Mohon tunggu...
Susana Srini
Susana Srini Mohon Tunggu... -

Wong ndeso, tertarik ikutan memperhatikan masalah pendidikan, selalu rindu untuk dapat memberikan sumbangsih bagi upaya-upaya merawat bumi, anggota komunitas Sekolah Komunitas - Sodong Lestari (SoLes), anggota Galeri Guru/TRUE CREATIVE AID dan terlibat dalam Laskar Pena Hijau YBS Cikeas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji untuk Mamakwe, Mama Bumi

5 Juni 2016   15:09 Diperbarui: 5 Juni 2016   17:20 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara lemah istri kepala suku melanjutkan penjelasannya, “Mohon saudaraku merahasiakan. Seseorang telah mengaku sebagai kepala suku lembah Aningguk dan memberi ijin tamu-tamu itu untuk datang kemari. Surat ijin itu dibawa oleh tamu-tamu itu.”

Wanam meradang, “Apakah saudariku tahu siapa orang itu?”

“Tidak sama sekali. Suamiku tak ingin ibu kita Mamakwe terluka. Oleh sebab itu ia meminta anakku Dhiblaa menemaninya berjalan ke kota, entah itu ada di mana. Mereka ingin mendatangi kepala suku para tamu itu.”

Wanam tertunduk malu, ia telah menyangka kepala suku Aningguk telah menjual gunung bersama.Perempuan itu berkata lagi, “Mohon maaf suamiku tak sempat menjelaskan ini padamu dan orang-orangmu. Ia tergesa-gesa.”Wanam mengangguk-angguk menutupi rasa malu dan kawatir akan nasip calon besan dan menantunya.

“Hal yang menambah kesedihanku, adik kami yang diserahi tanggung jawab untuk melindungi warga Aningguk, malah ikut bersekongkol dengan para tamu itu. Orang-orang Aningguk mengira suamiku juga telah menghianati Mamakwe.” Kata perempuan itu makin sedih.

Wanam tak kuasa menatap mata perempuan itu. Ia terpekur dalam penyesalan. Laki-laki tegap itu menyalahkan dirinya sendiri, mengapa tak mengetahui persoalan itu sebelumnya. Ia merasa harusnya ikut berjalan bersama ke kota untuk berbicara baik-baik dengan kepala suku para tamu itu.Istri kepala sukuAningguk kembali memecah keheningan, kali ini suaranya makin menyayat, “Saudaraku, aku tahu engkau bisa melakukan sesuatu. Suamiku tak ada di sini saat ini dan wargaku sekarang tercerai berai. Tolonglah kami. Selamatkan lembah Aningguk dan tentu lembahmu!”

Wanam mengangguk-angguk. Ia berpamitan dengan menggenggam sebuah tekad, menyelamatkan Mamakwe. Sebelum tamunya keluar dari balik pintu, adik Dhiblaa mengulurkan gulungan kertas kecil berwarna kusam kekuningan. “Tolong ini diberikan kepada kakak Pakuwa! Ia tentu ingin tahu kabarnya. Kakakku meninggalkan ini sebelum ia menyusuri jurang-jurang terjal bersama ayahku. Semoga mereka selamat!”

***

Pakuwa menekuri surat berwarna kuning kusam yang diulurkan ayahnya. Ia berkali-kali membaca. Kertas itu kumal oleh air mata. Kali ini ia membacalagi untuk ayah ibunya dengan perasaan bangga. Bunyinya menggemakan haru, sekaligus memantik jiwa, untuk terus melangkah meniti lembah ngarai, mendaki bukit-bukit terjal untuk membela Mamakwe.

Adikku Pakuwa,

Kita besar olehgunung Mamakwe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun