Hidup menjadi manusia adalah keputusan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu pula lingkungan dimana kita dilahirkan, seperti apa keadaan orang tua kita, itu semua adalah kehendak Tuhan. Sedangkan bagaimana kita mampu bertahan dan bertumbuh itu adalah usaha kita dan ada campur tangan dari Tuhan. Menjadi orang yang lebih baik dari orang tua mungkin jadi salah satu impian sebagian besar manusia di dunia.
Untuk menjadi manusia yang benar-benar hidup, mungkin bagi sebagian orang perlu mengenal dan mengetahui kisah dari orang lain yang hidup dengan lebih keras dari sebagian orang itu.Â
Dengan mengetahui seberapa berat orang-orang yang bekerja keras demi sesuap nasi untuk dirinya sendiri atau bahkan ada yang mencari nafkah demi keluarganya yang "kekurangan". Atau bahasa kasarnya adalah dengan membandingkan beratnya hidup seseorang dengan mereka, menjadi salah satu cara yang dianggap dapat membantu mereka untuk meningkatkan motivasi hidup mereka.Â
"Ternyata ada orang yang hidupnya seberat hidupku dan bahkan ada yang lebih berat dari aku." perkataan semacam itu mampu keluar jika mereka benar-benar mengerti bahwa kehidupan mungkin tak seindah yang dibayangkannya.
Berkenalan dengan seorang pemulung, pengamen, dan beberapa orang yang bekerja dengan keras untuk mendapatkan sepeser uang yang bahkan mungkin tidak bisa mereka tabung karena habis untuk membeli kebutuhan pada hari itu saja, membuat saya sendiri merasa terenyuh dan tersentuh melihat dan bahkan mendengar cerita mereka.Â
Salah satu cerita yang menarik dari beberapa orang yang saya temui adalah cerita dari seorang pengendara becak. Beliau bernama Pak Jani. Dari saya SD beliau sudah menjadi becak langganan ibu-ibu di daerah rumah saya, salah satunya adalah bude saya.
Dengan becak hijaunya, beliau berangkat dari rumahnya yang bila ditempuh oleh becaknya memakan waktu cukup banyak untuk sampai di daerah tempat biasa beliau menunggu langganannya. Bisa dibilang, Pak Jani menjadi tukang becak langganan (favorit) ibu-ibu untuk belanja di pagi hari ke pasar.Â
Jika tidak ada pesanan, beliau biasa mangkal di dekat-dekat rumah saya. Sembari menunggu orang yang membutuhkan jasa becaknya, beliau biasa memainkan suling. Suling jadi alat musik favorit beliau yang sering beliau mainkan. Tak jarang pula saya melihat beliau memainkan sulingnya dengan sangat lihai acap kali saya berkendara keluar rumah.
Selain mengantar pelanggannya ke pasar, Pak Jani juga kadang mengantar orang ke swalayan. Misal pada hari Minggu, beliau sudah ada di tempat biasanya menunggu penumpang, dan kebetulan bude saya butuh berbelanja keperluan dan mengajak saya, bude pasti memanggil pak Jani untuk mengantar kami.Â
Di perjalanan, pasti Pak Jani mengajak penumpangnya berbincang-bincang tentang hal apapun itu. Tidak hanya mengantar penumpangnya, beliau juga terkadang diminta untuk menunggu sampai penumpangnya selesai berbelanja. Untuk jasanya, penumpang tidak dipatok atau diperjelas berapa biaya untuk mengantar.Â
Jika jarak untuk mengantarkan cukup jauh, beliau mendapat 13 sampai 15 ribu rupiah. Tidak banyak, sekitar dinaikkan 2 sampai 3 ribu. Berbeda lagi jika Pak Jani diminta untuk menunggu penumpangnya, beliau biasa dibayar 17 sampai 20 ribu. Untuk perihal menunggu, beliau tidak pernah mematok harga jasanya, selebihnya diserahkan pada penumpangnya mau memberi upah berapa.
"Ya, kalo budenya mbak, biasanya 20 kalo nggak 25 ribu. Kalo yang ke pasar Banjaran pagi-pagi, itu 15 ribu. Biasnya juga ada yang cuma butuh buat bantu ngangkat barang, nggak jauh, itu 10 ribu. Macem-macem pokoknya." jawab Pak Jani ketika ditanya patokan harga untuk jasa beliau.
Sudah 2 tahun ini, beliau sepi penumpang. Sejak pandemi dan pembatasan aktivitas di luar rumah, beliau sempat kewalahan dan bingung harus mencari nafkah di mana. Karena swalayan ditutup dan pasar juga dibatasi pengunjungnya oleh pemerintah setempat, beliau smpat merasa putus asa.Â
Namun, demi keluarganya, beliau berkeliling untuk mencari orang membutuhkan jasanya, seperti di stasiun, di pasar, di terminal, dan di tempat yang biasanya ramai tukang becak juga.Â
"Sejak pandemi agak susah dapet penumpang. Sempet bingung juga harus nyari uang dimana. Becak jadi satu-satunya mata pencaharian saya. Kalau pembatasan gini kan penghasilan saya turun jauh, bahkan pernah seharian nggak dapet penumpang sama sekali." jelas Pak Jani tentang keadaan dan penghasilan beliau selama PPKM berlangsung di Kota Kediri.Â
"Sebagai kepala keluarga, tiap saya berangkat kerja, di pikiran saya cuma ada keluarga saya. Karena kalau saya sepi penumpang ataupun nggak ada penumpang sama sekali, saya kasian sama keluarga saya. Ikut kepikiran juga."
"Tapi, belakangan ini kan udah agak dilonggarin, udah boleh ke swalayan, pasar, sama tempat-tempat umum. Jadi saya bersyukur banget keadaan mulai membaik dan saya juga bisa dapet uang buat beli kebutuhan sehari-hari di rumah." ujar Pak Jani. Dengan berkurangnya berita tentang kenaikkan kasus pasien terpapar COVID-19, beliau sangat bersyukur dan agak sedikit lega karena seiring dengan berita biak tersebut, mulai banyak tempat-tempat umum yang dibuka juga untuk umum.
 "Asal taat protokol kesehatan, ada beberapa penumpang yang mau naik becak saya. Alasan mereka mau naik becak saya, salah satunya adalah karena saya tetap memakai masker. Walaupun kadang saya pengap karena harus ngayuh sambil pakai masker, ya saya syukuri saja. Mumpung ada rezekinya, saya ambil aja. Kalau nolak rezeki 'kan pamali." papar Pak Jani tentang pekerjaannya sebagai tukang becak belakangan ini.Â
Menurut beliau, kunci bisa menghadapi situasi dan kehidupan yang sulit dan tidak jarang sangat pahit ini adalah bersyukur atas apapun yang sudah diberikan oleh Tuhan. Selain bersyukur dan bekerja keras juga menjadi kunci untuk menjadi manusia yang kuat menjalani hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H