MENYAMBUT pelaksanan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Uama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Konbes NU)  yang akan dilaksanakan di Pesantren Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, pada tanggal 27 pebuari 2019 sampai dengan 1 Maret 2019, dengan tema besar "Memperkuat Khidmah Wathoniyah untuk Kedaulatan Rakyat".
tulisan ini sedikit hendak berbagi pandangan dan curah pendapat terkait konsepsi kebangsaan dalam perspektif sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam dan sosial kemasyarakatan dalam kerangka adaptasi terhadap tantangan mewujudkan dan membumikan nilai-nilai sila ke- 5 Pancasila, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia" dalam muliti dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Muktamar NU Â ke 11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan tahun 1936, jauh sebelum Indonesia menjadi negara bangsa (nation state) yang merdeka, NU telah melahirkan pandangan keagamaan tentang komitmen kebangsaan bahwa Indonesia (waktu itu: Hindia Belanda) adalah " kawasan ini tidak memerlukan negara Islam dalam bentuk formal sejauh negara tidak melarang umat Islam menjalankan praktek praktek ibadahnya" (Gussur: Kompas, 11/03/2003).Â
Sikap keagamaan di atas merujuk pada diktum fiqih dalam kitab "Bughyatul Mustarsyidin" dan karena itu kata "Darul Islam" yang tercantun dalam hasil muktamar tersebut murni dimaknai dalam konteks pandangan keagamaan (fiqih), yakini "kawasan Islam" yang selama ini gagal dipahami oleh kelompok Islam modernis yang selalu memaknai "Darul Islam" sebagai konsep politik ketatanegaran dalam arti .bentuk formal  "negara Islam".
Dari  keputusan muktamar NU tahun 1936 di atas  kita dapat memahami landasan ideologi  politik mengapa NU yang diwakili KH Wahid Hasyim dalam sidang terakhir BPUPKI dengan mudah menerima "penghapusan" tujuh kata dalam sila pertama Pansasila yang semula berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" diganti menjadi  "Ketuhanan Yang  Maha Esa".Â
Dari sini pula kita dapat mengerti tentang fatwa wajib membela tanah air dalam "Resolusi Jihad" KH Hasyim Asy'ari,  pemberian gelar "waliul amri ad daruri bis syaukah" oleh KH Wahab Hasbullah kepada  Bung Karno sebagai  Presiden RI dan penerimaan asas tunggal Pancasila dalam Muktamar NU ke 27, tahun 1984, di Situbondo, Jawa Timur.Â
Tanpa memahami rujukan-rujukan keagamaan NU, "orang luar NU" akan selalu "gagal paham" atas sikap dan pandangan ideologi politik NU tentang kebangsaan dan kenegaraan.
Demikianlah peran-peran historis NU dalam setiap fase  lintasan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara seiring dengan dinamika perubahan sosial dengan segala tantangan dan pergeseran nilai yang mengikutinya.Â
Selalu bersifat akulturatif, yakni memelihara nilai-nilai tradisi lama yang baik dengan membuka ruang kemungkinan  untuk mengakomodasi nilai-nilai  baru yang lebih baik  (Almuhafadloh 'ala al qodimish sholeh wal akhdu bil jadidil aslah) dengan prinsip menghindari kerusakan lebih diprioritaskan dari kemungkinan manfaat yang akan diperolehnya (dar ul mafasid muqoddam 'ala jalbil masholeh).Â
Sebuah pendekatan khas "Islam nusantara" yang hanya dapat dilakukan organisasi Islam yang moderat, toleran, berimbang dan berkeadilan ( Attawasuth, attasamuh, attawazun wal i'tidal) dengan kekayaan khazanah keagamaan dan kekuatan tradisi kultural yang dimilikinya.
Dalam konteks itulah , tema besar Munas dan Konbes NU Â 2019, Â "Memperkuat Khidmah Wathoniyah untuk Kedaukatan Rakyat" harus kita letakkan dan maknai sebagai kelanjutan dari tanggung jawab dan khidmah pengabdian sejarah kekinian NU terhadap dinamika tantangan kebangsaan dan kenegaraan.Â