Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Tangkuban Perahu diantara Jejak Mitologi dan Pesona Bandung

11 Januari 2025   17:59 Diperbarui: 11 Januari 2025   17:59 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Riuh Pasteur di Pagi Hari
Di pagi yang sedikit mendung dan  berkabut, kendaraanyang kami tumpangi mulai merayap  di ruas tol Pasteur. Jalan tol ini, yang menjadi nadi perjalanan dari kota-kota besar menuju Bandung. "Setiap perjalanan adalah narasi," tulis Paul Theroux, dan narasi itu terletak dalam keheningan maupun keramaian. Di sini, narasi itu dimulai dari hiruk-pikuk kota yang sesaat lagi akan kami tinggalkan menuju kesejukan Tangkuban Perahu.

Perjalanan melalui Pasteur membawa saya melewati wajah Bandung yang berlapis-lapis: dari vila yang menyisakan jejak kolonialisme, hingga gedung-gedung modern yang menampilkan hasrat kota yang mengejar kapitalisme. Namun, di balik itu semua, Bandung tetap menyimpan denyut alamnya. Denyut yang semakin terasa ketika saya mulai meninggalkan aspal kota menuju udara segar pegunungan.

Tangkuban Perahu dan Legenda Sangkuriang
Gunung Tangkuban Perahu bukan sekadar bentang alam, tetapi juga wadah imajinasi kolektif masyarakat Sunda. Namanya erat dengan legenda Sangkuriang.  Kisah tragis tentang cinta terlarang antara anak dan ibu yang berakhir dengan  supata, pembentukan gunung ini. Legenda ini diteruskan secara lisan dari generasi ke generasi, adalah penanda betapa erat hubungan manusia Sunda dengan alam mereka.

Legenda Sangkuriang mencerminkan nilai-nilai dasar masyarakat Sunda: penghormatan pada alam, tabu sosial, dan konsekuensi dari melanggar harmoni. Gunung Tangkuban Perahu, dengan bentuknya yang menyerupai perahu terbalik, menjadi simbol fisik dari narasi yang hidup. "Alam adalah mitra dialog manusia," tulis Goenawan Mohamad. Di sini dialog itu terjalin dalam lanskap yang indah namun penuh misteri.

Sejarah dalam Lapis Bu mi
Dalam keheningan, saya teringat pada kenyataan  yang lebih tua dari mitologi: gunung ini adalah produk geologi yang berusia ribuan tahun. Tangkuban Perahu terbentuk dari aktivitas vulkanik yang tak henti-henti sejak zaman prasejarah. Kawah-kawahnya yang aktif, seperti Kawah Ratu dan Kawah Upas, menjadi saksi bisu letusan-letusan yang membentuk lanskap ini.

Lempeng bumi di wilayah ini, yang bertumbukan di sepanjang Cincin Api Pasifik, menjadikan Tangkuban Perahu bagian dari sejarah alam yang lebih besar. Penelitian geologi mengungkap bahwa gunung ini adalah anak dari Gunung Sunda Purba, sebuah gunung raksasa yang meletus ribuan tahun lalu. Meninggalkan kaldera besar yang kini dihuni oleh Bandung. "Bumi menyimpan arsipnya sendiri," kata ahli geologi James Hutton, dan arsip itu bisa kita baca melalui lapisan bebatuan, bau belerang, dan panas bumi yang menguar dari kawah.

Tata Kelola Wisata dan Tantangan
Sesampainya di Tangkuban Perahu, saya disambut oleh pemandangan wisata yang ramai. Pedagang suvenir, warung kecil, dan penjual masker belerang berserakan di sepanjang jalan menuju kawah. Meskipun memberikan manfaat ekonomi bagi penduduk setempat, suasana ini menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan tata kelola destinasi wisata ini.

Bandung, yang dikenal sebagai kota wisata, menghadapi dilema antara eksploitasi pariwisata dan pelestarian alam. Dalam wawancara dengan seorang petugas taman, ia mengakui bahwa keseimbangan itu sulit dicapai. "Wisatawan sering kali datang hanya untuk berfoto, tanpa memikirkan bagaimana menjaga alam ini," katanya. Hal ini mengingatkan saya pada peringatan Aldo Leopold dalam A Sand County Almanac bahwa alam tidak perlu manusia, tetapi manusia membutuhkan alam.

Upaya pengelolaan berbasis komunitas mulai diterapkan, meski belum sepenuhnya optimal. Beberapa kelompok masyarakat setempat kini dilibatkan dalam pelestarian lingkungan sekitar Tangkuban Perahu, seperti program reboisasi dan pendidikan lingkungan bagi pengunjung. Namun, tantangan pasti tetap ada, terutama dalam hal regulasi dan kesadaran wisatawan.

Keseimbangan  Alam dan Modernitas
Dari puncak Tangkuban Perahu, saya melihat Bandung terhampar seperti mozaik yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Di sisi timur, kawah menguarkan asap Belerang, mengingatkan kita pada kekuatan alam yang tak terjinakkan. Di sisi Barat, kota Bandung terlihat seperti labirin beton yang menggeliat, seolah-olah ingin meraih langit.

Tangkuban Perahu adalah pengingat bahwa kita hidup di antara mitos dan sains. Antara alam dan budaya, antara cerita masa lalu dan realitas modern. Kita adalah bagian dari narasi besar itu, sebuah narasi yang terus berjalan. Perjalanan yang baik tidak pernah benar-benar berakhir, ia selalu tinggal di dalam diri kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun