Mohon tunggu...
Statistisi Berbagi
Statistisi Berbagi Mohon Tunggu... -

Berbagi dengan statistik

Selanjutnya

Tutup

Money

Era Baru Data Perberasan

11 Februari 2016   18:55 Diperbarui: 11 Februari 2016   22:52 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah juga akhirnya memutuskan untuk mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton dari Vietnam dan Thailand untuk memperkuat cadangan beras nasional. Meski konon hingga kini beras impor tersebut masih tersimpan di gudang Bulog dan belum beredar di masyarakat, keputusan impor tersebut dan juga dinamika perkembangan harga beras di pasar sudah cukup memberi indikasi kuat bahwa data produksi padi/beras nasional memang overestimate.

Argumen bahwa inkonsistensi antara data produksi dan harga beras disebabkan oleh struktur pasar beras dalam negeri yang cenderung bersifat oligopili sehingga membuka peluang terjadinya praktik kartel mungkin benar adanya. Namun faktanya, hingga kini argumen bahwa ada “mafia beras” yang bermain hanya sekedar syak wasangka yang tidak terbukti di lapangan.

Indikasi terjadinya overestimate pada data produksi padi dan perlunya dilakukan koreksi data sebetulnya sudah sejak lama disuarakan oleh para peneliti, akademisi, dan pemerhati ekonomi pertanian. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri sudah berulang kali menyampaikan dalam berbagai kesempatan ihwal ketidakpercayaannya terhadap data produksi padi yang dirilis BPS. Beliau juga menekankan perlunya dilakukan upaya perbaikan kualitas data.

Namun, entah mengapa, hingga saat ini belum ada langkah konkrit yang diambil pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap data produksi beras nasional.Pertanyaannya, sampai kapan pembiaran ini terus berlanjut?

Upaya perbaikan

Jika pemerintah serius ingin membenahi data produksi, upaya perbaikan kualitas data harus difokuskan pada sumber ketidakakuratan data. Terkait hal ini, rekomendasi Forum Masyarakat Statistik (FMS)—sebuah lembaga independen yang dibentuk pemerintah untuk memberikan masukan terkait penyelenggaraan statistik resmi di negeri ini—kepada pemerintah harus ditindaklanjuti.

Sepanjang 2015, FMS telah melakukan telaah secara mendalam terhadap statistik produksi beras nasional. FMS menyimpulkan bahwa ketidakukaratan data produksi padi/beras nasional bersumber dari tiga hal.

Pertama, pengukuran produktivitas yang dilakukan melalui Survei Ubinan dengan pembagian kerja 50 persen sampel dilakukan oleh petugas BPS dan 50 persen dilakukan oleh Mantri Tani atau PPL. Metode kerja seperti ini membuka peluang terjadinya kesalahan sampel (sampling error) dan kesalahan non-sampel (non sampling error).

Kedua, penaksiran luas panen yang dilakukan oleh KCD atau Mantri Tani dengan menggunakan metode estimasi pandangan mata (eye estimate) cenderung bias ke atas. Selain itu, mereka merupakan bawahan Kepala Dinas Tanaman Pangan dengan atasan bupati/walikota dengan berbagai macam kepentingannya. Dengan kata lain, potensi konflik kepentingan sangat besar dan laporan luas panen dan luas tanam menjadi tidak obyektif atau tidak sesuai dengan kondiri riil di lapangan.

Ketiga, bias indeks pertanaman (IP). Hal ini tercermin dari tingginya realisasi laporan luas tanam padahal pada saat yang sama kondisi saluran irigasi rusak hampir separuhnya. Idealnya, dengan kondisi saluran irigasi seperti saat ini, IP tanaman padi hanya sebesar 1,3-1,4. Faktanya, pada 2015 IP mencapai 1,7 yang merupakan indikasi kuat bahwa laporan luas tanam yang sejatinay merupakan cikal bakal data luas panen overestimate.

Mengacu pada ketiga hal tersebut, FMS merekomendasikan beberapa solusi untuk memperbaiki akurasi data produksi padi/beras nasional, antara lain, pemerintah harus mengupayakan metode penaksiran luas panen yang lebih akurat dan berbasis objective measurement, misalnya, dengan mengaplikasikan secara luas metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang mengintegrasikan data spasial dan data lapangan menggunakan teknologi digital yang lebih obyektif; pemerintah juga harus berani menggunakan angka konsumsi beras per kapita sebesar 114,1 kg per tahun; dan setelah data produksi dan konsumsi dikoreksi pemerintah dan BPS harus melakukan proyeksi kilas balik (backcasting) data produksi dengan menggunakan berbagai dukungan data yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun