Mohon tunggu...
Hazmi SRONDOL
Hazmi SRONDOL Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis/Jurnalis

Jika kau bukan anak Raja, bukan anak Ulama. Menulislah...

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Gibran Sebagai Cawapres, Meritokrasi ala Prabowo

29 Oktober 2023   20:07 Diperbarui: 29 Oktober 2023   20:13 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kemunculan nama "Gibran Rakabuming Raka" dalam bursa calon pasangan Prabowo di Pilpres 2024---saya tidak terlalu kaget.

Bukan sekedar soal mas'e itu kebetulan anak Jokowi---Presiden RI ke 7. Atau sekedar perhitungan probabilitas angka-angka dalam strategi kemenangan dalam perhelatan pilpres kali ini yang terdapat 52% pemilih muda. Bukan. Bukan itu.

Hal ini sebenarnya sudah saya tanyakan sekitar 8 tahun lalu di kediaman beliau di Padepokan garuda Yaksa, Bukit Hambalang, Bojong koneng, Bogor.

Saat itu---saya penasaran dan sedang menelisik karakter beliau yang menurut saya unik. Seperti karakter sering pasang badan---membela anak buahnya dalam berbagai bidang baik dalam dunia kemiliteran, usaha bahkan politik. Juga beberapa karakter yang kadang menurut saya sedikit naif---seperti seperti memberi peluang ke beberapa tokoh untuk mencapai tujuan pribadinya yang secara pribadi, yang sebenarnya tampak berbahaya untuk karir beliau sendiri.

Saya agak tercengang malam itu. Ada dua kaidah dasar Prabowo dalam menentukan sosok yang kan beliau tugaskan dalam sebuah bidang.

Pertama, batasan umur kematangan ala Prabowo.
Kedua, sistem meritokrasi ala Prabowo.

Ya, setelah mas Gibran resmi menjadi cawapres pasangan Prabowo-- banyak muncul kata-kata nyinyir yang berbau cemooh di dunia maya khususnya sosial media. Contohnya muncul sebutan ingusan, bocil (bocah cilik) atau karbitan.

Hal yang sepertinya muncul entah sekedar iri, takut atau khawatir karena potensi raihan suara anak muda yang porsi suaranya sangat besar di pilpres ini. Mas Gibran bukan sekedar vote getter kali ini, bahkan boleh dibilang sejenis kartu truf kemenangan. Apalagi jika pemilih pemula ini tergerak secara masif untuk berpartisipasi dalam Pilpres 2024 ini. Bukan hal yang mustahil-- pilpres bisa selesai dalam satu putaran walau dengan adanya 3 pasangan calon presiden.

Padahal, dalam ukuran dan pandangan Prabowo-- Gibran yang saat ini berusia 36 tahun secara kematangan dan karakter sudah sangat pas.

"Sebenarnya, karakter seseorang itu terbentuk hanya sampai usia 35-an, mas Srondol. Setelah umur itu, semua keputusan dan tindakan kita mengacu pada karakter kita saat itu. Ya, kalau saya kurang lebih saat masih berpangkat kapten-lah", kata Prabowo menjelaskan.

Saya yang saat itu masih berusia 34 tahun--satu tahun lebih muda dari batasan beliau agak berkerut dahi. Sempat terbersit perasaan curiga-- jangan-jangan ukuran "usia 35" atau "setara pangkat Kapten" itu sekedar alibi beliau untuk tidak memberikan atau menunda tugas besar kepada saya saat itu?

Namun, dalam perjalan waktu-- secara pribadi saya akhirnya mengakui bahwa yang disampaikannya benar. Rentang usia 36 sampai dengan sekarang, hampir seluruh kebijakan, keputusan dan pengambilan keputusan-- adalah hasil dari pembelajaran hidup dan pendidikan yang saya jalani di usia dibawah 35 tahun.

Perihal batasan usia ini ternyata juga dibahas oleh almarhum Mbah Moen (K.H. Maimun Zubair) yang dalam salah satu ceramahnya terkait rahasia kelipatan usia 7 tahun, menempatkan usia 35 adalah titik atau fase laki-laki berkerja.

Lebih tegasnya, Mbah Moen mengatakan, "Setelah usia seseorang sudah 28 tahun--usia menikah--  maka jika ditambah 7 lagi jadi sudah 35 tahun, diumur segitu dia harus punya pekerjaan,".

"Namun jika ternyata di umur segitu masih belum mendapat pekerjaan, berarti mungkin orang tersebut belum bisa bekerja." kata Mbah Moen lagi memperjelas.

Jadi-- suka tidak suka, memang usia Gibran saat ini sudah memang umur fase berkerja. Pengalaman dan pembelajaran menemukan karakter pribadinya sudah selesai.

Hal yang sebenarnya juga membuat saya tidak mau nyinyir saat AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) memutuskan pensiun dini dari kedinasan militer dengan pangkat terakhir Mayor TNI. Disamping memang secara karakter sudah benar-benar terbentuk dari ukuran kepangkatan terakhir, toh memang soal karir dan pangkat selanjutnya adalah pilihan.

Tidak jaminan juga bisa tembus ke pangkat bintang Jenderal jika memang meneruskan karir militernya, kan? Secara banyak juga lulusan Akabri yang akhirnya mentok di pangkat Kolonel karena gagal masuk Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat). Ya, kalau memang passion dan minatnya ke bidang politik, kenapa tidak? Soal saat ini belum beruntung menduduki jabatan publik yang diinginkan, ya itu hanya soal nasib baik atau waktu saja.

Kembali ke perihal tolak ukur Prabowo sebelumnya, setelah melewati satu fliter berupa karakter di usia 35-- Prabowo memang memakai prinsip yang lazim kita kenal dengan "sistem meritokrasi."

Meritokrasi sendiri berasal dari bahasa latin merit-- atau lebih tepatnya : mere; dan -krasi, dimana akar katanya dari bahasa Yunani Kuno: kratos, 'kekuatan, kekuasaan') yang boleh diartikan adalah sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial.

Oh, ya-- merit di kata meritokrasi ini bukan dari kata married yang artinya pernikahan loh, ya. :-)

Bagi yang sering memperhatikan komposisi pengurus partai Gerindra, atau sosok-sosok disekeliling Prabowo-- bisa dilihat bagaimana banyaknya anak muda dan sosok senior bercampur dalam aneka posisi dan penugasan.

Jika memang muda, mempunyai kemampuan dan kapasitas pada bidangnya-- Prabowo tidak sungkan menunjuknya pada bidang-bidang tertentu. Saya secara pribadi mengenal dan mengetahui banyak anak-anak muda disekeliling Prabowo yang berusia 35-an kini bertugas di posisi-posisi strategis seperti Direktur BUMN, Ketua DPC Gerindra, Ketua DPD Gerindra, anggota DPR RI, atau bahkan ketua Fraksi di DPRD dan lain sebagainya.

Bahkan, pasca era pilpres 2014-- banyak orang kebingungan dengan banyaknya calon kepala daerah yang ditunjuk Prabowo malah bukan dari internal Partai Gerindra.

Ya, memang saat itu-- secara terang dan jelas beliau menyebut mencari "the best and brightness person" untuk diajukan dalam perhelatan Pilkada tersebut. Terlepas kader atau memang kemampuan pribadinya yang secara sistem meritokrasi sesuai dengan prinsip kepemimpinan ala Prabowo, ya didukung dan diusung.

Sedangkan untuk mas'e Gibran Rakabuming Raka sendiri, sebelum terpilih sebagai Walikota Solo pada tahun 2021-- telah tuntas mengenyam pendidikan di Orchid Park Secondary School, Singapura (2002), Management Development Institute of Singapore (MDIS) (2007)
serta University of Technology Insearch, Sydney, Australia (2010).

Bukan kampus ecek-ecek ini. Tak mudah menyelesaikan kuliah di Universitas sekelas ini. Sebuah fakta bekal kapasitas mumpuni yang sulit terbantahkan.

Jadi, kalian anak muda yang kompeten-- pastikan ponselmu dalam posisi baterai dan kuota penuh pasca pelantikan Prabowo Gibran menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2024. Ya, siapa tahu kalian ditelepon untuk dipanggil menjadi menteri di kabinet beliau.

Nasib orang siapa yang tahu, bersiaplah!

Salam,

[Hazmi Srondol]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun