Senyapnya reaksi polusi terhadap karyawan yang bekerja di ruang kantor berakibat buruk bagi kesehatan. Ketidakmampuan ruang untuk menetralisir berbagai macam partikel polusi akan berdampak pada gangguan kesehatan yang disebut dengan Sick Building Syndrome (SBS).
Meskipun tampak rapi, bersih dan ber-AC, kualitas udara ruang kantor tidak selalu lebih baik. Bahkan disebutkan oleh United States Environmental Protection Agency (USEPA) bahwa peluang manusia terpapar polusi di dalam ruangan, dua sampai lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan polusi luar ruangan.
Pemahaman tentang SBS dapat dijelaskan sebagai kumpulan gejala yang umum terjadi pada para pekerja atau penghuni suatu gedung yang banyak menghabiskan waktunya di dalam ruangan tertutup. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Gejala yang dialami sangat bervariasi, seperti misalnya flu, iritasi pada mata, hidung, tenggorokan, ISPA, batuk tidak berdahak, kulit kering dan gatal, rasa mual, pusing, sulit berkonsentrasi dan juga cepat lelah. Semua gejala akan segera berkurang atau bahkan hilang setelah keluar dari ruangan.
Para pekerja kantor juga merupakan sumber polutan dalam gedung. Virus, bakteri, karbon dioksida, karbon monoksida, aseton, alkohol, dan gas organik lain merupakan polutan yang dapat dikeluarkan oleh pekerja kantor melalui pernapasan dan keringat (Dian Yulianti dkk, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia, CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012).
Menurut WHO, sebagian besar penyebab SBS adalah kualitas udara ruangan yang kurang baik. Hasil penyelidikan kualitas udara dalam ruang oleh The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 1997 memperlihatkan bahwa masalah kualitas udara dalam ruang disebabkan oleh ventilasi yang tidak cukup (52 %), kontaminasi dari dalam ruang (16 %), kontaminasi yang berasal dari luar ruang (10 %), kontaminasi mikrobiologi (5 %), kontaminasi material bangunan (4 %) dan lain-lain (13 %).
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam hubungan kualitas udara dalam ruang dengan kejadian SBS adalah (a) kondisi suhu ruangan, kelembaban, dan aliran udara. Ketiga hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan serapan polutan kimia dalam ruangan, pertumbuhan mikroorganisme di udara, dan meningkatkan bau yang tidak sedap; (b) konstruksi gedung dan furniture; (c) proses dan alat-alat dalam gedung; (d) ventilasi dan distribusi udara yang buruk; (e) status kesehatan pekerja, dan faktor psikososial/stress. (Laila Fitria dkk, UI, Makara Kesehatan, Vol.12/2, Des 2008).
Kualitas udara ruangan dalam lingkungan kerja perkantoran dan industri, seperti diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 48 Tahun 2016, Tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran, mempersyaratkan suhu ruangan 23 - 26 derajat Celcius, kelembaban 40-60 %, dan pertukaran udara ventilasi untuk ruang kerja adalah 0,57 m3/org/min, pergerakan udara 0,15-0,50 m/dtk, kandungan Oksigen (O2) 19,5-22,0 %.
Syarat lainnya, kandungan debu maksimal rata-rata 8 jam adalah 0,15 mg/M3 dan kandungan dalam jumlah terbatas beberapa gas pencemar seperti karbon monoksida, ozon, formaldehida dan sebagainya. Dalam keputusan tersebut dipersyaratkan pula kandungan mikroba yang dinyatakan sebagai angka kuman, kurang dari 700 koloni/M3 udara dan bebas kuman patogen.
Dampak SBS seperti dijelaskan dr Hendrawati Utomo, MS, SpOk, ahli masalah polusi udara dalam ruang, bahwa dalam jangka pendek memang hanya menimbulkan keluhan-keluhan ringan. Namun, dalam jangka panjang diyakini menjadi penyebab berbagai penyakit yang lebih serius termasuk kanker, yang umumnya dapat muncul 15 - 20 tahun sejak terpapar penyebabnya.
Minimalisasi dampak Sick Building Syndrome (SBS) dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut. Pertama, sediakan waktu istirahat untuk keluar ruangan/gedung untuk mendapatkan udara segar.Â
Kedua, tempatkan peralatan kerja, seperti mesin fotokopi dan printer, agak jauh dari meja kerja, bila mungkin tempatkan dalam satu ruang terpisah karena alat-alat tersebut berpeluang sebagai penghasil polusi partikel dan senyawa gas beracun.
Ketiga, sediakan area merokok dan pisahkan jalur ventilasi antara buangan asap rokok dan sirkulasi udara segar. Keempat, sirkulasi udara harus dipastikan baik. Jika ruang tidak ber-AC, maka jendela atau ventilasi harus dibuka supaya ada pertukaran udara. Kontrol kelayakan AC, harus terkendali dan terawat agar udara yang dihasilkan terjamin kebersihannya.
 Kelima, suhu dan kelembaban harus dipertahankan pada kondisi nyaman dan terhindar dari peluang kontaminasi mikroba (23-26 derajat Celcius, 40-60 %).
Ketujuh, tempatkan tanaman hias dalam ruangan kerja sebagai pengurai polusi udara dan penghasil oksigen. Beberapa tanaman yang bisa dipilih antara lain lidah mertua (sanseviera), lidah buaya, palem bambu, sirih belanda, karet hias, bonsai beringin (ficus menyamina), palem-paleman (rhapis), jenis-jenis kaktus kecil (cactus) dan lain-lain.
Dalam keseharian, SBS sering diasumsikan sebagai gejala penyakit ringan yang bukan lagi dikategorikan sebagai penyakit. Bila kita terlambat mengambil sikap, akumulasi partikel polusi di ruang kerja atau kantor, bertahap dan pasti, lambat laun akan menjelma jadi polusi senyap yang mematikan!
**
Bandung, 25 Sept 2018
Penulis : Johanes Krisnomo, Alumnus Kimia ITB, Pemerhati Lingkungan Hidup dan Kesehatan, dan Praktisi di Industri Pangan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H