Mohon tunggu...
Tomson Sabungan Silalahi
Tomson Sabungan Silalahi Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pembelajar!

Penikmat film dan buku!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Anak Babi Tidak Pergi Les

29 November 2024   20:18 Diperbarui: 29 November 2024   20:35 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah hutan kecil, hiduplah tiga anak babi yang lucu, Tito, Tono, dan Tini, bersama ibu mereka, Ibu Babi. Ibu Babi adalah sosok yang keras dan disiplin. Setiap sore, ia mengirim anak-anaknya ke sebuah kelas khusus. Bukan untuk belajar membaca atau berhitung, tetapi untuk mempelajari cara menjaga tubuh tetap sehat dan montok---sesuatu yang, tanpa mereka ketahui, penting untuk pesta manusia setiap akhir tahun.

Suatu sore, ketika matahari bersinar hangat di atas padang rumput, Tito mengusulkan sesuatu.

"Bagaimana kalau hari ini kita tidak pergi ke les?" Tito berkata sambil meregangkan kakinya.

"Iya, aku bosan belajar cara makan dengan benar. Rasanya nggak ada gunanya," tambah Tono.

Tini, yang biasanya lebih bijaksana, menatap kedua kakaknya dengan ragu. "Tapi kalau Ibu tahu, kita pasti kena hukuman."

"Tini, hidup ini tentang petualangan!" Tito meraih tangan Tini, membujuknya. "Kita cuma mau main sebentar di padang rumput. Siapa yang akan tahu?"

Akhirnya, ketiganya setuju. Mereka bermain sampai matahari terbenam. 

Mereka sangat menikmati kebebasan yang baru saja mereka rasakan. Namun, saat pulang, mereka mendapati Ibu Babi sudah menunggu di depan rumah, matanya tajam seperti pisau.

---

"Kalian pikir bisa lari dari tanggung jawab?" serunya. "Mulai sekarang, nama kalian masuk dalam buku hitam!"

"Buku hitam?" tanya Tito.

"Itu daftar babi yang akan dikirim ke pesta manusia di akhir tahun!" Ibu Babi membentak. Sebagai babi yang baik, dia tahu bahwa takdir mereka memang untuk dimakan. Setelah tiba saatnya, saat babi sudah mencapai kira-kira 50-70 kilogram, dia tahu, nasib anak-anaknya adalah untuk jadi santapan manusia.

Manusia sudah berhasil menakut-nakuti babi selama ini, bahwa di luar sana, banyak yang akan memangsa mereka, jauh lebih kejam, tidak dimasak, dimakan mentah-mentah, berdarah-darah, menjijikkan. Setidaknya, babi bisa hidup selama 2-5 tahun kalau hidup bersama manusia. Tapi di luar sana, siapa yang tahu. Kata-kata manusia itu sungguh menghantui babi-babi selama ini.

"Tapi, kami belum sampai 50 kilo, bu!" Tito tidak percaya kalau ibunya akan tega menyerahkan mereka pada manusia. "Kami masih kecil!" Tito melanjutkan kata-katanya.

Ibunya terkejut mendengar bantahan Tito, entah dari mana Tito tahu semua cerita itu. "Apakah Tito mendengar obrolan mereka dengan ibu babi dari kandang sebelah?" Ibu Babi menerka-nerka di dalam hatinya.

"Eh, tidak peduli kau sudah 50 kilo atau tidak, kau kira, manusia bahkan lebih suka kalau kau tidak terlalu berat, masih kecil tapi montok begini sebenarnya pilihan terbaik mereka!" Ibu Babi membongkar rahasia lain yang belum diketahui Tito dan adik-adiknya.

Tito terkejut mendengar kenyataan itu, sedang kedua adiknya tidak hanya terkejut tapi juga terpaku, tidak tahu mau berkata apa. Mereka baru menyadari bahwa les yang mereka anggap membosankan itu hanyalah persiapan untuk sesuatu yang mengerikan.

---

Malam itu, Tito, Tono, dan Tini berkumpul di kandang mereka.

"Kita harus kabur," bisik Tito.

"Tapi bagaimana caranya?" tanya Tini. "Ibu selalu mengawasi kita."

Tono, yang suka memperhatikan detail, tersenyum kecil. "Aku punya ide. Besok, kita pura-pura sakit. Kalau Ibu sibuk mengurus kita, kita bisa mulai menggali jalan keluar dari kandang."

"Bagus! Kita gunakan jerami untuk menyembunyikan lubang itu," tambah Tito.

---

Keesokan harinya, mereka berpura-pura sakit dengan berguling-guling di tanah dan mengeluh.

"Ibu, perutku sakit sekali!" keluh Tito.

"Ya, aku juga. Rasanya mau meledak," tambah Tono sambil memegang perutnya.

Ibu Babi, meski curiga, sibuk mencoba membuat ramuan herbal untuk mereka. Sementara itu, Tito dan Tono mulai menggali lubang di bawah jerami. Lubang yang mereka belum lagi jadi.

Saat mereka hampir putus asa, ibu Babi membawa ramuan itu dan memberikannya pada ketiga anaknya. 

"Sebentar aku akan ke rumah manusia, istirahatlah!" Ibu Babi ingin memberi nama ketiga anaknya kepada manusia.

"Ngapain, bu?" Tini bertanya, dia merasa ada sesuatu yang janggal.

"Bukan urusanmu, urus perutmu yang sakit itu, dan jangan pernah beritahu ke babi manapun kalau kalian sedang sakit, nanti kau dibuang ke hutan!" Ibu Babi mengingatkan ketiga anaknya, dengan tatapan mata yang tegas. Tampaknya Ibu Babi sangat sayang pada mereka.

"Baik, bu!" Tito dan Tono menjawab cepat ibu mereka itu. Tidak seperti biasanya, mereka selalu bertanya sampai ibu mereka menjawab dengan sangat rinci.

Ibu Babi keluar dari kandang.

"Sekarang mari kita gali!" Tito memberi instruksi pada Tono. Tini masih bengong. "Tini awasi ibu, kalau sudah datang berikan aba-aba!" Tito memberi instruksi pada Tini.

Tini pasrah saja, dia percaya pada kedua kakak-kakaknya itu. Tini mengawasi di pintu kandang.

"Cepat-cepat, tapi jangan berisik! Jangan sampai ketahuan," bisik Tito.

---

Malam pun tibalah. Lubang itu cukup besar untuk dilewati. Ketika dengkuran Ibu Babi  sudah terdengar ketiganya melompat keluar dan lari ke arah hutan, meninggalkan kandang mereka selamanya.

Di hutan, hidup tidaklah mudah. Mereka harus belajar mencari makanan sendiri, melarikan diri dari pemangsa, dan bertahan dari panas terik matahari. Kulit mereka yang dulu merah muda mulai menghitam karena terbakar matahari.

"Ini jauh lebih sulit daripada yang kukira," keluh Tini suatu hari.

"Tapi kita bebas," kata Tito sambil tersenyum. "Aku lebih memilih hidup seperti ini daripada menjadi makanan manusia."

Tono mengangguk. "Dan kita lebih kuat sekarang. Kita tidak lagi bergantung pada siapa pun."

Tahun-tahun berlalu, Tito, Tono, dan Tini membangun keluarga mereka sendiri di hutan. Mereka menjadi celeng---babi hutan yang kuat dan mandiri. Keturunan mereka belajar cara bertahan hidup di alam liar dan selalu waspada terhadap bahaya.

Meskipun hidup penuh tantangan, Tito, Tono, dan Tini tidak pernah menyesal melarikan diri dari takdir mereka.

"Kalau saja Ibu tahu bahwa kita bisa hidup seperti ini," gumam Tito.

"Ibu pasti bangga," jawab Tini, tersenyum.

Dan sejak saat itu, legenda tentang tiga anak babi yang tidak pergi les menjadi cerita yang diceritakan turun-temurun di hutan, menginspirasi setiap celeng untuk hidup bebas dan tidak menyerah pada takdir.

---

Judul cerita ini terinspirasi dari judul cerita (recount text) siswa saya di sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun