Sejak unyu-unyu, sejatinya rindu telah dimulai. Ingatan menerawang, ketika kami-kami saudara sepupu tak berjumpa dalam jeda waktu. Kangen dan saling merindu, terkadang berselisih paham mewarnai hari-hari yang seolah tak ada habisnya.Â
Hubungan kekeluargaan, tak beda jauh dengan persaudaraan antar anak-anak sesama bangsa. Tak hengkang dimakan waktu, hingga menua dan selamanya.
Ibu pertiwi selayak Mbah, ibu dari bapak atau ibu orangtua kami yang bersaudara adik-kakak. Mbah adalah pemersatu dalam keluarga, semua anak-anaknya berkumpul saat lebaran dan hari-hari penting lainnya dalam suasana kekeluargaan yang kental. Meskipun, tak semua anak-anaknya, dalam hal ini orangtua kami, berlebaran karena berbeda keyakinan.
Menantunya Mbah, bapak-ibu kami tak semuanya dari suku yang sama, Jawa, tapi ada yang dari Batak, Makassar, dan Papua. Begitulah situasinya, kebersamaan  telah terbangun dalam keberagaman.
Indonesia terlahir dari kesepakatan, yang didasarkan atas cikal-bakalnya Sumpah Pemuda, 1928, hingga berbuah kemerdekaan di Tahun 1945. Tak ada kata bubar, jerih payah para pendahulu bangsa telah membuat komitmen untuk menyatukan suku bangsa dan agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keberagaman yang dipersatukan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua, menjadi perekat.
Sebuah keniscayaan tak terbantahkan, bahwa Indonesia yang terdiri dari 714 suku dan lebih dari 1.100 bahasa daerah, merupakan kekayaan berlimpah yang memungkinkan unggul dalam kiprahnya di dalam maupun luar negeri.
Utamanya adalah tiap-tiap penghuni ibu pertiwi haruslah punya perasaan sama, memiliki dan menjadi bagian dari Indonesia seutuhnya. Budaya lokal tetap dipertahankan sebagai jati diri, tetapi berbagai suku dan ras, haruslah bebas dan merasa nyaman tinggal di mana pun di wilayah Indonesia tanpa ada was-was karena perselisihan.
Terbayang sudah, dalam tatanan pemerintah yang kuat dan disegani, rakyat dari mana pun dapat berkiprah memajukan daerah, bukan melulu hanya di daerah atau tanah kelahirannya saja.
Hapuskan hambatan jarak, dengan cara memudahkan transportasi antar daerah, antar pulau, antar provinsi dan bila perlu dengan  subsidi pemerintah yang besar agar biaya jauh lebih murah.
Terjalinnya komunikasi yang hangat antar rakyat menjadi tumpuan saling paham dan mengerti, hingga mampu menutup celah-celah kesalahpahaman yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Bahkan, tak kalah pentingnya, digiatkannya pertukaran pelajar, SD, SMP dan SMA hingga perguruan tinggi, agar lebih mengenal sesama anak-anak bangsa yang tinggal di daerah lain.
Fanatisme kedaerahan tak boleh punah, tapi persatuan dan kesatuan bangsa tetap harus diutamakan.
Rindu dalam ikatan Ibu Pertiwi, sejatinya kita semua bersaudara, bersama-sama membangun bangsa tanpa mengedepankan perbedaan yang ada. Perselisihan yang timbul, haruslah disikapi dengan hati dan kepala dingin untuk diselesaikan secara bijak, dan kekeluargaan.
Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua, kiranya semakin memperkaya pemahaman kita semua bahwa hanya kita saja yang mampu dan harus membangun Indonesia Unggul dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.
Bandung, 23 Agustus  2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI