[caption caption="Einstain quotes"][/caption]Siang itu, selepas zuhur, saya terlibat diskusi ringan dengan seorang kawan yang sehari-hari bekerja menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebetulnya, diskusi siang itu kurang pas disebut diskusi ringan. Pasalnya, tema yang diperbincangkan cukup berat bagi orang kebanyakan: statistik.
Statistik memang pelik. Bayangan yang seketika muncul ketika kata itu disebut adalah deretan angka-angka, notasi dan formula matematis yang tak mudah dipahami, serta kumpulan tabel dan grafik yang membikin dahi mengernyit kala membacanya.
Karena itu, menjelaskan statistik dalam bahasa yang membumi adalah tantangan berat yang tidak mudah bagi para statistisi, terutama penghasil data statistik resmi yang dikonsumsi dan menjadi rujukan khalayak luas.
Enrico Giovannini, Kepala Divisi Statistik Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), berujar, “Statisticians, especially those in charge of producing “official” figures, have a special role to play in bringing statistics closer to citizens, not only through media, but also by fostering statistical culture.” Para penghasil data statistik resmi memiliki peran khusus untuk membawa data statistik lebih dekat ke masyarakat, tidak hanya melalui media tapi juga dengan mendorang budaya statistik di tengah masyarakat. Barangkali kurang lebih seperti itu makna ujaran Pak Enrico.
Kembali ke soal IPM, diksusi siang itu berfokus pada perhitungan IPM dengan metode baru. Sekadar diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode baru untuk perhitungan IPM tahun 2014. Proyeksi kilas balik dengan motode baru juga diterapkan untuk IPM tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian, keterbandingan IPM antar waktu tetap terpenuhi.
Perubahan metodologi tersebut membawa sejumlah konsekuensi. Secara umum, level IPM dengan metode baru lebih rendah dari IPM dengan metode lama. Perubahan level IPM ini mengakibatkan perubahan ranking IPM setiap provinsi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. Ada provinsi yang rankingnya jatuh, ada pula yang sebaliknya, naik.
Tentu tidak mudah menjelaskan perubahan-perubahan tersebut kepada pengguna data, khususnya pemerintah daerah yang kinerjanya—salah satunya—diukur lewat perkembangan nilai IPM. Pasalnya, indikator strategis seperti IPM seolah bernyawa bagi mereka. Perubahannya mewakili seribu satu macam kepentingan.
Bagi daerah yang perubahan IPM-nya positif, perubahan tersebut tentu tak menjadi soal. Tapi tentu tidak bagi daerah yang perubahannya negatif. Persoalan menjadi pelik karena selain sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan, IPM merupakan salah satu variabel kunci dalam formula perhitungan besaran dana transfer dari pusat ke daerah. Anda tentu bisa membayangkan—meski potensinya relatif kecil—reaksi apa yang bakal muncul jika dana transfer yang diterima suatu daerah berkurang karena perubahan skor IPM-nya.
Dalam soal ini, tanggung jawab para statistisi memang tidak mudah. Disamping harus menghitung IPM dengan cermat dan akurat, mereka juga harus mengomunikasikan hasil perhitungan tersebut dengan cara dan bahasa yang bisa diterima oleh pengguna data dengan segala macam kepentingannya.
Terus bagaimana cara menjelaskan angka-angka IPM itu dengan bahasa yang lentur dan mudah dipahami? Bukankah proses perhitungannya sangat teknis dengan serangkaian konsep-definisi yang kering dan kaku? Pengalaman berikut mungkin bisa dijadikan pelajaran.
Singkat cerita, saat itu pemilihan gubernur Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) sedang dalam masa kampanye. Salah satu tahapan kampanye yang sangat menentukan adalah acara debat antar calon yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi. Bagi para calon, debat tersebut adalah ajang untuk memikat perhatian ribuan pasang mata pemilih.
Tidak membikin heran jika calon petahana sangat cermat mempersiapkan diri untuk acara debat tersebut. Ibarat perang, segala amunisi untuk menyerang lawan disiapkan, begitu pula dengan segenap tameng untuk menangkis semua kemungkinan serangan lawan. Dan, untuk urusan yang terakhir, calon petahana rupanya sedang gundah.
Statistik menunjukkan, selama kepemimpinannya, ranking IPM Sulsel cenderung stagnan dan konsisten bertengger di papan tengah. Itu artinya, janji lima tahun yang lampau untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Sulsel tidak terbukti. Fakta ini adalah amanusi yang dapat digunakan calon lain untuk menyerangnya saat debat di televisi nanti.
Di tengah kegundahannya, ia teringat dengan sebuah kantor di Jl. Haji Bau, tak jauh dari kediaman Pak Kalla. Jawabannya barangkali ada di sana: BPS Provinsi Sulsel. Ia kemudian mengundang sang kepala kantor makan siang di kediaman gubernur. Tujuannya jelas, yakni mendapatkan jawaban yang pas ihwal stagnasi peringkat IPM Sulsel selama periode kepemimpinannya.
Bagi sang kepala kantor, undangan makan siang itu bukan sekadar undangan biasa. Tapi, sebuah tantangan untuk menjelaskan angka-angka statistik dengan bahasa yang mudah dipahami sekaligus sebagai penawar gundah calon petahana.
Untungnya, meski peringkat IPM Sulsel cenderung stagnan selama periode kepemimpinan calon petahana, shortfall IPM Sulsel sangat tinggi selama periode yang sama, bahkan nomor dua tertinggi secara nasional. Inilah kata kunci nan sakti yang kemudian digunakan oleh sang kepala kantor sebagai penawar gundah calon petahana. Gampangnya, shortfall adalah indikator yang menunjukkan seberapa cepat perubahan skor IPM selama periode tertentu. Itu artinya, ia juga menejalaskan tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam menggenjot pembangunan manusia di wilayannya.
Hari itu menjelang makan siang, sang kepala kantor menjelaskan kepada calon petahana ihwal perkembangan IPM Sulsel. “Peringkat IPM Sulsel memang stagnan di papan tengah, tapi bapak tak usah gundah. Pasalnya, shortfall IPM Sulsel selama bapak menjabat sangat tinggi, nomor dua setelah Kalimantan Timur. Itu artinya, ibarat balapan mobil dengan 34 peserta, bapak termasuk yang tercepat karena finis di posisi kedua.Bapak tercepat nomor dua secara nasional dalam memacu peningkatan nilai IPM”
Setelah mendengar penjelasan tersebut, calon petahana tersenyum lebar. “Ini baru penjelasan yang bagus. Tunggu apa lagi, saatnya makan siang.” Rasa gundahnya pun sirna. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI