reklamasi dan pascatambang adalah salah satu upaya untuk meminimalisir perubahan alam dan lingkungan tersebut, serta memastikan lahan bekas tambang tetap mempunyai manfaat setelah operasi pertambangan selesai.

Tanpa melihat tujuan rehabilitasi hutan dan lahan, menanam pohon di lahan kritis akan berhenti pada angka-angka luas lahan. Padahal, rehabilitasi bertujuan menjadikan lahan terbuka menjadi hutan kembali. Kita tahu, definisi hutan adalah menciptakan iklim mikro hingga pohon berperan menyerap emisi karbon.

Untuk bisa sampai ke sana, rehabilitasi harus sempurna hingga hutan terbentuk kumpulan pepohonan dengan fungsi tersebut. Maka jika rehabilitasi hanya dilihat semata angka penanaman, tujuannya belum tercapai secara utuh. Kenyataannya, tiap rehabilitasi dianggap sebagai proyek sehingga program ini tak dikawal hingga akhir yang membutuhkan waktu panjang.

sudah puluhan tahun pemerintah menjalankan program rehabilitasi hutan dan lahan dengan biaya triliunan tapi tak menghasilkan peninggalan hutan yang luas.

Program rehabilitasi masih fokus pada penanaman dan pemeliharaan tahun pertama (tanaman umur 2 tahun) dan pemeliharaan tahun kedua (tanaman umur 3 tahun). Selebihnya, mulai pohon umur 4 tahun dan seterusnya pohon diserahkan pada mekanisme alamiah. Padahal untuk menjadi pohon dewasa yang sempurna menciptakan iklim mikro sebagai pengertian hutan, satu pohon butuh tumbuh hingga 15 tahun.

Jika paradigma lama ini masih terjadi, tidak heran jika rehabilitasi akan selalu dianggap sebagai cost center yang menjadi beban anggaran. Padahal, apalagi jika dikaitkan dengan krisis iklim sekarang, rehabilitasi adalah tugas utama KLHK.

Apalagi, biaya rehabilitasi tersedia melalui dana reboisasi, yang dipungut dari tiap volume pohon yang ditebang oleh industri kehutanan. Tujuannya agar tiap pohon yang ditebang tergantikan di tempat lain sehingga luas hutan kita seimbang mesti ada deforestasi yang direncanakan melalui pemberian konsesi.

Proses Rehabilitasi Hutan Tak Sebentar

Terkait keadaan hutan di Kalimantan, pemerintah seharusnya meningkatkan forest recovery. Namun, durasinya lama dan tingkat keberhasilannya rendah
berdasarkan catatan KLHK, kemampuan untuk melakukan rehabilitasi hutan 900 hektar per tahun punya persen keberhasilan yang rendah. Selain itu, butuh waktu sekitar 99 tahun untuk bisa mentransformasi hutan IKN menjadi hutan kembali

Kendala dan tidak efektifnya reklamasi lahan bekas tambang

Lahan bekas tambang yang sangat terdegradasi dapat kembali dijadikan hutan yang produktif dengan adanya tekad yang kuat dan ilmu praktek yang mumpuni. Reklamasi akan semakin mudah dengan memahami terlebih dahulu tantangan dan permasalahan apa saja yang akan dihadapi. Secara umum, permasalahan lahan bekas tambang berkaitan dengan kerusakan tapak baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Berikut ini adalah kendala-kendala yang sering ditemukan dalam kegiatan reklamasi lahan bekas tambang:

1. Bentuk Tatanan Lahan Buruk

Lahan bekas tambang memiliki karakteristik topografi dan hidrologi yang beragam tergantung kepada jenis bahan tambang dan cara penambangan yang dilakukan. Lokasi bekas tambang dengan tatanan lahan buruk mengakibatkan berbagai permasalahan seperti lahan berombak/bergelombang dengan tumpukan batuan penutup, tailing tersebar sporadis, tekstur dominan sangat kasar (pasir atau lebih kasar) atau sangat halus (klei berat), bekas lubang tambang banyak, kecil-kecil dan bertebaran sporadis, batuan penutup bersifat potentially acid forming (PAF), munculnya Air Asam Tambang (AAT), kondisi iklim kering, dan bahan amelioran untuk meningkatkan kualitas media tanam sulit didapat (Dirjen PPKL, 2016).

2. Kesuburan Tanah Rendah

Pada umumnya, tanah di lahan bekas tambang memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi yang buruk. Menurut Suprapto (2008), lahan bekas tambang memiliki permasalahan fisik tanah terkait tekstur dan struktur tanah, permasalahan kimia tanah terkait pH tanah, kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity, serta permasalahan biologi tanah terkait tidak adanya tutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial. Lebih lanjut, Dirjen PPKL (2016) menyebutkan bahwa lahan bekas tambang memiliki pH sangat masam, tekstur berpasir atau klei sangat halus, kadar bahan organik sangat rendah, serta ketersediaan unsur hara makro dan mikro sangat rendah.

3. Kubangan Raksasa dan Singkapan Lapisan Potentially Acid Forming (PAF)

Kendala utama pada lahan bekas tambang adalah adanya kubangan raksasa yang dihasilkan dari pengerukan tanah dan bahan tambang terutama untuk penambangan batu bara. Menurut Sigh 2006 dalam Widyatmaji dkk (2019), kubangan tersebut biasanya akan terisi oleh air asam tambang. Air Asam Tambang (AAT) merupakan air pH di bawah 5 hasil lindian, rembesan, dan aliran dari batuan PAF yang menyebabkan asam sulfida (biasanya berupa pirit) teroksidasi dikarenakan beraksi dengan oksigen dan air hujan. Oleh karena itu, lubang tersebut harus ditimbun. 

Jika tidak, maka akan menyebabkan terbentuknya kolam beracun. Bagian dasar lubang adalah lapisan Potentially Acid Forming (PAF) yang secara kimia sangat berbahaya bahkan bisa melepuhkan kulit. Maka, penimbunan tidak boleh dilakukan sembarangan. Sebelum ditimbun, bagian PAF harus diberi pembatas, misalnya dengan memberikan tanah lempung yang padat dan kedap air agar lapisan PAF tidak mencemari bagian tanah lain. Hal ini juga berlaku pada lahan bekas tambang bijih besi. 

Bahkan pada tambang bijih besi, penambangan dilakukan dengan cara mengiris batuan PAF yang sangat beracun. Subowo (2011) dalam Tampubolon dkk. (2020) melaporkan bahwa degradasi tanah akibat penambangan antara lain ditandai dengan perubahan lapisan tanah yaitu top soil yang bercampur dengan overburden (PAF) pada saat penimbunan kembali. Tanah dengan kandungan PAF mustahil untuk ditanami tanaman secara langsung. Sebaiknya, lapisan teratas bekas galian nantinya harus merupakan top soil dari lahan semula agar tanaman tidak perlu adaptasi lagi .

4. Hilangnya Top Soil

Penambangan dilakukan dengan mengambil overburden atau lapisan tanah yang dianggap memiliki kandungan barang tambang. Hal tersebut mengakibatkan terangkatnya top soil yang menyebabkan tapak yang tersisa menjadi sangat miskin hara dan susah ditanami (Dirjen PPKL, 2016). Misalnya pada lahan bekas tambang gypsum yang  biasa dilakukan di batuan kapur. Lahan bekas tambang gypsum memiliki tanah yang sangat padat serta keras, sehingga sangat perlu untuk mengembalikan top soil agar lahan memiliki tanah yang gembur dan subur. 

Biasanya, perusahaan tambang membuat "bank tanah" untuk menyimpan top soil sebelum melakukan penambangan (Dirjen PPKL, 2016). Penyimpanan top soil harus memperhatikan kehidupan mikroorganisme dan nutrisi tanah agar kandungan hara dan mikroorganisme tanah tetap terjaga. Menurut Paul dan Clark (1989) dalam Susilawati dkk. (2013), mikroorganisme tanah merupakan faktor penting dalam ekosistem tanah, karena berpengaruh terhadap siklus dan ketersediaan hara tanaman serta stabilitas struktur tanah.

Banyaknya lubang tambang batu bara yang ada di wilayah administrasi IKN justru membuktikan bahwa pemerintah berupaya menutupi ruang kosong perusahaan yang tidak mampu melakukan reklamasi dan rehabilitasi eks tambang. Alih-alih menciptakan framing forest city, justru pembangunan yang dilakukan hanya untuk kepentingan semata. Selain itu pembangunan berkelanjutan yang menyasar ekonomi, sosial dan ekologis. Sampai saat ini seringkali tidak menemukan titik temu.

Sumber :
Tampubolon, G., I.A. Mahbub, dan M.I. Lagowa. 2020. Pemulihan Kualitas Tanah Bekas Tambang Batubara Melalui Penanaman Desmodium ovalifolium. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara 16 (1) : 39 -- 45.

Widyatmaji, B.N., M.I.F. Pradana, dan J. Athian. 2019. Pemodelan Persebaran Batuan PAF dan NAF pada Pit Tidal, East Block, Wilayah Pertambangan Batubara PT. Indominco Mandiri di Wilayah Teluk Pandan, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-12. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Artikel : https://himaba.fkt.ugm.ac.id/2021/09/28/kendala-kendala-reklamasi-lahan-bekas-tambang/

#Amerta2023 #KsatriaAirlangga #UnairHebat
#AngkatanMudaKsatriaAirlangga #BanggaUNAIR
#BaktiKamiAbadiUntukNegeri #Ksatria 15_Garuda 24
#ResonansiKsatriaAirlangga #ManifestasiSpasial
#GuratanTintaMenggerakkanBangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun