Bukan itu yang Sekar Tangisi. Yang Ia tangisi adalah sebuah penyesalan. Penyesalan terdalam yang Ia lakukan. Ia menyesal sudah menyia-nyiakan kasih sayang Ibunya selama ini. Ia menangis sejadi-jadinya di hadapan Ibunya. Ibunya yang kini tak dapat membuatkannya sarapan dan wedang jahe lagi. Tak ada lagi yang akan menunggunya ketika Ia akan pulang dari bekerja. Tak ada lagi yang akan menasehatinya.Â
Sekar menangisi segala kebodohan yang telah Ia lakukan terhadap Ibunya.
" Ibu marah sama Aku? Ibu Marah? Ayo Bu, Marahin Sekar. Marahin Sekar sesuka Ibu. Tapi Sekar mohon, tetap ada di dunia ini sama Sekar. Sekar minta maaf Bu. Sekar minta maaf. Ibu bangun! Sekar sayang sama Ibu! Sekar janji mau makan makanan Ibu lagi! Bangun Bu! Sekar lapar! Masakin Sekar lagi! " Sekar meracau begitu rapuh. Suara Indahnya kini menjadi serak. Ia memanggil-manggil Ibunya. Jasad Ibunya kini kaku. Tak ada lagi yang mampu menjadi sandaran untuk Sekar. Sekar mengelus-ngelus pipi Ibunya. Menatap dalam wajah keriput itu. Wajah yang selalu di tatap dengan pandangan amarah. Wajah yang selalu sendu dan pucat.Â
" Ibu mau pergi sama Ayah tapi gak ajak Sekar? Ajak Sekar juga Bu! Ayo Ajak Sekar! Sekar nanti malam ada pentas Bu! Sekar mau nyanyiin Ibu lagu. Ibu gak mau dengar Suara Sekar? Ibu gak suka suara Sekar? Ayo bangun Bu! " Sekar semakin tak karuan. Tangisannya tak dapat di kontrol. Matanya sudah terlihat begitu sembab. Air matanya terus menerus mengalir di pipi tirusnya. Seakan dunianya benar-benar sudah runtuh. Dunianya sudah hancur. Hidupnya begitu sangat rapuh.
Setiap orang yang melihatnya juga ikut menangis. Mereka Sedih melihat Sekar. "Kasihan" Hanya itu yang mereka dapat ucapkan.Â
Beberapa tahun kemudian...
" Maha besar kau telah berikanku hidup,
Dia sgalanya, Dihidupku
Bunda yang ku cintai di dalam hati
Dia terbaik, Di mataku " Nyanyian itu terdengar begitu merdu. Siapa lagi yang memiliki suara Emas kecuali Sekar? Ya, Gadis itu menyanyi sambil berlinang air mata. Bernyanyi sepenuh hati, tetap seperti biasanya. Namun yang berbeda adalah, kini Ia bernyanyi bukan di Cafe lagi, melainkan di pusara Ibunya. Dengan baju yang lusuh. Sudah kotor tak pernah di gantinya. Rambut yang acak-acakan. Kulit yang sudah berganti warna. Kini ia menjadi gadis yang tak terurus. Badannya kian mengurus. Ia sering kali menangis. Jiwanya terganggu. Ia tak pernah pulang kerumah lagi sejak pemakaman Ibunya. Baginya, Rumahnya adalah di Makam. Duduk berdiam diri di samping makam kedua orang tuanya. Ia mendapatkan makanan dari orang-orang yang lewat ataupun mengasihaninya. Sekar tak pernah mengganggu orang. Kini Nyanyiannya bukan lagi untuk orang-orang. Nyanyiannya hanya untuk alam saja. Si gadis Suara emas kini telah terganggu jiwanya. Entah untuk berapa lama. Hanya Tuhanlah yang tahu...
" Sayangi Ibumu selagi Dia ada..
Ibu adalah penyejuk ketika dunia begitu panas
Ibu adalah Pelita ketika gelap
Ibu adalah Surgamu
Dan Ibu adalah Duniamu.."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H