Keempat, resiko. Menjadi pengusaha, entrepreneur harus pertimbangkan resiko. Sudah memasuki usia usaha lebih dari sepuluh tahun lah baru kami berani mengembangkan diri. Resiko dihitung dengan benar. Istilah saya, calculated risk. Sehingga apapun yang kita kerjakan juga harus dipertimbangkan faktor resikonya.Â
Kelima, kritikan. Kritikan harus kita terima sebagai seorang pengusaha, entrepreneur. Jangan mudah tersinggung, jangan mudah baper. Kritikan kita anggap akan membangun kita. Saya selalu berusaha mendapatkan masukan, termasuk kritikan dari tim saya sendiri, bukan hanya orang lain. Dengan adanya kritikan, kita bisa mengevaluasi diri lebih baik.
Keenam, penolakan. Ini menarik. Saya berlatar belakang teknis, jadi seringkali kalau di tolak merasa jengkel. Pada awalnya demikian, pada saat saya belajar pengembangan bisnis (dan masih terus belajar hingga saat ini), saya mempelajari penolakan justru bagus. Orang menolak kita sebagai sales karena banyak hal, coba lihat faktornya. Demikian juga, mengapa customer tidak mau lagi berusaha dengan kita, bisnis dengan kita, kita juga harus lihat. Penolakan bukan hal buruk.Â
Ketujuh, disiplin. Ini yang sangat penting. Mengapa mereka (para konglomerat) bisa mengembangkan terus bisnisnya ? Karena ternyata hidup mereka sangat disiplin. Setidaknya saya mengikuti gerakan beberapa konglomerat semasa saya bekerja, mulai dari pemilik bank Bali, bank Modern hingga BII. Saya belajar satu hal, disiplin dalam kerja, dalam keluarga dan ibadah. Mereka punya modal ini untuk menjadi konglomerat.Â
Lalu bagaimana dengan anda? Sudahkan kita menerapkan tujuh akar kunci sukses seorang entrepreneur ? Belum terlambat, mari kita lakukan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H