Mohon tunggu...
Irul
Irul Mohon Tunggu... Guru - xxxxx

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kafir, Oh Kafir

4 Maret 2019   20:50 Diperbarui: 4 Maret 2019   20:59 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kenapa kita harus percaya adanya Tuhan?.Bukankah alam semesta ini otonom?. Tetap berjalan dengan hukumnya sendiri walaupun kita tidak mengakui adanya Tuhan?. Bukankah manusia juga otonom?, mengerti baik buruk dan bisa membikin aturannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan?. Lantas, mengapa dunia ini tidak kita biarkan saja sesuai naturenya? Buat apa percaya adanya Tuhan? Hanya  menambah masalah dan merumit-rumitkan pikiran"

Diatas adalah pertanyaan mendasar yang harus kita jawab sebelum kita memutuskan untuk memeluk suatu agama. Tentu sangat sulit menjawabnya, bisa polemis, panjang dan tak berujung.

Agama memang sangat rumit. Oleh karenanya manusia tak berani mencari kebenaran dengan menempuh jalannya sendiri. Kita selalu membutuhkan pemandu untuk sampai pada suatu keyakinan tentang adanya Wujud yang jadi penyebab pertama dari segala sesuatu.

Tuhan yang mustahil digambarkan, menyebabkan Dia dikenalkan melalui perumpamaan-perumpamaan. Akibatnya, umat beragama menggambarkan Tuhan dengan citra mirip manusia. Agar manusia mudah ditertibkan dengan hukum yang menyederhanakan soal.

Namun, jika agama berarti tertib sosial, maka Tuhan hanya dihadirkan sebagai pimpinan organisasi. Ada organisasi A ada organisasi B, ada Tuhan kita dan ada Tuhan mereka. Antara organisasi dibangun garis batas. Dibalik garis batas adalah kafir, kata yang saat ini lagi viral. Tidak ada lagi iman universal yang mengakui bahwa ada yang mempersatukan manusia yang berbeda-beda.  

Saya tidak tahu apa yang ada dibenak sahabat-sahabat non muslim ketika menyaksikan polemik makna kata "kafir" di internal umat Islam yang sedang viral saat ini. Tersinggungkah?, prihatinkah?, siniskah?. Saya menghindar membicarakan hot isue ini dengan mereka. Rasanya canggung dan tidak nyaman  campur aduk. Bagaimana tidak?. Kata kafir sudah terlanjur dipahami sebagai stigma paling buruk dimuka bumi: tidak bisa masuk sorga.

Secara umum, perjalanan keberagamaan dapat dikatakan  selalu melalui tiga tahapan. Tahap Pertama adalah Tahap Kesetiaan. Pada tahap ini agama merupakan bentuk disiplin/normatif yang harus diterima tanpa syarat, tanpa daya kritis dalam memahami arti mendasar dan tujuan-tujuannya. Tahap ini memilki pengaruh yang besar dalam sejarah sosial dan politik,

Tahap Kedua adalah Tahap Pemikiran. Pada tahap ini agama dipahami secara rasional, kritis anilistis dan mencari dasarnya pada metafisika. Tahap ini memiliki pengaruh besar terhadap ekspansi yang lebih dalam dari individu terhadap pandangan yang konsisten secara logika tentang dunia dan Tuhan

Tahap Ketiga adalah Tahap Penemuan. Pada periode ini metafisika dipindahkan menjadi sebuah kesadaran akan pribadi yang bebas yang tidak mau dibelenggu oleh hukum, justru menjadi ambisi untuk menemukan sumber hukum itu sendiri.

Nah, dimana posisi kita dalam perjalanan keberagamaan kita?. Kalau kita masih meributkan kata "kafir",  berarti posisi kita berada pada Tahap Pertama, tahap kesetiaan, tahap yang paling rendah. Kita termasuk orang kebanyakan, karena dalam tahap inilah mayoritas pemeluk agama berada. Oleh karenanya memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sosial dan politik seperti saya sebutkan diatas.

Saya percaya kata "kafir" itu berasal dari Tuhan karena kata itu berasal dari Al Qur'an, dan "teks"nya memang menyebut begitu. Tapi saya tidak berani menebak-nebak "'pikiran" Tuhan, kata itu sekarang ini ditujukan ke siapa. Bagi saya, kata "kafir" terlalu berat menganggung beban makna.

 Al Qur'an sebagai titik epicentrum dari segala atribut keagamaan adalah sesuatu yang rumit dan kompleks. Berbagai konsep tentang Tuhan, malaikat, syetan, wahyu,nabi, akherat dan lain-lain sangat sulit dipahami. Belum lagi proses periwayatannya, pengumpulan bukti, penulisan, pembukuan dan seterusnya memerlukan penelitian yang tidak sederhana serta melibatkan banyak disiplin ilmu.

 Menempatkan "teks" dalam kedudukan yang sangat tinggi adalah kecenderungan semua agama yang memilki kitab suci. Wujud modern dari kecenderungan itu adalah fundamentalisme dengan pemahaman agama yang literalis, skiripturalistik dan bibliolatrik. Jika ini berlebihan, maka dimensi manusia (ghayab al-insan) akan hilang dari modus keberagamaan. Dan manusia menjadi terasing dari pengalaman spiritualnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun