Mohon tunggu...
Statistisi Berbagi
Statistisi Berbagi Mohon Tunggu... -

Berbagi dengan statistik

Selanjutnya

Tutup

Money

Era Baru Data Perberasan

11 Februari 2016   18:55 Diperbarui: 11 Februari 2016   22:52 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 14 September 2011 Harian Kompas menurunkan artikel berita bertajuk “Era Baru Perberasan”. Dalam artikel itu disebutkan, hasil Rapat Menteri Perekonomian yang dilaksanakan pada pekan sebelumnya memutuskan akan memperbaiki data produksi beras.

Keputusan tersebut diambil karena berdasarkan hasil perhitungan ulang angka konsumsi beras yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kebutuhan beras penduduk Indonesia hanya sebesar 113,72 kg per kapita per tahun. Angka ini jauh lebih rendah dari angka konsumsi beras yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan beras nasional sebelumnya, yakni sebesar 139,15 kg per kapita per tahun.

Berbeda dengan angka konsumsi beras per kapita sebesar 139,15 kg per tahun yang konon merupakan hasil kesepakatan dan tidak dihasilkan melalui kajian ilmiah mendalam yang bisa dipertanggungjawabkan secara metodologis asal usulnya, angka konsumsi hasil survei BPS tersebut tentu lebih akurat karena dihasilkan melalui survey sampling yang secara metodologi dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Jika dihitung dengan menggunakan angka konsumsi beras sebesar 113,72 kg per tahun, total konsumsi beras penduduk Indonesia pada 2011 hanya sebesar 26,8 juta ton. Itu artinya, surplus produksi beras nasional mencapai 10,2 juta ton. Surplus yang sangat tinggi dan tidak masuk akal ini sejatinya merupakan indikasi kuat bahwa data produksi padi nasional overestimate atau ketinggian. Indonesia seharusnya sudah menjadi eksportir neto beras. Karena itu, hasil perhitungan konsumsi beras yang dilakukan BPS sudah sepatutnya dijadikan sebagai momentum untuk mengoreksi data produksi padi/beras nasional.

Isapan jempol

Sayangnya, era baru data perberasan yang disebutkan dalam artikel tersebut hanya isapan jempol belaka dan tak kunjung terwujud. Bertahun-tahun setelah artikel itu ditulis, komitmen melakukan perbaikan data produksi beras seolah menguap begitu saja seiring berjalannya waktu.

Angka konsumsi beras hasil perhitungan BPS juga tak pernah digunakan sebagai acuan dalam perhitungan kebutuhan beras nasional. Sekadar diketahui, sejak tahun 2011 BPS telah tiga kali melakukan survei untuk menghitung tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia. Hasilnya rata-rata konsumsi beras penduduk Indonesia konsisten pada angka 114 kg per kapita per tahun. Namun anehnya, angka konsumsi yang digunakan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 justru sebesar 124,8 kg per kapita per tahun.

Konsekuensinya, isu data produksi padi yang tidak akurat terus mendominasi debat publik mengenai politik ekonomi beras di negeri ini, terutama terkait kebijakan impor beras. Data yang tidak akurat ditengarai menjadi penyebab kebijakan pemerintah kerap salah sasaran dan terlambat.

Sebetulnya, temuan bahwa data produksi padi nasional menderita overestimate telah menyeruak jauh sebelum BPS melakukan perhitungan ulang angka konsumsi beras nasional. Hasil studi yang dilakukan BPS pada 1996-1997, misalnya, menunjukkan bahwa hasil penaksiran luas panen padi yang dilakukan Mantri Tani di Pulau Jawa overestimate sebesar 17,1 persen. Karena itu, data produksi padi nasional yang merupakan hasil perkalian antara data luas panen dan data produktivitas juga overestimate. Hasil survei yang dilakukan oleh Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) pada 2000-2001 juga menemukan fakta yang kurang lebih sama, overestimate produksi padi di Pulau Jawa mencapai 13 persen.

Temuan-temuan tersebut juga diperkuat dengan kenyataan bahwa data produksi padi/beras nasional acap kali tidak konsisten dengan dinamika perkembangan harga beras di pasar. Pada 2015 lalu, misalnya, berdasarkan angka ramalan II BPS produksi padi nasional ditaksir mencapai 74,99 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 42 juta ton beras untuk pangan penduduk. Dibandingkan dengan total konsumsi beras penduduk Indonesia yang hanya sebanyak 30 juta ton, itu artinya surplus produksi beras mencapai 12 juta ton.

Dengan surplus sebanyak itu, ditambah dengan stok tahun berjalan (carry-over stock) 2014 yang ditaksir nyaris mencapai 9 juta ton, Indonesia seharusnya sudah menjadi eksportir neto beras. Selain itu, tentu saja harga beras di dalam negeri relatif stabil dan rendah. Namun faktanya justru bertolak belakang. Sepanjang 2015, harga beras kualitas medium relatif tinggi dan persisten di atas Rp10.000 per kg. Penurunan harga hanya terjadi sesaat ketika masa panen raya. Tidak membikin heran, jika harga beras menjadi kontributor utama inflasi sepanjang tahun lalu.

Pemerintah juga akhirnya memutuskan untuk mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton dari Vietnam dan Thailand untuk memperkuat cadangan beras nasional. Meski konon hingga kini beras impor tersebut masih tersimpan di gudang Bulog dan belum beredar di masyarakat, keputusan impor tersebut dan juga dinamika perkembangan harga beras di pasar sudah cukup memberi indikasi kuat bahwa data produksi padi/beras nasional memang overestimate.

Argumen bahwa inkonsistensi antara data produksi dan harga beras disebabkan oleh struktur pasar beras dalam negeri yang cenderung bersifat oligopili sehingga membuka peluang terjadinya praktik kartel mungkin benar adanya. Namun faktanya, hingga kini argumen bahwa ada “mafia beras” yang bermain hanya sekedar syak wasangka yang tidak terbukti di lapangan.

Indikasi terjadinya overestimate pada data produksi padi dan perlunya dilakukan koreksi data sebetulnya sudah sejak lama disuarakan oleh para peneliti, akademisi, dan pemerhati ekonomi pertanian. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri sudah berulang kali menyampaikan dalam berbagai kesempatan ihwal ketidakpercayaannya terhadap data produksi padi yang dirilis BPS. Beliau juga menekankan perlunya dilakukan upaya perbaikan kualitas data.

Namun, entah mengapa, hingga saat ini belum ada langkah konkrit yang diambil pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap data produksi beras nasional.Pertanyaannya, sampai kapan pembiaran ini terus berlanjut?

Upaya perbaikan

Jika pemerintah serius ingin membenahi data produksi, upaya perbaikan kualitas data harus difokuskan pada sumber ketidakakuratan data. Terkait hal ini, rekomendasi Forum Masyarakat Statistik (FMS)—sebuah lembaga independen yang dibentuk pemerintah untuk memberikan masukan terkait penyelenggaraan statistik resmi di negeri ini—kepada pemerintah harus ditindaklanjuti.

Sepanjang 2015, FMS telah melakukan telaah secara mendalam terhadap statistik produksi beras nasional. FMS menyimpulkan bahwa ketidakukaratan data produksi padi/beras nasional bersumber dari tiga hal.

Pertama, pengukuran produktivitas yang dilakukan melalui Survei Ubinan dengan pembagian kerja 50 persen sampel dilakukan oleh petugas BPS dan 50 persen dilakukan oleh Mantri Tani atau PPL. Metode kerja seperti ini membuka peluang terjadinya kesalahan sampel (sampling error) dan kesalahan non-sampel (non sampling error).

Kedua, penaksiran luas panen yang dilakukan oleh KCD atau Mantri Tani dengan menggunakan metode estimasi pandangan mata (eye estimate) cenderung bias ke atas. Selain itu, mereka merupakan bawahan Kepala Dinas Tanaman Pangan dengan atasan bupati/walikota dengan berbagai macam kepentingannya. Dengan kata lain, potensi konflik kepentingan sangat besar dan laporan luas panen dan luas tanam menjadi tidak obyektif atau tidak sesuai dengan kondiri riil di lapangan.

Ketiga, bias indeks pertanaman (IP). Hal ini tercermin dari tingginya realisasi laporan luas tanam padahal pada saat yang sama kondisi saluran irigasi rusak hampir separuhnya. Idealnya, dengan kondisi saluran irigasi seperti saat ini, IP tanaman padi hanya sebesar 1,3-1,4. Faktanya, pada 2015 IP mencapai 1,7 yang merupakan indikasi kuat bahwa laporan luas tanam yang sejatinay merupakan cikal bakal data luas panen overestimate.

Mengacu pada ketiga hal tersebut, FMS merekomendasikan beberapa solusi untuk memperbaiki akurasi data produksi padi/beras nasional, antara lain, pemerintah harus mengupayakan metode penaksiran luas panen yang lebih akurat dan berbasis objective measurement, misalnya, dengan mengaplikasikan secara luas metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang mengintegrasikan data spasial dan data lapangan menggunakan teknologi digital yang lebih obyektif; pemerintah juga harus berani menggunakan angka konsumsi beras per kapita sebesar 114,1 kg per tahun; dan setelah data produksi dan konsumsi dikoreksi pemerintah dan BPS harus melakukan proyeksi kilas balik (backcasting) data produksi dengan menggunakan berbagai dukungan data yang ada.

Kabar baiknya, saat ini BPS sedang mengembangkan metode penaksiran luas panen dengan metode KSA bekerjesama dengan Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Rencananya metode tersebut akan diaplikasikan secara nasional pada 2018 dan akan menggantikan metode sejauh mata memandang (eye estimate) dan metode konvensional lainnya yang selama ini digunakan dalam memperkirakan luas panen.

BPS juga tengah melakukan telaah mendalam pada data-data pendukung yang ada untuk melakukan koreksi data produksi padi tahun 2015 dan backcasting data produksi selama 10 tahun ke belakang. Pada Juli tahun ini, BPS akan merilis angka tetap (Atap) produksi padi 2015 yang telah dikoreksi dan hasil backcasting data produksi 2004-2014. Semoga upaya tersebut merupakan titik awal dimulainya era baru data perberasan nasional yang sesungguhnya. (*) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun