Sebenarnya saya sudah teramat cukup dengan statement kawan dari Solo soal ke-haji-an Jokowi di status komen fesbuknya.
Namun entah mengapa, mendadak saya mencabut kepercayaan ini setelah ia menuliskan panjang lebar kali tinggi tentang kisah kehajian Jokowi. Awal yang saya butuhkan adalah statement sederhana seperti "Bapak saya ikut walimatul safar pas Jokowi naik Haji" atau "ikut bantu ngurusin bikin banca'an berkatan hajinya" dan hal kecil lain seputar budaya mengantar haji ala Indonesia.
Namun, bukannya hal itu yang dibahas--malah lebay memposisikan Jokowi sosok yang paling diserang, anti narsis walau jelas dari fotonya jaman masih jadi walikota dengan becak dan gerobaknya adalah kenarsisan tingkat akut dan bla-bla-bla lainnya. Paling parah ya soal tahun naik haji Jokowi yang saling tumpang tindih antara tahun 2003 dan klaim tahun 2000.
Ya saya maklum, memang karakter 'sumbu pendek' ala projo belum bisa hilang. Semua strategi untuk menangkis pertanyaan masyarakat soal bibit-bobot-bebet Jokowi seperti di persiapkan. Padahal adalah hak seluruh warga negara untuk mengetahui syarat dasar 3B tersebut untuk semua calon pemimpinnya secara jujur dan terbuka. Kalau tidak berani dibedah bibit, bebet, bobotnya--ngapain juga maju nyapres?
Kalau dalam kelas beladiri--kasta Projo ini masih di sekitaran "bujutsu", alias teknik tangkis menangkis, ngeles mengeles atau berbalas pukulan. Masih jauh dari kasta "bushido" yang berbasis pemahaman esensial sebuah pertarungan ala Taichi/Aikijujitsu.
Apalagi di masukan dalam kelas "bushin" atau 'beladiri spiritual' ala silat Cikalong Pancer Bumi, Silat Cingkrik Qoning Betawi, Aikido murni ala Morihai Ushiba atau kelas kungfu "Panda" yang menemukan esensi jurus tertinggi berupa gulungan kertas kosong yang berarti "ikhlas".
Padahal, jikalau Jokowi belum haji pun tak mengapa. Kalau beneran sudah haji juga lebih baik. Karena esensi utama saya bukan pada hal tersebut. Saya lebih menyorot pengalaman beribadah ini untuk menyelesaikan salah satu masalah besar negeri ini yaitu: sistem perhajian itu sendiri.
Toh pak Harto juga pernah dengan polos, lugu dan jujurnya mengatakan "Tapi kan saya sudah Umroh?" saat ditolak menjadi anggota IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) pada akhir tahun 1980-an.
Dan penolakan ini bukannya membuat pak Harto marah, namun malah semakin menguatkan panggilan Allah ke tanah suci untuk segera menunaikan Haji tahun 1991 bersama keluarga, menantu (termasuk Prabowo), menteri dan kerabatnya.
Hebatnya lagi, kepergian Haji pak Harto ini membuat kalang kabut kerajaan Arab Saudi. Bukan apa-apa. Sebagai pemimpin negara dengan jumlah penduduk (waktu itu) 180 juta muslim, pilihan berhaji dengan biaya sendiri dan kelas 'rakyat biasa' itu malah bukan hal yang biasa.
Padahal ada sejenis protokoler yang biasanya dianut pemerintah Arab Saudi untuk pemimpin sekelas pak Harto, khususnya terkait masalah keamanan. Keinginan luhur pak Harto untuk berhaji dengan sederhana ala Umar bin Khatab dan protokoler kerajaan Arab Saudi ini pun akhirnya ditemukan titik tengahnya dengan menyiapkan beberapa askar (tentara) kerajaan yang mengawal pak Harto, bu Tien dan kerabatnya selama berhaji.
Tapi begitulah, walau sudah berupaya menjadi rakyat biasa--tetap saja warga Arab dan jemaah haji yang melihat pak Harto semua menyapa dengan sapaan "assalamu'alaikum ya rois Indonisi". kata 'rois Indonisi" sendiri berarti "Presiden Indonesia".
Lalu akhirnya, semenjak ke-haji-an pak Harto ini, mulailah pemakaian jilbab menjadi hal yang lumrah dan diterima masyarakat. Bahkan konon, salah satu alasan kenapa pak Harto di gulingkan karena semakain 'hijau'nya pak Harto ini.
Saking hijaunya--betapa banyak masjid dibangun olehnya dengan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila-nya dari tahun 1982 menjadi semakin gesit usai pulang berhaji. Termasuk pembangunan masjid "Soeharto" di Bosnia saat konflik dengan Serbia.
Nah, inilah sebenarnya adalah hal yang hendak saya ketahui. Pergi haji memang bukan sekedar gelar bagi para pemimpin. Tetapi pengetahuan yang didapat setelah haji itulah yang terpenting. Dari soal pemahaman agama hingga lainnya.
Seperti halnya Prabowo yang berhaji lagi tahun 1997. Prabowo melihat adanya masalah masa depan ibadah haji di Indonesia.
Bayangkan saja, dengan jumlah penduduk Indonesia yang semakin menggila dan kuota kurang dari 1% dari total jumlah penduduk--tentu ini sangat kurang. Apalagi pertumbuhan kelas ekonomi menengah Indonesia semakin membuat kuota ini sangat tidak sebanding. Bisa di cek waktu tunggu berhaji di Indonesia yang rata-rata di tahun 2014 ini mencapai 8 hingga 10 tahun.
Belum lagi masalah lain perihal pemondokan/hotel, transportasi hingga pengolahan dana haji yang selama ini tidak terlihat manfaat bagi jemaah haji Indonesia sendiri--kecuali bertambahnya modal putar bagi bank penyimpan dana ini selama bertahun-tahun.
Hal inilah yang akhirnya membuat Prabowo segera mengumpulkan para ulama NU, Muhammadiyah dan ekonom muslim lainnya untuk mencari solusi. Salah satu solusi yang diambil oleh Prabowo adalah membuat sejenis bank/lembaga keuangan khusus Haji.
[caption id="attachment_333149" align="aligncenter" width="581" caption="Pak Harto dan Prabowo beserta Dr. Ahmed"][/caption]
Bahkan saking besarnya cita-cita membangun yang disebutnya BANK TABUNG HAJI ini membuatnya segera bertemu dengan Presiden Islamic Development Bank Dr. Ahmed Mohammed Ali Al-Madani PhD di Jeddah untuk meminta masukan dan mentoring pembangunan ini jika Allah meridhoi menjadi Presiden Indonesia.
Dari konsep yang dipaparkan Dr. Ahmed ini--Prabowo menjadi sangat optimis kelak calon jemaah haji Indonesia tidak perlu lagi menjual tanah/sawahnya hanya untuk naik haji. Sejak kecil sudah bisa memuali mencicil biayanya.
Soal ke-halal-an uang yang akan di putar dan di investasikan dalam pengumpulan dana ini pun lebih terjamin dibandingkan menitipkan ke bank konvensional. Boleh dibandingkan ke Bank tabung haji-nya Malaysia yang sudah duluan berdiri, mereka menginvestasikan dana yang tersimpan ke pembangunan 1 juta hektar kebun sawit di Indonesia (duh!).
Dan dalam hitungan Prabowo dan Dr. Ahmed, setidaknya akan terkumpul dana Rp. 40 trilyun. Dana yang sangat besar dan bisa untuk membeli pesawat khusus haji Indonesia serta membangun pemondokan/hotel untuk jemaah haji Indonesia yang tidak terlalu jauh dari Masjidil Haram.
Jikalau pembangunan ini sulit karena faktor lahan yang tidak memungkinkan, setidaknya bisa menyewa/booking hotel sekitar Mekkah dengan waktu yang panjang. Boleh juga disewakan untuk peserta umrah negara lain yang ujung-ujungnya kembali ke jemaah Haji Indonesia dengan kehalalan investasi yang tetap terjamin.
Itu dari sisi ekonomi, secara pribadi saya juga berharap Prabowo mampu bernegosiasi untuk menambah kouta Haji Indonesia minimal menjadi 2% sd 5% agar kesempatan rakyat Indonesia menunaikan ibadah ini semakin besar.
Karena jika masih berkuota 1%, dengan jumlah penduduk (misal) 200 juta muslim dan semuanya terpanggil ke tanah suci untuk berhaji, setidaknya butuh 1000 tahun antrian untuk menyelesaikan antriannya. Untung saja--panggilan Allah yang satu ini, hanya sebagian saja yang mendengarnya.
Dan terakhir, semoga konsep Bank Tabung Haji yang menjadi cita-cita Prabowo segera terwujud sehingga rakyat Indonesia semakin seimbang antara urusan dunia dan akheratnya yang bisa membuat negara kita menjadi negara yang “Baldatun thoyyibatun wa robbul ghofur – negeri yang baik dan penuh pengampunan dari Tuhannya”. Amiin.
Sekian dan Wassalamu alaikum ya alnas Indonisi...
MERDEKA...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H